Tonggak-tonggak Satu Abad NU
NU memberi kontribusi penting kepada Indonesia dan dunia, terutama dunia Islam. Dalam usia satu abad NU, ada tonggak-tonggak sejarah yang patut dikenang. NU membantu menyelamatkan Indonesia dari bahaya konservatisme.
Tepat pada 7 Februari 2023, Nahdlatul Ulama memasuki usia satu abad jika dihitung dengan kalender Hijriah (1344-1444 H). Tentu saja, ini bukanlah usia pendek.
Satu abad adalah usia yang cukup panjang untuk sebuah gerakan Islam di Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU) merupakan sedikit di antara organisasi Islam di Indonesia yang mampu bertahan hingga mencapai usia 100 tahun.
Usia satu abad ini dirayakan nahdliyin melalui rangkaian acara yang telah berlangsung dalam beberapa bulan sejak pertengahan 2022 dan berpuncak pada Peringatan Satu Abad NU yang berlangsung di Stadion Delta Sidoarjo, Jawa Timur, pada 7 Februari 2023.
Bagi warga NU, tentu saja usia satu abad ini sesuatu yang membanggakan. Kebanggaan itu bukan semata didasarkan pada alasan kronologi atau usia organisasi, melainkan, dan terlebih lagi, karena dalam rentang seratus tahun itu ada historical milestones, tonggak-tonggak sejarah yang patut dikenang.
Pada tonggak-tonggak itu kita bisa menengarai sejumlah kontribusi penting yang telah ”disedekahkan” oleh NU kepada Indonesia dan dunia secara lebih luas, terutama dunia Islam.
Baca juga : Jalan Abad Kedua Nahdlatul Ulama
Baca juga : Tekad Menjaga Kemanusiaan
Tulisan ini akan mencoba melacak tonggak-tonggak yang menandai sejarah lahir dan berkembangnya NU di negeri ini dalam rentang waktu seratus tahun. Tonggak-tonggak itu diketengahkan di sini bukan dalam konteks ”kebanggaan diri”, melainkan sebagai cara untuk mensyukuri sebuah anugerah.
Bagi sebagian kalangan, tonggak-tonggak ini mungkin tampak sepele atau ”sudah seharusnya begitu” (taken for granted). Saya memaknai tonggak-tonggak itu sebagai hasil dari sebuah ikhtiar dan proses berliku, bahkan mengandung sejumlah risiko yang tidak ringan.
Waktu kerap bertindak ”brutal”: sesuatu yang semula dihasilkan melalui proses yang sulit dan berliku, kemudian tampak alamiah, biasa-biasa saja, bahkan sepele.
Cinta tanpa syarat
Tonggak pertama yang layak disebut ialah keputusan para kiai NU untuk menerima negara Indonesia sebagai ”bentuk politik” yang sah dalam kacamata Islam. Bagi kiai-kiai NU, Indonesia sebagai ”wadah politik” yang menampung aspirasi bangsa akan sebuah negara yang melindungi semua warganya telah diterima tanpa sikap cadangan (reserve), tanpa syarat yang bertele-tele.
Kecintaan warga NU kepada Indonesia merupakan sebentuk cinta yang tak bersyarat (unconditional love).
Harus ditegaskan di sini, penerimaan warga NU yang tanpa syarat ini terbatas pada Indonesia sebagai bentuk (form), bukan sebagai ”isi” (substance). Pada level isi, tentu saja terbuka ruang yang luas bagi ”ijtihad politik” untuk memperdebatkan bagaimana bentuk atau wadah bernama Indonesia itu mesti diisi.
Dengan kata lain, Indonesia telah selesai sebagai ”bentuk”. Dengan tanpa sikap apologetik sedikit pun, warga NU, misalnya, biasa memakai jargon ini: NKRI harga mati. Indonesia telah selesai sebagai sebuah bentuk. Namun, sebagai ”isi”, ia tetaplah sebuah proyek yang tak pernah selesai; selalu terbuka pada usaha-usaha perbaikan—a never ending project.
Harus ditegaskan di sini, penerimaan warga NU yang tanpa syarat ini terbatas pada Indonesia sebagai bentuk ( form), bukan sebagai ”isi” ( substance).
