Tekad Menjaga Kemanusiaan
Satu abad yang telah dilalui menjadi pijakan langkah NU menapaki abad kedua selanjutnya. NU, seperti disampaikan Gus Yahya selaku pemimpin PBNU, bertekad menolong kemanusiaan.
Di tampuk kepemimpinan KH Yahya Cholil Staquf, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama akan meletakkan fondasi untuk menapaki perjalanan ke abad keduanya. Torehan prestasi gemilang di abad pertama menjadi modal sosial. Di seratus tahun pertama, NU sudah terbukti berhasil menyokong persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam sejarah perjalanan NU, pada 1983, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur selaku Ketua Tim Tujuh berhasil menyusun rumusan untuk mengembalikan khitah NU 1926. Khitah itu adalah mengembalikan NU menjadi organisasi kemasyarakatan, bukan organisasi politik. Langkah ini pula yang diikuti Gus Yahya. Sesuai khitah NU 1926, dia ingin NU tidak ke mana-mana, tetapi ada di mana-mana.
Ditemui di sela-sela acara Gagas RI di Studio 1 Kompas TV, Jakarta, seminggu sebelum puncak perayaan Satu Abad NU pada 7 Februari, Gus Yahya menceritakan arah perjuangan organisasi masyarakat terbesar di Indonesia ini.
Berikut petikan wawancara Kompas dengan Gus Yahya:
Apa makna dan pesan dari tema perayaan Satu Abad NU ”Mendigdayakan NU, Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru” kepada internal nahdliyin dan bangsa Indonesia secara umum?
Secara internal, kami ingin membangkitkan semangat dari warga NU ini dengan berangkat dari kesadaran tentang potensi raksasa yang sudah dimiliki. Potensi ini jika dikelola dengan baik, akan menjadi kekuatan yang besar sekali. NU akan menjadi tidak hanya menjadi sekadar berdaya, tetapi juga bisa digdaya.
Kami bangkitkan juga kesadaran tentang tugas yang berat di masa depan karena amanat cita-cita yang dititipkan oleh para pendiri untuk NU berupa visi besar yang bukan hanya menyangkut Indonesia saja, bukan hanya menyangkut umat Islam, melainkan visi yang terkait dengan peradaban dunia secara keseluruhan.
Kalau orang hendak berpikir tentang bagaimana membantu dunia Islam, dari ajaran Gus Dur, tidak ada cara yang lebih baik selain dengan menolong kemanusiaan secara seluruhnya. Kalau keadaan kemanusiaan bisa diperbaiki, dunia Islam akan mendapatkan perbaikan di dalam kondisinya.
Baca juga: Berkah NU
Di peringatan satu abad nantinya Gus Yahya akan meletakkan fondasi NU di abad keduanya. Sedikit refleksi dari kiprah NU yang begitu besar, apa yang baik dan apa yang perlu diperbaiki di abad kedua?
NU bisa dipahami dengan sudut pandang tahapan 26 tahunan. Pada 26 tahun pertama, NU disibukkan dengan pemapanan kedudukan ulama di dalam kepemimpinan gerakan. Mereka ingin menunjukkan bahwa NU adalah gerakan ulama. Ulama menjadi penentu dalam berbagai macam pertimbangan masalah bangsa. Butuh 26 tahun untuk sampai pada tempat dan kedudukan yang ultimate atau paripurna di dalam gerakan pada tahun 1926-1952.
Pada 26 tahun berikutnya, 1952-1978 adalah proses pengembangan konstituensi. Makanya, NU menjadi partai politik. Itu untuk mengembangkan konstituen secara efektif menjadi meluas. Sebab, sebelumnya NU sangat terbatas sekali (pada) NU. Dengan menjadi parpol, konstituennya dapat diperluas sehingga bisa berskala nasional.
Setelah itu tercapai, baru mulai mengembangkan dan kembali ke khittah. Itu sudah keputusan sejak tahun 1977. Mulai dilaksanakan secara deliberate tahun 1978 dengan cara mengembangkan peran-peran yang lebih konkret di berbagai bidang.
Upaya ini mengalami percepatan sejak 1984 sehingga NU menjadi kiprah yang luas sekali, dengan pengembangan 14 lembaga yang meng-address hampir semua masalah-masalah kemasyarakatan. Kemudian, NU juga berhasil mengembangkan lebih dari 25.000 madrasah dan sekolah, 30.000 pesantren, dan sebagainya.
Saya kira, sekarang ini saatnya kita mengonsolidasikan apa yang kita punya ini ke dalam strategi yang lebih sistematis, koheren dan decisive (menentukan). Supaya jelas ini kita mau ke mana. Apa yang kita sepakati, itu yang kita lakukan.
Baca juga: Menguatkan Semangat Persaudaraan pada Resepsi Seabad Nahdlatul Ulama
Di bawah kepemimpinan Gus Yahya ada lembaga baru seperti Badan Pengembangan Jaringan Internasional dan Badan Inovasi. Apakah ada kaitan untuk mengutip tema dari peringatan ”Menuju Kebangkitan Baru”? Apa yang hendak diraih dengan penguatan dua badan tadi?
Sebetulnya ada tiga. Satu, Badan Pengembangan Administrasi Keorganisasian dan Kader. Karena kami ingin atau butuh membangun suatu sistem organisasi yang bisa mendorong kinerja yang lebih baik.
