Lorong Gelap Pendidikan Nasional
Ada sejumlah masalah dalam pendidikan nasional tiga tahun terakhir ini, antara lain terkait kebijakan MBKM, IKM, dan PPDB juga Program Guru Penggerak. Lalu, bagaimana agar kita dapat keluar dari lorong gelap pendidikan?
Praksis pendidikan nasional selama tiga tahun terakhir seakan memasuki lorong gelap yang tiada ujung karena tak ada penanda atau petunjuk arah yang jelas.
Mungkin bagi pembuatnya, tanda tersebut amat jelas, tetapi tidak selalu dimengerti oleh khalayak yang lebih luas, termasuk insan-insan pendidikan itu sendiri. Penanda besar, seperti Merdeka Belajar dan Merdeka Kampus (MBMK), bisa terlihat abu-abu atau samar alias tidak jelas.
Para guru dan dosen merasa bingung saat membaca tanda itu karena tak cukup menjadi petunjuk untuk sampai ke alam kemerdekaan, seperti mereka bayangkan. Mereka justru kian terjerat urusan-urusan administratif. Kalangan guru disibukkan oleh isian-isian administrasi, seperti setiap bulan guru harus mengunggah kegiatan belajar, kegiatan jabatan yang diemban, e-kinerja, dan sasaran kinerja pegawai (SKP).
Seorang guru di Lampung menuturkan, di daerahnya banyak anak yatim piatu semu (orangtua masih ada, tetapi anak tak tinggal bersama orangtua). Menghadapi murid-murid seperti itu, guru harus lekat dengan murid, selain sebagai guru dan sahabat, juga sebagai orangtua. Namun, dengan kesibukan guru saat ini, jangankan menjadi sahabat dan orangtua, sebagai guru saja mulai bergeser menjadi staf tata usaha. Baginya, konsep ”merdeka” yang ada dalam MBKM itu amat abu-abu, tidak jelas.
Baca juga: Guncangan Kampus Merdeka
Euforia guru penggerak
Lorong gelap pendidikan itu terlihat jelas pada kebijakan yang menempatkan Program Guru Penggerak (PGP) dan Program Sekolah Penggerak (PSP) sebagai prioritas, bahkan untuk jadi kepala sekolah (KS) pun harus dari guru penggerak (GP) sehingga ada euforia GP.
Sebelum ada program MBMK, untuk dapat diangkat menjadi KS, seorang guru wajib mengantongi sertifikat dari mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah (LP2KS) di Surakarta dan diikuti oleh guru-guru yang sudah pernah menduduki jabatan wakil KS sehingga mereka telah memiliki pengalaman manajerial.
Namun, dengan adanya PGP, ketentuan-ketentuan yang berbasis pengalaman itu diabaikan. LP2KS kini telah dibubarkan dan diganti menjadi Balai Besar Guru Penggerak (BBGP). Adanya persyaratan bahwa untuk menjadi KS itu harus dari GP telah menimbulkan kegalauan di lapangan lantaran banyak pemimpin daerah yang meragukan kemampuan GP menjadi KS. Selain mayoritas usia mereka masih muda, mereka juga tidak memiliki bekal manajerial dan kepemimpinan yang cukup dari pelatihan calon guru penggerak (CGP).
Baca juga: Gebrakan Kampus Merdeka
Di antara GP sendiri ada yang merasa belum cukup memiliki bekal untuk menjadi KS. Di sisi lain, para guru senior yang telah mengikuti diklat dari LP2KS tak bisa diangkat menjadi KS karena mereka tak termasuk GP. Ada batasan usia maksimal untuk mengikuti PGP.
Seorang guru SMA di Jawa Tengah mengatakan, PGP justru merugikan murid karena guru yang mengikuti PGP sering berkegiatan di luar sekolah dan meninggalkan pembelajaran. Menurut dia, PGP tak berdampak pada sekolah, tetapi hanya berdampak pada guru bersangkutan karena menjadi GP berarti dapat ”tiket” tol untuk jadi calon KS dan ini dinilai merusak sistem merit.
Euforia GP ini dalam jangka panjang bisa membuat kualitas pendidikan merosot karena tak ada jaminan kualitas jika seorang GP langsung diangkat menjadi KS.
Menjadi KS bukan hanya butuh kecerdasan, kreativitas, dan inovasi seperti menjadi CEO di suatu perusahaan, melainkan juga perlu pengalaman mengajar dan kematangan mengelola psikologi guru, tenaga kependidikan, dan murid, serta kemampuan membangun relasi dengan dinas pendidikan agar tetap memberikan dukungan sumber daya yang diperlukan untuk memajukan sekolah.
Seorang guru SMA di Jawa Tengah mengatakan, PGP justru merugikan murid karena guru yang mengikuti PGP sering berkegiatan di luar sekolah dan meninggalkan pembelajaran.
