Joki atau Kolaborator Ilmiah?
Liputan investigasi ”Kompas” tentang perjokian karya ilmiah mengungkap praktik memalukan yang terjadi di perguruan tinggi. Perlu adanya revisi penilaian jenjang akademik dosen beserta penghargaan bagi pekarya ilmiah.
Berita utama Kompas, 10 Februari 2023, berjudul ”Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Karya Ilmiah” sangat menarik bagi kalangan pendidikan tinggi.
Joki sebagai definisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki tiga makna. Makna pertama adalah penunggang kuda pacuan. Makna kedua adalah pengatur lagu yang menangani mesin perekam lagu di studio.
Makna ketiga adalah orang yang mengerjakan ujian untuk orang lain dengan menyamar sebagai peserta ujian yang sebenarnya dan menerima imbalan uang (sumber KBBI daring). Judul berita utama di atas secara konteks tampaknya merujuk pada makna ketiga.
Kerja kolaborasi
Visualisasi Kompas pada halaman pertama tersebut menunjukkan tujuh langkah ”modus perjokian karya ilmiah”. Meski demikian, jika kita telisik ketujuh langkah itu, sebenarnya tidak berarti perjokian dalam makna ketiga dari KBBI.
Baca juga: Reorientasi Publikasi Akademisi Indonesia
Bagaimana jika di dalam langkah-langkah tersebut terjadi pembimbingan? Bukankah wajar dan merupakan praktik baik apabila tim dosen senior justru melibatkan dosen muda dan mahasiswa dalam kelompok mentorship berjenjang?
Dengan demikian, siapakah yang berhak mendapatkan nama penulis (authorship) dalam publikasi ilmiah (ataupun nonilmiah) dari kelompok ini? Kesepakatan peran dan tanggung jawab menjadi bermakna di sini. Penulisan ilmiah merupakan proses kerja kolaborasi. Pembimbingan secara berjenjang berlangsung dalam penulisan ilmiah.
Dalam masa studi master dan doktoral, penulis merasakan adanya pembimbingan berjenjang ini. Sangat mungkin ide awal diusung oleh pembimbing utama, yaitu dosen senior. Kemudian dalam proses mentorship, ide tersebut bertumbuh dari segala arah dalam tim periset. Siapakah yang berhak menyusun nama-nama penulis?
Konsep pembimbingan berarti asah dan asuh, maka sering kali pembimbing justru berbangga apabila namanya tertulis sebagai nama yang paling belakang dan sebagai nama korespondensi. Masalahnya, tak semua kebijakan terkait penulisan nama ini mewadahi pembimbingan berjenjang ini.
Dalam masa studi master dan doktoral, penulis merasakan adanya pembimbingan berjenjang ini.
Sebagai contoh, jika terdapat pola insentif di perguruan tinggi, pemberian insentif dapat saja ditentukan berdasarkan urutan nama tersebut. Dengan demikian, cara ini tak mewadahi pemaknaan proses pembimbingan. Sementara dalam pengajuan jabatan calon guru besar dituntut pula publikasi ilmiah dengan nama utama dan korespondensi dalam artikel di jurnal ilmiah bereputasi.
Kembali ke tulisan pada halaman muka Kompas. Persoalannya, kasus dalam tulisan itu, dosen AKAP mencantumkan namanya sebagai penulis utama untuk tulisan yang bersumber pada skripsi mahasiswa S-1 berinisial RAS di UEU.
Nama RAS tercantum sebagai nama kedua yang dalam investigasi Kompas disebutkan RAS menyatakan bahwa ide penelitian itu tidak berasal dari pembimbingnya. Keberatan mahasiswa tersebut jelaslah menunjukkan proses pembimbingan tidak berlangsung.
Tidak ada tim kolaborator, barangkali yang ada adalah ”penunggang” karya ilmiah. Jadi, arti ”joki” di sini mungkin relevan dengan makna pertama joki (penunggang kuda).
Baca juga: Ada Peran Joki di Balik Karya Ilmiah Dosen
Secara etika penulisan ilmiah, authorship diatur dengan menunjukkan peran dan alokasi waktu. Meskipun demikian, hal ini merupakan refleksi pribadi para penulis. Di dalamnya terkandung pula integritas para penulis. Peran yang sudah dilakukan penulis dalam tim, kerja bersama apa saja yang telah terbagi dan disepakati.
