Meski mengandung risiko politik, praktik pengumpulan intelijen akan tetap berlangsung, yang selain didukung alat seperti balon atau pesawat dan satelit, juga oleh interaksi manusia.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Berita tentang penembakan balonmata-mataChina oleh jet tempur F-22 Amerika Serikat menjadi bacaan menarik selama beberapa hari terakhir.
Jagat spionase merupakan bagian tak terpisahkan dalam hubungan internasional. Hal ini berlaku tak hanya terbatas pada negara yang bermusuhan, tetapi juga negara yang memiliki hubungan baik. Masih teringat, bagaimana industri penerbangan Amerika Serikat (AS) absen dari Pameran Kedirgantaraan Le Bourget, Paris, 1993, dengan alasan pameran ini menjadi ajang mata-mata militer.
Pada kasus terakhir, balon tak hanya diterbangkan ke wilayah AS, tetapi juga ke wilayah negara lain, seperti Amerika Tengah dan Amerika Selatan (New Scientist, 10/2/2023). Terakhir bahkan muncul laporan, balon serupa teramati di Jepang tahun 2020 dan 2021, juga di atas Taipei dan India.
Muncul pertanyaan, mengapa setelah ada teknologi satelit mata-mata, China masih menggunakan balon? Penggunaan balon sudah tercatat dalam sejarah spionase dan peperangan. Bahkan, balon untuk sinyal militer sudah ada lebih dari 1.000 tahun, sementara balon pengamatan Perancis sudah digunakan di Pertempuran Fleurus tahun 1794.
Seperti halnya China, AS juga menggunakan pelbagai sarana teknologi guna mengumpulkan intelijen terhadap lawan potensial. Tak sedikit di antara beragam wahana itu memiliki kemampuan tumpang tindih. AS masih menggunakan pesawat U2 bertahun-tahun setelah memanfaatkan satelit.
Balon disebut memiliki kelebihan dalam mengangkut muatan (peralatan). Faktor lain, balon tak membutuhkan awak. Hal ini bisa mengurangi risiko politik jika ada balon yang terdeteksi atau ditembak jatuh.
Seperti halnya pesawat mata-mata U2 AS yang memiliki berbagai sensor dan muatan lain untuk berbagai misi, balon bisa digunakan untuk mengambil gambar/citra, baik dalam spektrum gelombang tampak maupun tak tampak, secara pasif mengumpulkan komunikasi elektronik atau mengumpulkan informasi lain yang lalu dipancarkan ke satelit negaranya. Disebutkan balon China dapat menyergap komunikasi telepon seluler dari staf di pangkalan militer.
Penembakan balon mata-mata yang diklaim sebagai balon penelitian cuaca oleh China mengingatkan orang pada penembakan pesawat U2 AS yang terbang di atas wilayah Uni Soviet pada tahun 1960.
Semua itu menyadarkan kita, aktivitas pengumpulan intelijen masih dan akan terus berlangsung. Melalui balon, China juga menguji kemampuan sistem pertahanan udara AS.
Ketika U2 berhasil ditembak jatuh, AS masih mempunyai jet mata-mata SR-71 Blackbird berkecepatan lebih dari tiga kali kecepatan suara dan terbang di ketinggian tak kurang 100.000 kaki sehingga tak ada rudal yang mampu mengejarnya.
Akhirnya, meski mengandung risiko politik, praktik pengumpulan intelijen akan tetap berlangsung, yang selain didukung alat seperti balon atau pesawat dan satelit juga oleh interaksi manusia. Setiap negara akan terus berusaha mencari keunggulan melalui informasi intelijen.