NU Inisiasi Diskursus tentang Peradaban lewat Muktamar Internasional Fiqih Peradaban
”Muktamar Internasional Fiqih Peradaban yang pertama ini sebagai inisiasi untuk wacana tentang peradaban seperti apa yang hendak kita inginkan bagi umat manusia,” kata Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Lebih dari 60 ulama dari 40 negara dipastikan hadir dalam Muktamar Internasional Fiqih Peradaban pertama yang akan berlangsung di Surabaya, Jawa Timur, Senin (6/2/2023). Inisiasi yang dilakukan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini diharapkan membuka diskursus atau wacana tentang peradaban bagi umat manusia.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf, atau akrab disapa Gus Yahya, mengatakan, setelah menggelar G20 Religion Forum atau R20, NU kembali menginisiasi pelaksanaan Muktamar Internasional Fiqih Peradaban. Acara yang pertama kali dilakukan dengan mengundang puluhan ulama dari sejumlah negara tersebut menjadi rangkaian dari sejumlah upaya NU dalam membangun peradaban dunia.
”Muktamar Internasional Fiqih Peradaban yang pertama ini sebagai inisiasi untuk diskursus atau wacana tentang peradaban seperti apa yang hendak kita inginkan bagi umat manusia ini,” ujar Gus Yahya di Surabaya, Minggu (5/2/2023).
Ia menuturkan, muktamar tersebut akan membahas sumbangan Islam untuk masa depan peradaban dunia. Termasuk di antaranya mendiskusikan fondasi keagamaan berlandaskan syariat Islam mengenai masa depan peradaban. Dengan demikian, bisa ditemukan landasan yang tepat untuk perdamaian dan harmoni dunia.
Menurut Gus Yahya, selama ini masyarakat Muslim, termasuk NU, sudah memiliki wacana yang cukup besar tentang toleransi dan moderasi beragama. Namun, masih ada kekosongan besar soal wawasan syariat yang valid terkait dengan peradaban. Oleh sebab itu, NU akan memulai pembicaraan tentang peradaban bersama para ulama dari negara lain.
”Kami hendak memulai satu perbincangan, satu wacana yang serius di kalangan ulama dan ahli fikih, tentang bagaimana sebetulnya wawasan tentang masa depan peradaban itu dikaitkan dengan nilai-nilai syariat yang valid,” tuturnya.
Gus Yahya mengatakan, Muktamar Internasional Fiqih Peradaban yang hanya digelar sehari diharapkan bisa menjadi pemicu agar ada upaya serupa dari ulama-ulama negara lain. Sebab, masalah peradaban tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat dan memerlukan upaya yang sejalan dari para ulama. Terlebih, acara ini bukan agenda kecil, melainkan agenda raksasa dan mesti melewati berbagai pergulatan.
”Muktamar Internasional Fiqih Peradaban yang pertama ini nanti akan kami buat reguler. Mudah-mudahan tahun depan bisa digelar kelanjutan muktamar yang kedua dan seterusnya setiap tahun atau sekurang-kurangnya dua tahun sekali untuk mengumpulkan ulama dari seluruh dunia,” katanya.
Muktamar Internasional Fiqih Peradaban pertama menjadi forum para ahli hukum dan mufti dari sejumlah negara untuk membicarakan berbagai isu modern, mulai dari konsep Islam tentang negara modern, soal relasinya dengan non-Muslim, hingga tata politik global. Acara akan dihadiri sekitar 300 ulama dengan menghadirkan 15 ulama sebagai pembicara kunci dari dalam dan luar negeri. Dari jumlah itu, ada 60 ulama dari 40 negara yang dipastikan hadir.
Guru Besar Ilmu Hukum Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie menilai, Muktamar Internasional Fiqih Peradaban yang digagas NU memberi kontribusi positif bagi kemanusiaan. Sebab, fikih peradaban yang digagas PBNU mendudukkan hukum Islam untuk kemanusiaan. Terlebih, perubahan di tengah masyarakat yang cukup dinamis perlu diikuti dengan cara baca yang baru dalam melihat teks-teks sumber hukum Islam. Oleh sebab itu, dibutuhkan cara baca untuk mendekatkan disparitas antara teks-teks suci dan realitas peradaban yang cukup dinamis tersebut.
”Inisiasi yang dilakukan PBNU ini memberi nilai positif untuk menempatkan fikih sesuai tujuannya, yakni untuk kemaslahatan kemanusiaan,” ujarnya.
Menurut Tholabi, ada sejumlah langkah yang perlu dilakukan untuk menjawab tantangan perubahan-perubahan tersebut. Pertama, menggali teks klasik peninggalan para pemikir Islam terdahulu untuk didialogkan dengan realitas saat ini sehingga bisa dicari titik temu dan perbedaan di antara keduanya. Dengan demikian, bisa dipertimbangkan konsekuensi apabila pandangan fikih masa lalu akan diterapkan pada realitas masa kini.
Kedua, diperlukan upaya mendialogkan realitas peradaban saat ini dengan teks-teks syariat secara metodologis, terutama dalam hal-hal yang tidak terdapat bandingan atau persamaannya dalam pandangan fuqaha. ”Dengan memikirkan segala kemaslahatan dan beban risiko kehancuran bagi umat manusia, sebagai inisiatif yang dapat menghadirkan stabilitas dan keamanan umat manusia. Ini butuh upaya kolaboratif pelbagai disiplin ilmu untuk membaca realitas ini dengan komprehensif,” ucapnya.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU KH Ulil Abshar Abdalla mengatakan, muktamar menjadi relevan karena umat Islam masa kini sedang menghadapi realitas baru. Salah satunya munculnya institusi negara bangsa di era modern yang mengubah konstelasi berbagai hal pada kehidupan di muka bumi. Realitas tersebut antara lain konsep kewarganegaraan serta konsep mengenai hukum yang terdikotomi menjadi dua, yakni hukum negara dan hukum agama. Kemudian muncul pula konsep mengenai mayoritas dan minoritas.
”Di samping itu, kemunculan negara bangsa di era modern juga disertai dengan munculnya lembaga multilateral yang mengatur hubungan antarbangsa, yaitu PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa),” ucapnya.
Menurut Ulil, PBB merupakan institusi yang secara de facto menjaga ketertiban dunia. Padahal, PBB merupakan institusi yang tidak pernah ada dalam sejarah pengalaman umat Islam. Namun, dalam perkembangannya, ada dokumen kesepakatan di antara negara anggota PBB yang diatur dalam Piagam PBB, salah satunya Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) Universal.
”Kalau kita menganggap PBB ini adalah institusi yang valid secara keagamaan atau fikih, artinya kita harus mengikuti kesepakatan yang disepakati oleh negara-negara modern berupa konvensi-konvensi yang diputuskan oleh PBB,” tuturnya.