Jalan Abad Kedua Nahdlatul Ulama
Momentum usia satu abad NU waktu yang tepat untuk melakukan semacam refleksi ke dalam, sekaligus mengagendakan langkah-langkah terukur yang bisa dilakukan untuk kiprah yang lebih baik di masa depan, pada abad kedua NU.
Nahdlatul Ulama pada tahun Hijriah ini (1444 H bertepatan dengan 7 Februari 2023) memasuki usia satu abad. Sungguh, sebuah usia yang matang bagi sebuah organisasi.
Rasa syukur menjadi sebuah keniscayaan atas anugerah yang istimewa ini.
Di usianya yang cukup matang, telah banyak tinta emas yang ditorehkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dalam bingkai sosial beragama, berbangsa, bernegara, dan bergaul secara global. NU selalu menjadi avant garde tidak hanya dalam upaya-upaya untuk melawan ancaman kesatuan dan persatuan NKRI, tetapi lebih dari itu, yang paling penting adalah membangun pola keberagamaan, keadaban, dan juga peran serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara.
Melihat kiprah dan peran NU sepanjang seratus tahun ini, momentum usia satu abad NU adalah waktu yang tepat untuk melakukan semacam refleksi ke dalam, sekaligus mengagendakan langkah-langkah terukur yang bisa dilakukan untuk kiprah yang lebih baik di masa depan. Ini penting dilakukan sebagai bagian dari melihat ke dalam untuk melangkah lebih dinamis dan strategis di masa yang akan datang.
Baca juga:NU Inisiasi Diskursus tentang Peradaban lewat Muktamar Internasional Fiqih Peradaban
Baca juga: Berkah NU
Empat faktor
Pada hemat saya, dengan merujuk berbagai hasil analisis yang dilakukan sejumlah pengamat, setidaknya ada empat faktor utama yang memengaruhi eksistensi NU hingga saat ini.
Pertama, jumlah massa yang gigantik. Memang, hingga kini belum tersedia data resmi yang menyebutkan angka persis kaum nahdliyin, tetapi berdasarkan survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2019, jumlah warga NU ada di kisaran 108 juta orang. Angka yang sangat besar dan menahbiskan NU bukan semata sebagai organisasi terbesar skala nasional, melainkan juga mondial.
Kedua, adanya kesamaan kultur. Kesamaan kultur merupakan kata kunci yang menjadi password yang—meminjam IK Khan dalam Islam in Modern Asia (2006)—dapat mempertemukan warga NU sehingga eksistensinya sampai saat ini tidak terbantahkan lagi.
Kesamaan kultur ini sering juga diposisikan sebagai penanda, pengidentifikasi, dan sekaligus alat ukur paling kasat untuk menentukan ke-NU-an. Sering kita menemukan kalimat, ”Jika keluarganya meninggal, lalu yang ditinggal menyelenggarakan tahlilan, berarti keluarga tersebut NU. Kalau mauludan, kalau masih ziarah kubur, atau kalau shalat Subuh pakai qunut, yang bersangkutan adalah NU”.
Ketiga, watak kemandirian ulama-ulamanya. Ulama-ulama NU, diakui atau tidak, merupakan ulama-ulama yang sangat mandiri. Ulama-ulama—yang rata-rata memilih untuk tetap berdiam diri di pesantrennya di hampir seluruh wilayah Indonesia—sesungguhnya merupakan ulama-ulama yang sangat mandiri dan tidak menggantungkan kehidupan dan kelangsungan pesantrennya kepada apa pun dan siapa pun saja.
Mereka sudah terbiasa dengan adagium uripmung sak dermo anglakoni (hidup hanya sekadar menjalankan laku yang sudah dititahkan Tuhan). Watak mandiri yang dimiliki ulama-ulama NU ini secara tak langsung berimbas pada terjaganya warga NU (nahdliyin). Sebab, rata-rata nahdliyin merupakan santri meskipun tidak semuanya pernah mengenyam pendidikan di pesantren.
Hal itu bukan mengada-ada. Sebab, kekuasaan ulama-ulama dan kiai di NU itu tidak tersekat oleh tebalnya dinding-dinding pesantren. Suara kiai bisa menembus dan melompati dinding-dinding pembatas pesantren tersebut jauh mengembara ke lubuk hati ”santri-santri”-nya yang berada di luar pesantren.
Keempat, militansi dan loyalitas warga. Hal ini juga menjadi kekuatan nahdliyin. Sikap militansi yang didasari oleh kesukarelaan (tathowwuiyyah) menjadi penggerak nadi kehidupan organisasi yang lahir di Surabaya ini. Terlebih, faktor keberkahan tampaknya juga menjadi salah satu faktor utama mengapa fenomena loyalitas dan militansi itu sedemikian kental di NU.