Isu keadilan dan bagaimana isu itu mesti ditegakkan di negeri ini, misalnya, bukanlah sebuah proyek harga mati. Hal itu adalah ikhtiar yang tak pernah selesai hingga kapan pun.
Sebagian pendiri NU, seperti Kiai Hasyim Asy’ari, dan kiai-kiai lain yang segenerasi melewatkan pendidikan mereka pada akhir abad ke-19 dan ke-20 di haramain alias Mekkah dan Madinah. Mereka hidup di dua kota suci itu pada saat negeri-negeri Arab masih berada di bawah kekuasaan Turki Usmani.
Dengan kata lain, generasi pendiri NU hidup pada zaman ketika bentuk negara khilafah yang berpusat di Istanbul, Turki, masih tegak. Yang menarik, kiai-kiai yang pernah hidup di era kekhilafahan ini sama sekali tidak tertarik untuk menerapkan bentuk negara itu di Indonesia.
Bahkan, sosok seperti Kiai Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971), salah satu pendiri NU, telah aktif dalam gerakan nasionalisme yang menuntut berdirinya negara nasional Indonesia sejak mereka masih belajar di Mekkah pada awal abad ke-20. Kiai Wahab, misalnya, telah aktif dalam Serikat Islam (SI) sejak ia masih menjadi santri di Mekkah.
Pertanyaan yang patut diajukan di sini ialah apakah para kiai itu memandang praktik negara khilafah yang sudah berlangsung ratusan tahun dalam sejarah Islam sebagai bentuk kenegaraan yang sudah tidak relevan lagi? Apakah secara keagamaan mereka berpandangan bahwa bentuk negara khilafah bukanlah satu-satunya opsi sehingga bisa berubah dari waktu ke waktu?
Ilustrasi
Kalaulah saja bentuk negara khilafah itu suatu keharusan agama, kenapa para kiai yang amat alim itu tak pernah memperjuangkannya di negeri ini? Kenapa mereka bersedia melakukan ”kompromi politik” dengan menerima ”negara Pancasila” sebagai sebuah opsi yang masuk akal, seraya meninggalkan opsi negara Islam, misalnya? Apakah ini sikap yang mencerminkan pragmatisme politik belaka, ataukah ada sesuatu yang lebih ”dalam” di sana?
Lepas dari apa pun bentuk jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, yang jelas pilihan para kiai NU untuk menerima bentuk negara nasional yang tidak berdasarkan agama itu memiliki implikasi yang amat jauh. Jika dilihat kembali, keputusan ini adalah sebuah tonggak kebangsaan yang patut disyukuri; sebuah anugerah.
Andai saja para kiai itu memilih opsi untuk mencontek pengalaman kekhilafahan Turki Usmani di Indonesia, sejarah negeri ini jelas akan berbelok sama sekali. Dan boleh jadi, ini akan jadi belokan yang amatlah fatal, bahkan berdarah-darah.
Meski tampak sepele jika dilihat dari sudut pandang saat ini, keputusan para kiai itu merupakan langkah politik yang amat berani. Sebagai sebuah praksis politik, bentuk negara nasional amatlah ”asing” dalam pengalaman Islam praabad ke-20.
Andai saja para kiai itu memilih opsi untuk mencontek pengalaman kekhilafahan Turki Usmani di Indonesia, sejarah negeri ini jelas akan berbelok sama sekali.
Selama ratusan tahun, umat Islam hidup di bawah sistem politik kerajaan yang disebut ”sistem kekhilafahan” (al-khilafah al-Islamiyyah).
Bentuk negara bangsa itu jelas berasal dari pengalaman negeri-negeri Barat yang menjadi asal-muasal kolonialisme modern. En toch demikian, para ulama ”tradisional” itu, dengan sikap lapang, bisa menerima bentuk negara modern itu.
Ini, di mata saya, bukanlah sikap kapitulasi atau tindakan selling out, tunduk pada kemauan ”asing”. Sebaliknya, ini menandai sikap keterbukaan pada perubahan-perubahan sosial selama tidak bertentangan dengan pokok-pokok dari ajaran agama.
Di kalangan kiai NU dikenal sebuah prinsip yang menjadi semacam kaidah umum dalam menghadapi perubahan-perubahan zaman, yaitu ”menjaga yang lama yang baik, seraya mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik” (al-muhafadzah ’ala al-qadim al-salih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah).
Kaidah sederhana ini telah menjadi ”penyelamat”bagi warga NU dalam memengaruhi gejolak sejarah dari zaman ke zaman. Dalam kaidah ini terkandung kebijaksanaan yang menyeimbangkan antara kehendak merawat tradisi di satu pihak dan imperatif menyesuaikan diri dengan perubahan di pihak lain.
Sikap akomodatif
Tonggak kedua ditandai dengan momen penerimaan para kiai terhadap Pancasila sebagai asas tunggal. Penerimaan ini terjadi saat Muktamar Ke-27 NU di Situbondo yang berlangsung pada 1984.
Dari sudut pandang saat ini, keputusan tersebut bisa tampak sederhana, tetapi ia bukanlah sesuatu yang sederhana. Penerimaan ini menandai sikap politik yang khas pada kiai-kiai NU; sikap di mana Pancasila dan Islam tak dilihat sebagai dua hal yang saling bertentangan, tetapi dua hal yang, meminjam istilah Gus Dur, ”saling komplementer”, melengkapi.
Proses transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia, harus jujur diakui, difasilitasi antara lain oleh sikap akomodatif yang berkembang di kalangan para kiai dan umat Islam semacam ini. Jika pandangan dominan dalam umat Islam ditandai dengan sikap membenturkan antara kedua hal itu (Islam dan Pancasila), misalnya, sudah tentu jalan demokrasi di Indonesia akan mengalami jalan terjal yang sulit.
Jika pandangan dominan dalam umat Islam ditandai dengan sikap membenturkan antara kedua hal itu (Islam dan Pancasila), misalnya, sudah tentu jalan demokrasi di Indonesia akan mengalami jalan terjal yang sulit.
Tentu saja, para kiai dan nahdliyin bukanlah satu-satunya segmen dalam umat Islam di Indonesia yang memiliki sikap akomodatif seperti ini.
Namun, tidak bisa diabaikan pula kenyataan bahwa kiai-kiai NU berada di barisan terdepan dalam mengembangkan sikap seperti ini. Sikap ini tidak saja lahir dari semacam kebutuhan menanggapi kebutuhan sesaat (political expediency), tetapi juga didasari sejumlah argumen yang berjangkar pada khazanah tradisi NU.
Dengan kata lain, sikap ini mewakili posisi yang otentik, bukan sekadar respons darurat atas desakan situasi sesaat.
Kewargaan yang setara
Tonggak terakhir ialah terobosan yang dilakukan kiai-kiai NU saat Munas Alim Ulama di Banjar Patroman, Jawa Barat, yang berlangsung Maret 2019.
Di sana diambil sebuah keputusan penting, yaitu perumusan konsep kewarganegaraan yang terbuka, setara, dan inklusif; konsep yang amat dibutuhkan Indonesia saat ini di tengah-tengah kecenderungan konservatisme keagamaan dalam beberapa tahun terakhir.
Dengan rumusan seperti ini, warga non-Muslim yang tinggal di Indonesia, misalnya, dilihat dari sudut pandang keagamaan sebagai ”warga negara” (muwathin), bukan lagi seorang ”kafir”, apalagi ”kafir zimi”, sebagaimana dikenal dalam khazanah fikih Islam klasik.
Dengan langkah seperti ini, NU telah memperkuat landasan keagamaan bagi gagasan tentang kesetaraan warga negara, tanpa melihat asal-usul agama, etnisitas, atau latar-latar kultural-partikular yang lain.
Tentu saja, dalam rentang satu abad, ”khidmah” dan kontribusi NU bagi Indonesia amat banyak, baik di sektor keagamaan, pendidikan, maupun sektor lain. Namun, tiga tonggak di atas saya pandang sebagai ”khidmah civic” yang amat berharga yang disumbangkan kiai-kiai NU bagi Indonesia.
Di tengah-tengah maraknya tendensi keagamaan yang cenderung eksklusif-partikularistik yang bisa berdampak fatal bagi Indonesia dalam jangka panjang, kontribusi NU semacam ini jelas amat berharga.
Ia telah membantu menyelamatkan Indonesia dalam mengarungi belokan-belokan berbahaya dalam sejarah bangsa ini, termasuk apa yang disebut sebagai belokan konservatisme (conservative turn).
Ulil Abshar-AbdallaKetua Lakpesdam PBNU