Jejak ini membutuhkan kejujuran. Bentuk yang tak dapat dinilai dengan angka. Oleh karena itu, tak heran kasus AKAP terjadi demi memenuhi angka pada penilaian jenjang akademik calon guru besar.
Persoalan berikutnya, wujud pembimbingan dalam proses diskusi, penelitian, penulisan, dan revisi tulisan; jelaslah hal yang tidak akan tampak dalam penilaian publikasi ilmiah.
Proses curah ide, penemuan ide, pertumbuhan ide menjadi riset; tentu menguras waktu dan tenaga. Modal pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk maju ada di balik proses tersebut. Penulisan hasil riset dan kemudian proses melakukan publikasi tidak mewujud dalam bentuk nyata.
Baca juga: Kemunafikan dan Prostitusi Akademik
Bagian inilah yang tidak dapat ditemukenali dari penilaian skor publikasi ilmiah. Bagian ini juga tidak tampak dalam proses penilaian jenjang jabatan akademik. Mengapa demikian?
Proses ini tidak mewujud nyata dalam kebendaan dan angka skor. Kalaupun terdapat audiensi dengan tim penilai, maka selalu akan ada aspek subyektif dalam penilaian.
Penilaian portofolio dosen untuk jenjang jabatan akademik di Indonesia, memang masih bersandar pada skor administratif. Berbagai tulisan dalam opini sudah tak terhitung jumlahnya yang menyoroti masalah ini. Jejak administratif ini dapat disusupi oleh niat semaksimal mungkin untuk mendapatkan skor.
Berbagai jalan ditempuh untuk memenuhi skor. Akibatnya, kasus AKAP terus ada walaupun para guru besar dan calonnya yang berpraktik baik dan berintegritas juga tetap ada.
Tetaplah: nila setitik rusak susu sebelanga.
Penghargaan terhadap proses pembimbingan
Solusi penilaian publikasi ilmiah untuk menghargai kolaborasi dan pembimbingan berjenjang adalah memberikan penghargaan termasuk dalam jenjang karier akademik dosen yang jelas-jelas melibatkan mentorship berjenjang. Bentuk identifikasi authorship dalam publikasi ilmiah bisa membantu peran mentorship tersebut.
Penghargaan atas teridentifikasinya seorang dosen sebagai pembimbing dosen muda, mahasiswa pascasarjana,dan mahasiswa S-1 perlu diberikan angka nyata apabila masih bersandar pada skor angka.
Yang kedua, bentuk refleksi atas hasil karya dosen bersama mahasiswanya perlu diberi ruang untuk mengemuka. Bagaimana kolaborator—dosen muda dan mahasiswa—yang turut menjadi penulis dalam penulisan ilmiah tersebut secara acak diminta memberikan testimoni atau refleksi atas karya kolaborasinya dengan dosen senior.
Demikian juga portofolio para dosen muda atau kolaborator lainnya dalam satu tim dapat menjadi sumber portofolio penilaian jabatan akademik sebagai portofolio refleksi.
Bentuk identifikasi authorship dalam publikasi ilmiah bisa membantu peran mentorship tersebut.
Tentu saja hal ini tak semudah melakukan proses administrasi skor dengan kriteria skoring yang kaku (rigid). Meski demikian, kemajuan teknologi dapat dimanfaatkan untuk membantu portofolio yang saling silang dan demokratis.
Dengan demikian, penghargaan atas proses mentorship para calon guru besar akan melahirkan guru besar yang memang berdampak, tidak hanya pada tingkat sitasi karya ilmiahnya, tetapi juga pada proses tumbuh pikir para kolaboratornya, yaitu dosen muda dan mahasiswanya. Penghargaan terhadap proses pembimbingan ini niscaya mampu bersaing dengan joki berbayar atau bisnis perjokian ilmiah (lihat pula: ”Ada Peran Joki di Balik Karya Ilmiah Dosen”, Kompas, 10/2/2023).
Dalam niatan kembali menghargai praktik baik, hakikat pendidikan sebagai pembimbingan, semoga investigasi Kompas dan kegelisahan para guru besar dan calonnya mengingatkan kebutuhan akan revisi penilaian jenjang akademik dosen beserta penghargaan bagi pekarya ilmiah.
Elisabeth Rukmini, Staf Pendidik Universitas Bina Nusantara