Kemudian, yang kedua, adalah Badan Pengembangan Inovasi karena kami jelas butuh pembaharuan-pembaharuan dalam berbagai sektor.
Ketiga, Badan Pengembangan Jaringan Internasional, karena hari ini orang tidak bisa lari dari dinamika global. Maka, NU harus terlibat. Dalam bahasa saya, kalau kami tidak ikut main, kita cuma jadi korban permainan orang. Kami harus berusaha agar bisa ikut main. Kalau urusannya global, harus kami kembangkan jaringan globalnya.
NU banyak menjalin relasi dengan tokoh agama lintas iman. Ke depan apa peran internasional yang akan dilakukan NU?
Sejak awal kami jadikan salah satu agenda utama dari NU ke depan itu adalah berkontribusi dalam membangun kehidupan pergaulan global yang lebih baik. Mendorong harmoni dan perdamaian. Di situ kami lakukan dan inisiasi sejumlah upaya. Salah satunya adalah apa yang kemudian disebut sebagai R20 (Religion 20) di Bali, tahun 2022.
Di antara gagasan yang muncul dalam diskusi, kami perlu meninjau unsur-unsur ajaran dalam setiap agama dan menilai apakah ada ajaran yang perlu dikontekstualisasikan? Ajaran-ajaran yang need to be relinquished (perlu dilepaskan). Jadi, perlu diubah karena tidak lagi bisa dipaksakan dalam konteks agama.
Kami lalu bergerak di Muktamar Fiqih Peradaban untuk menentukan landasan fikih karena dalam Islam itu syariat itu turunannya ke fikih. Landasan fikih yang kuat untuk membangun wacana baru tentang norma-norma hubungan Islam dengan yang lain. Muslim dengan non-Muslim. Kami ingin mencari formulasi tentang bagaimana agama seharusnya berfungsi dalam realitas peradaban masa kini.
Baca juga: Menapaki Jejak Peradaban Islam Nusantara di Bumi Jenggala
Lantas, bagaimana peran NU di domestik? Apa yang akan diperkuat?
Itu akan lebih kompleks lagi, karena kami harus masuk pada semua sektor yang sebetulnya modalnya sudah ada. NU ini sebetulnya sudah punya modal besar sekali dalam bidang pendidikan, dalam bidang ekonomi juga sudah menggeliat.
Yang diperlukan sekarang adalah bagaimana membangun strategi yang terkonsolidasi, sistematis, dan dieksekusi secara koheren. Itu yang sekarang sedang kita lakukan.
Makanya, kami bikin badan yang namanya Pengembangan Keanggotaan dan Administrasi Kader dan Badan Inovasi. Karena, kami ingin membangun strategi yang lebih sistematis dan eksekusinya secara koheren. Untuk rangkaian kegiatan peringatan satu abad ini, kami membangun sembilan kluster kegiatan. Semuanya sebetulnya mencerminkan sendi-sendi strategi yang hendak kami kembangkan ke depan.
Contohnya kegiatan perempuan NU atau NU Woman yang mendorong peran lebih aktif dari gerakan perempuan NU. Kenapa? Karena yang kami sasar adalah transformasi yang bukan hanya di permukaan, tetapi juga sampai kepada mindset dan karakter dari masyarakat. Transformasi seperti itu tidak bisa tidak membutuhkan kaum perempuan. Karena perempuan yang akan berurusan dengan generasi penerus sejak awal sebagai ibu.
Baca juga: Jelang Resepsi Puncak Satu Abad NU
Menuju tahun politik 2024 yang penuh tarikan kepentingan, bagaimana NU memosisikan diri? Apalagi banyak warga nahdliyin di berbagai parpol?
Pertama-tama, NU harus berani mengatakan bahwa NU tidak boleh menjadi pihak di dalam kompetisi. Itu yang kita tegaskan berulang kali. Bukan berarti orang NU tidak boleh berkompetisi, tetapi tidak atas nama NU.
Dalam hal ini, kita masih harus bertarung karena masih ada yang mengklaim NU. Kami yakin bahwa ini harus kami lakukan. Saya bilang bahwa NU tidak boleh menjadi biang kerok dari potensi bencana di masa depan.
Bencana yang sudah terjadi di tempat lain. Di India, misalnya, RSS itu mirip NU, organisasi berbasis Hindu yang besar dan membentuk parpol dan kemudian memompa identitas Hindu secara habis-habisan jadinya seperti sekarang.
Walaupun mungkin masalah identitas itu selesai di elite, di bawah tidak mudah selesai, terlalu jadi mentalitas di bawah. Makanya, yang terjadi sekarang ini persekusi. Bahkan, penganiayaan terhadap minoritas di India karena mentalitas masyarakat yang dibentuk melalui politik weaponisasi. NU tidak boleh ke situ. Kalau NU diturutin begitu, nanti yang bukan NU dipukuli oleh orang NU.
Di kalangan NU sendiri banyak yang tidak setuju. Ada yang mengatakan bahwa NU ini besar. Kalau bisa bersatu secara politik, tidak ada yang bisa mengalahkan. Tetapi tidak boleh begitu karena akibatnya bisa seperti India atau Nigeria. Ada persekusi dari mayoritas Muslim kepada minoritas Kristen di sana. Ini karena dipompa politik identitas. Kami tidak mau. Jangan sampai.
Semoga Allah melindungi NU agar tidak menjadi pangkal persoalan.