Berdasarkan rekam jejak sekolah-sekolah yang selama ini disebut sekolah bagus, semua dipimpin oleh mereka yang telah memiliki pengalaman cukup sebagai guru dan belajar manajemen dari jabatan sebagai wakil KS atau urusan kurikulum, kesiswaan, atau keuangan sekolah. Pada masa Orde Baru, yang terpilih menjadi KS adalah guru-guru yang berprestasi (guru teladan).
Melihat bahwa euforia PGP akan berdampak buruk pada dunia pendidikan, maka PGP tak layak untuk dilanjutkan karena jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 4 Ayat 1 yang menyatakan bahwa ”pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif”.
Juga bertentangan dengan UU No 14/ 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 14 Butir b, d, dan e yang menyatakan, ”Dalam menjalankan tugas keprofesionalan, guru berhak (b) mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; (d) memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi; (e) memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang menjalankan tugas keprofesionalan”.
Saat ini, hak-hak guru yang diatur dalam Pasal 14 UU Guru dan Dosen hanya dapat dinikmati oleh GP karena lembaga-lembaga diklat guru telah berubah menjadi BBGP. Konsekuensi logisnya, lembaga diklat itu hanya diperuntukkan bagi GP. Sangat sulit dipahami oleh akal sehat bahwa Mendikbudristek yang seharusnya menegakkan UU Sisdiknas serta UU Guru dan Dosen yang tidak diskriminatif justru membuat kebijakan yang diskriminatif secara vulgar dan tidak ada yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA).
Adanya euforia GP itu juga memperlihatkan kontradiksi berpikir pengambil kebijakan. Jika diyakini bahwa yang menjadi GP adalah guru-guru muda, cerdas, bersemangat, berkomitmen, kreatif, dan inovatif, seharusnya mereka tidak perlu mendapat privilese untuk mengikuti berbagai kegiatan diklat.
Sebaliknya, kegiatan diklat diprioritaskan bagi guru-guru yang tak termasuk GP agar kompetensi mereka meningkat dan dapat menjadi GP. Pemberian privilese kepada GP dengan mengabaikan hak-hak mayoritas guru justru membuat kesenjangan kualitas antarguru kian lebar, dan dampaknya tentu pada kesenjangan kualitas antarsekolah, antara yang memiliki GP dan yang tak memiliki GP. Fasilitas diklat yang dimiliki Kemendikbudristek itu untuk semua guru, tidak hanya untuk GP.
IKM dan PPDB
Lorong gelap itu juga ditemukan dalam Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) dan penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang didasarkan pada zonasi. Keduanya tak menjadi petunjuk arah yang jelas mengenai nasib bangsa di masa mendatang. Kurikulum Merdeka (KM) itu muncul bersamaan dengan masa pandemi Covid-19. Pada masa pandemi, konsentrasi guru bukan untuk perubahan kurikulum, melainkan untuk pembelajaran tatap muka.
Kurikulum Merdeka itu muncul bersamaan dengan masa pandemi Covid-19. Pada masa pandemi, konsentrasi guru bukan untuk perubahan kurikulum, melainkan untuk pembelajaran tatap muka.
Pascapandemi, yang perlu dilakukan Mendikbudristek mestinya bukan membuat kurikulum baru, melainkan menyempurnakan Kurikulum 2013 agar tetap dapat diimplementasikan sesuai dengan yang diimpikan. Jika Kurikulum 2013 dirasa lemah dalam hal literasi dan numerasi, revisi Kurikulum 2013 ditekankan pada dua hal tersebut.
Menyempurnakan kurikulum dengan mengganti kurikulum memiliki implikasi lapangan yang berbeda. Menyempurnakan kurikulum berarti buku-buku yang berdasarkan Kurikulum 2013 masih dapat dipakai, tinggal menambah sisipan saja pada materi yang direvisi.
Namun, kalau mengganti dengan kurikulum baru, otomatis semua buku yang berlabel Kurikulum 2013 tak dapat dipakai lagi. Jadi, tingkat pemborosannya lebih besar. Beban sekolah dan guru juga bertambah dengan adanya kurikulum baru karena perlu pemahaman baru pula. Sebagai contoh, nilai dalam Kurikulum 2013 ada tiga, sesuai dengan ranah yang dikembangkan, yaitu pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Namun, di KM ini, nilai murid hanya satu dalam rapor sehingga tidak dapat dibedakan mana nilai pengetahuan dan mana nilai keterampilan atau sikap.
Bahkan, kolom prestasi nonakademik murid pun tak tersedia di format e-rapor KM. Guru menjadi bingung ketika ada murid dapat nilai bagus untuk tes pengetahuan, tetapi perilakunya buruk: guru harus memberikan berapa di rapor?
Beban guru makin bertambah ketika IKM ini tak diawali dengan diklat untuk para guru. Guru harus belajar mandiri sehingga wajar jika pemahaman mereka tentang materi KM masih dangkal, sementara implementasi Kurikulum 2013 yang diawali dengan diklat para guru dan pengawas pun masih terbata-bata.