Suara kiai bisa menembus dan melompati dinding-dinding pembatas pesantren tersebut jauh mengembara ke lubuk hati ”santri-santri ”-nya yang berada di luar pesantren.
Langkah abad kedua
Lalu, dengan kondisi dan capaian-capaian pada abad pertama, apa yang bisa dilakukan pada abad kedua NU?
Setidaknya ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, refleksi KH Muchit Muzadi (2003) menyangkut alam bawah sadar kebanyakan nahdliyin terkait ”dualisme wajah NU” sampai saat ini masih menjadi persoalan yang harus segera dicari solusinya. Dualisme yang dimaksud Kiai Muchit adalah wajah jamiyyah dan wajah jemaah yang dimiliki NU.
Dua terminologi tersebut memiliki arti yang sangat berbeda satu sama lain. Jika yang pertama merujuk pada mekanisme organisatoris, yang kedua lebih bersifat kolosalis. Jika yang satu berbekal kedisiplinan, yang lain hanya berbekal kesamaan identitas, ritus, dan ideologi. Secara ringkas, jamiyyah adalah organisasi, sedangkan jemaah adalah paguyuban.
Kondisi yang demikian ini menjadikan NU tidak lantas memiliki jawaban pasti soal berapa jumlah warganya, bagaimana tingkat pendidikannya, seperti apa kondisi persis ekonominya, dan seterusnya. Data yang ada kerap dan masih sering mengandalkan perkiraan.
Dari mana perkiraan itu? Tentu saja dari militansi jemaah NU yang ”merasa” bahwa mereka NU. Fenomena seperti ini dalam bahasa yang lebih modern akan memunculkan istilah NU kultural dan NU struktural. NU kultural adalah mereka yang segala ideologi, ritus ibadah, dan karakter beragamanya senapas dengan ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah yang diusung NU. Sementara NU struktural adalah yang berarti terstruktur, biasanya dimaknai sebagai pengurus NU semata, dari tingkat pusat sampai tingkat anak ranting.
Problem ini memanglah sangat mendasar. Kendatipun demikian adanya, tidak ada alasan untuk tidak berubah dan berbenah untuk menjadi lebih baik. Perubahan mutlak diperlukan guna menuju NU yang lebih baik. Wajah kejemaahan NU sampai saat ini masih menjadi wajah yang dominan.
Kedua, sebagai bagian dari upaya untuk menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks, sumber daya manusia NU yang modern menjadi penting untuk digarap lebih serius pada abad kedua NU. Upaya pemberdayaan pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi adalah pilihan yang tidak bisa ditawar lagi. Fokus pendidikan di semua lini lembaga yang dimiliki NU yang selama ini dinilai kurang relevan dengan tantangan zaman harus disesuaikan dengan tagihan dan tuntutan zaman.
Fokus pendidikan di semua lini lembaga yang dimiliki NU yang selama ini dinilai kurang relevan dengan tantangan zaman harus disesuaikan dengan tagihan dan juga tuntutan zaman.
Ketiga, NU memiliki peluang yang sangat besar untuk mengambil peran dalam konteks perdamaian dunia dan perubahan iklim. Jika selama ini kiprah NU sebagai penginisiasi perdamaian dunia telah terbukti, yang perlu diintensifikasi adalah peran-peran dalam isu perubahan iklim di tingkat lokal, nasional, dan global. Ini penting dilakukan sebagai bagian dari kontribusi NU untuk penduduk global.
Keempat, dalam konteks politik kebangsaan, NU memiliki peran yang sangat penting. Peran NU bukan semata dimaknai sebagai elemen yang—sebagaimana selama ini terjadi—pemadam kebakaran dan pendorong mobil mogok. Peran semacam ini tentu bukan peran yang buruk, tetapi tidak bisa dikatakan sudah baik. Sebab, tantangan politik kebangsaan wujudnya sudah sangat modern sehingga strategi dan langkah yang diambil juga harus lebih modern.
NU dapat menjelma menjadi elemen yang menyejukkan dan memberi warna yang indah bagi perpolitikan bangsa dan negara. Terlebih dalam konteks menjelang tahun-tahun politik yang sudah berada di depan mata seperti saat ini. NU memiliki peluang yang sangat besar untuk ambil bagian dalam upaya memastikan proses demokratisasi di Indonesia berjalan dengan baik.
Selamat atas capaian usia satu abad, Nahdlatul Ulama. Teruslah menebar kemanfaatan bagi seluruh semesta.
A Helmy Faishal Zaini, Ketua Islam Nusantara Foundation (INF), Mantan Sekjen PBNU.