Pemolisian Tiarap
Berbagai kasus besar yang mengguncang kepolisian memunculkan gaya pemolisian tiarap. Polisi kehilangan kepercayaan diri. Pemolisian tiarap tak hanya di Malang sebagai dampak tragedi Kanjuruhan, tetapi juga daerah lain.

Ilustrasi
Selama beberapa hari berada di Malang, belum lama ini, penulis menyaksikan banyak sekali spanduk bertebaran di seantero kota. Isi tulisannya seputar kemarahan masyarakat Malang terkait kerusuhan Kanjuruhan, 1 Oktober 2022.
Sebagaimana diketahui, pemicu utama kepanikan penonton adalah ketika gas air mata dilontarkan oleh personel Brimob untuk membubarkan kerusuhan di Stadion Kanjuruhan seusai pertandingan Arema FC vs Persebaya.
Dari lapangan hijau, beberapa personel melontarkan gas tersebut berkali-kali ke tribune. Karena lokasi tidak di alam terbuka, gas jadi mengumpul dan, oleh karena itu, amat memedihkan mata. Alhasil, penonton panik dan berupaya menyelamatkan diri keluar dari pintu yang ternyata terkunci. Seratus lebih penonton terinjak-injak dan meregang nyawa.
Episode berikutnya adalah episode kebencian kepada kepolisian. Mobil polisi dirusak, demikian juga anggota kepolisian dilukai. Sumpah serapah dilontarkan kepada kepolisian. Hingga hari ini, berbagai delegasi mendatangi Mabes Polri, Kantor Menko Polhukam, dan bahkan Istana Negara, untuk mencari keadilan.
Baca juga : 100 Hari Korban Kanjuruhan dan Aremania Menuntut Keadilan
Baca juga : Perkara Dilimpahkan, Penanganan Tragedi Kanjuruhan Dinilai Tidak Serius
Seolah merespons hal itu, personel kepolisian tak banyak terlihat di berbagai pelosok Malang. Amat jarang penulis melihat personel berseragam yang hilir mudik di jalan-jalan Malang, apalagi personel lalu lintas. Hanya sesekali mobil polantas berseliweran. Meski demikian, penulis melihat situasi kantor-kantor kepolisian terlihat normal, tidak terlihat penjagaan yang ketat dan luar biasa.
Hal itu pun diakui Kapolresta Malang saat bertemu penulis. Guna menghindari benturan, banyak personel sengaja menggunakan seragam sipil atau melakukan pengamanan secara tertutup.
Sudah bisa diduga, juga dalam rangka menghindari benturan, kepolisian setempat amat mengurangi melakukan tindakan tegas, entah berupa penangkapan, penahanan, penyitaan, apalagi penembakan. Semoga tak ada pihak yang memanfaatkan kebijakan kepolisian yang amat menahan diri itu. Fenomena itulah yang, dalam amatan penulis sebagai pengamat kepolisian, disebut sebagai ”pemolisian tiarap” (lay down policing).
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F20%2F1319aa4a-d30d-4cff-8044-d067468102d1_jpg.jpg)
Spanduk bernada tuntutan untuk mengusut tuntas tragedi Kanjuruhan masih terpampang di sejumlah titik di area Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, sebagaimana diabadikan Kamis (20/10/2022) atau 20 hari pascatragedi yang menewaskan ratusan suporter Arema itu.
Mengapa tiarap
Jika kata pemolisian (atau policing) mengacu pada dipergunakannya secara kombinatif berbagai kewenangan, kemampuan, dan sumber daya kepolisian untuk menciptakan masyarakat yang tertib hukum (law and order society), kata tiarap di sini bermakna konotatif. Maksudnya, tak berarti kepolisian sedang tiarap dalam arti yang sesungguhnya, tapi memperlihatkan berbagai hal yang mirip orang yang sedang tiarap.
Orang yang sedang tiarap pastilah dalam rangka menghindarkan diri dari sesuatu hal. Bisa saja orang itu tiarap agar terhindar dari desingan peluru atau lemparan batu. Di pihak lain, dengan orang tersebut tiarap, ia tidak bisa melarikan diri atau melakukan hal-hal lain selain menutupi kepala dan menunduk serendah-rendahnya.
Demikian pula yang terjadi di kepolisian dewasa ini, sekurang-kurangnya yang terlihat di Kota Malang. Menyadari bahwa hujatan sedang berseliweran tanpa henti, maka daripada mengajak dialog yang pasti akan gagal, lebih baik kepolisian tiarap. Dengan tiarap, kemungkinan benturan menjadi minimal.
Menyadari bahwa hujatan sedang berseliweran tanpa henti, maka daripada mengajak dialog yang pasti akan gagal, lebih baik kepolisian tiarap. Dengan tiarap, kemungkinan benturan menjadi minimal.
Namun, pada saat yang sama, kepolisian tidak bisa atau amat terbatas saat melakukan beberapa tugas pemeliharaan kamtibmas, entah dalam bentuk kegiatan sambang dan suluh, kegiatan intelijen, kegiatan patroli, hingga kegiatan penegakan hukum.
Dengan kata lain, pemolisian tiarap menunjuk pada tindakan sengaja dari kepolisian untuk tak mengaktifkan kewenangan, kemampuan, dan sumber dayanya untuk tujuan strategis tertentu. Apa itu? Yakni tidak terjadinya konflik akibat publik melawan atau menyerang petugas kepolisian yang bertugas.
Kembali pada hakikat pemolisian, di mana mirip dengan peribahasa ”seribu jalan menuju Roma”, pemolisian tiarap ini tidak bisa dikatakan melulu negatif atau salah. Jika hal itu membuat masyarakat tenang, mengapa tidak?
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F03%2F6d70a2b2-2f05-4f4d-83a4-fefaad4f12ad_png.jpg)
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD dalam jumpa pers, Senin (3/10/2022), seusai rapat dengan para pejabat yang mewakili institusi terkait, antara lain Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, serta Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono.
Terjadi sekarang
Pemolisian tiarap tampaknya merupakan gaya pemolisian yang kelihatan- nya tidak hanya ditemui di Malang, tetapi juga di sejumlah kota besar, bahkan hingga ke pelosok-pelosok.
Penyebabnya bisa diduga. Pada 2022 terjadi berbagai peristiwa besar yang mengguncang kepolisian, mulai dari kasus pembunuhan Yoshua Hutabarat oleh Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo, kasus penangkapan Kapolda Jawa Timur yang menggelapkan barang bukti, hingga kasus polisi tembak polisi. Kasus Kanjuruhan kian menggenapi terpuruknya citra kepolisian di mata masyarakat.
Walau resistansi publik tidak terlihat di semua tempat, tampaknya kepolisian sendiri yang lalu kehilangan kepercayaan diri, kehilangan kebanggaan dalam rangka bekerja, serta kehilangan dukungan publik (minimal secara moril). Hal itu segera terlihat dalam hasil survei dukungan publik kepada kepolisian yang turun drastis ke bilangan 40-an persen setelah biasanya bertengger di bilangan 70-an persen.
Kehilangan kepercayaan diri dan lain-lain itu menjadikan kepolisian di beberapa kota di Indonesia mengembangkan pemolisian model tiarap juga.
Kehilangan kepercayaan diri dan lain-lain itu menjadikan kepolisian di beberapa kota di Indonesia mengembangkan pemolisian model tiarap juga. Sudah sejak setengah tahun ini kita jarang atau tidak pernah mendengar kepolisian berbenturan dengan pendemo. Juga tidak pernah terdengar berita kepolisian menggerebek kampung atau lokasi tertentu dalam rangka mengungkap perdagangan narkotika, misalnya.
Sebaliknya, kita pernah mendengar larangan Kepala Polri bagi anggotanya untuk menilang pengendara kendaraan bermotor. Juga agar tak menggunakan gas air mata dalam situasi apa pun saat pengamanan sepak bola. Singkatnya, sebagaimana terungkap dalam perbincangan ala warung kopi, polisi kini sedang tiarap alias tidak berbuat apa-apa.
Tidak berbuat dianggap lebih baik daripada berbuat. Kewenangan yang dimiliki dan kemampuan yang sudah diberikan negara diistirahatkan. Hal ini tentu dapat mengundang masalah lanjutan berupa tidak terungkapnya kasus, kerusuhan menjadi berkepanjangan, dan sebagainya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F13%2F5f25c9a4-33c9-4e06-8a59-6516ce832a6c_jpg.jpg)
Konferensi pers terkait Tragedi Kanjuruhan oleh Pihak Kepolisian Daerah Jawa Timur dan Dinas Kesehatan Kabupaten Malang di Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Malang di Kepanjen, Kamis (13/10/2022)
Akuntabilitas
Menjadi menarik ketika, di awal tahun ini, Kepala Polri Listyo Sigit menyatakan bahwa persepsi publik terhadap kepolisian semakin membaik. Sejalan dengan cara berpikir pemolisian tiarap di atas, peningkatan persepsi publik itu dicapai ketika kepolisian tidak berbuat banyak dalam rangka tugas pokoknya. Bagaimana bisa?
Sungguhpun hal itu bisa terjadi, tentu itu bukan suatu hal yang tepat. Sebagai instansi pemberi jasa publik di bidang keamanan dan penegakan hukum, kebutuhan publik menyangkut rasa aman dan kepastian hukum itu sajalah yang seharusnya jadi indikator kinerja kepolisian. Kalau memang ada ketidakamanan di suatu tempat dan perlu dilakukan penegakan hukum, ya dilakukan.
Janganlah karena pertimbangan kepolisian yang sedang jatuh citranya, tersangka dibiarkan lari. Atau karena pertimbangan masyarakat akan melawan, pelanggaran hukum dibiarkan. Persimpangan jalan dibiarkan diambil alih ”Pak Ogah” dan pengendara dibiarkan mengatur diri sendiri saat terjadi kemacetan.
Janganlah karena pertimbangan kepolisian yang sedang jatuh citranya, tersangka dibiarkan lari.
Jika hal itu marak terjadi, pemangku kepentingan kepolisian tentu perlu menegur. Jika di pusat terdapat DPR dan pemerintah, di daerah terdapat DPRD dan pemda. Permasalahannya, apakah para pemangku kepentingan kepolisian ini memahami bahwa kepolisian tak boleh suka-sukanya sendiri menetapkan standar kinerja, tetapi minimal berkonsultasi dengan mereka?
Atau, kalaupun dipahami, ada kemungkinan pemangku kepentingan sudah sungkan menegur kepolisian mengingat kehadiran kepolisian yang amat signifikan di semua wilayah. Jangan-jangan, kalau kepolisian ditegur, lalu bisa ngambek dan tidak ada lagi patroli di malam hari. Begitu kemungkinan isi hati para kepala daerah. Maka, terpaksalah para kepala daerah mendiamkan dan menunggu sampai kemudian pemolisian tiarap dihentikan dan polisi kembali bekerja seperti sediakala.
Adrianus Meliala Kriminolog FISIP Universitas Indonesia
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F12%2F16%2Fe8d2b008-96d9-4bad-8885-d1ff1faa4378_jpg.jpg)
Adrianus Meliala