Lorong gelap yang tiada ujung itu juga terjadi pada penerimaan murid baru berdasarkan zonasi. Memang ini bukan kebijakan baru. Namun, saat Nadiem Makarim baru diangkat menjadi Mendikbudristek dan mengumpulkan sejumlah tokoh guna mencari masukan, penulis sudah sampaikan masukan bahwa PPDB berdasarkan zonasi kurang tepat untuk kondisi Indonesia yang wilayah geografisnya luas dan sebaran sekolah negerinya belum merata, masih menumpuk di kota.
Yang tepat adalah gabungan antara seleksi berdasarkan prestasi akademik dan kebijakan afirmatif, baik yang didasarkan pada lokasi tempat tinggal maupun kondisi ekonomi. Yang sudah pernah diterapkan di salah satu SMAN di Bandung adalah anak-anak yang tinggal di sekitar sekolah wajib diterima di SMAN itu tanpa melihat prestasi akademik.
Ini beda dengan zonasi yang semua didasarkan pada jarak dari rumah ke sekolah. PPDB di Yogyakarta sejak 2005, selain melalui seleksi nilai akademik, juga ada kuota 10 persen dari total murid baru berasal dari kelompok prasejahtera. Kedua sistem ini jauh lebih berkeadilan karena mengakomodasi kepentingan semua pihak secara proporsional.
PPDB berdasarkan zonasi hanya akan menguntungkan warga yang tinggal di perkotaan, tetapi merugikan masyarakat di daerah pinggiran, perdesaan, dan pesisir yang jauh dari lokasi sekolah negeri yang bagus.
PPDB berdasarkan zonasi hanya akan menguntungkan warga yang tinggal di perkotaan, tetapi merugikan masyarakat di daerah pinggiran, perdesaan, dan pesisir yang jauh dari lokasi sekolah negeri yang bagus. Kebijakan ini justru bisa menyebabkan warga desa yang tak mampu tak menyekolahkan anaknya karena harus bersekolah di sekolah swasta di kota, sementara mereka tak punya dana.
Sistem zonasi hanya cocok diterapkan di perkotaan yang padat penduduk, dan mutu ataupun sebaran sekolahnya sudah merata; tetapi tak cocok untuk Indonesia yang begitu luas dan penyebaran lokasi sekolah negerinya tak merata.
Otonomi semu
Di tingkat perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTNBH), semangat MBMK itu juga tidak tampak karena PTN/PTNBH terbukti tidak memiliki otonomi. Otonominya semu karena kebijakan kampus tak dapat terlepas dari indikator kinerja utama (IKU) yang dibuat Kemendikbudristek, termasuk dalam pendanaan.
Salah satu dasar utama pemberian subsidi untuk PTN/PTNBH adalah kesesuaian program kampus dengan IKU. Ini sebetulnya kontradiktif dengan dorongan privatisasi PTN menjadi PTNBH dengan alasan agar lebih otonom karena dalam praktiknya, PTNBH sendiri tak otonom. Tak otonomnya PTNBH tak hanya tecermin dari suara menteri yang sampai 35 persen dalam pemilihan rektor, tetapi juga intervensi langsung ke institusi kampus, seperti terlihat di Universitas Indonesia (UI) dengan lahirnya PP No 75/2021 tentang Statuta UI sebagai pengganti PP No 68/2013.
Statuta UI yang terdapat dalam PP No 68/2013 disusun oleh UI sendiri, sementara PP No 75/2021 disusun oleh Kemendikbudristek. Suara Dewan Guru Besar UI yang lantang meminta agar PP No 75/2021 dicabut, hingga saat ini masih tetap saja dipertahankan. Lalu di mana otonominya UI sebagai PTNBH?
Menarik untuk dicermati adalah proses pemilihan rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) yang dimenangi oleh calon yang tidak didukung Mendikbudristek. Ini merupakan sejarah baru di PTN/PTNBH, di mana suara menteri tidak bertaji lagi. Boleh jadi ini merupakan ekspresi dari perlawanan akademis insan kampus terhadap kebijakan MBKM yang terasa tidak jelas.
Bagaimana agar kita dapat keluar dari lorong gelap tersebut? Pertama, perlu ada kerendahan hati dari pembuat kebijakan untuk mengakui bahwa kebijakan seperti PGP dan PSP itu jelas-jelas melanggar UU Sisdiknas serta UU Guru dan Dosen sehingga tidak perlu dilanjutkan. Itu semakin memperlebar kesenjangan kualitas pendidikan antarsekolah ataupun antardaerah.
Kedua, Mendikbudristek juga tidak perlu memaksakan IKM kalau para guru belum dilatih. Ketiga, kalau betul ingin memerdekakan kehidupan kampus, sebaiknya kepada PTN/PTNBH perlu diberikan otonomi yang sesungguhnya, bukan otonomi semu. Percayakanlah pada kemampuan para pengelola PTN/PTNBH yang telah mampu melahirkan para pemimpin bangsa di negeri ini.
Darmaningtyas, Penasihat Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS)