100 Hari Korban Kanjuruhan dan Aremania Menuntut Keadilan
100 hari Tragedi Kanjuruhan berlalu. Selama itu pula korban bersama Aremania masih menuntut keadilan.
”Kanjuruhan banyak ajarkan. Tentang kebersamaan, tentang kepedulian. Bunga-bunga yang bermekaran. Disirami air mata dan doa-doa”. Sepenggal lirik lagu ”Kanjuruhan” yang diciptakan Iwan Fals itu terdengar begitu menyayat.
Kini, 100 hari tragedi berlalu duka masih terasa di Kanjuruhan. 1 Oktober 2022 lebih dari 100 orang meregang nyawa dan ratusan lainnya terluka usai laga sepak bola BRI Liga 1 2022/2023 yang memertemukan Arema FC versus Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Dalam laga malam itu, di satu sisi, Persebaya berhasil memecahkan ”telur” tak pernah menang di kandang Arema selama 23 tahun terakhir. Namun, di sisi lain, buntut yang timbul setelah pertandingan menjadi sangat miris.
Kanjuruhan menjadi tragedi kedua di dunia sepak bola dengan korban jiwa terbanyak setelah peristiwa di Stadion Nasional Peru yang menewaskan 328 jiwa di tahun 1964. Di Kanjuruhan, ada 135 jiwa terenggut dan lebih dari 612 orang luka-luka.
Kala itu, beberapa rumah sakit di Kepanjen bahkan tak mampu menampung puluhan jenazah korban yang tiba secara bersamaan. Alhasil, korban hanya ditata berjejer begitu saja apa adanya di selasar hingga halaman rumah sakit.
Sepanjang Sabtu tengah malam sampai Minggu dini hari, sirene mobil-mobil ambulans meraung datang silih berganti dengan truk aparat membawa korban. Histeris keluarga dan rekan korban membuat suasana menjadi kian memilukan. Sementara itu, di sekitar stadion, beberapa bangkai mobil polisi masih mengepulkan asap usai dibakar massa.
Selama tiga bulan terakhir, keluarga korban dan Aremania terus menuntut keadilan. Di luar apa yang sudah dilakukan pemerintah dengan membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta Tragedi Kanjuruhan dengan rekomendasinya, serta investigasi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, keluarga korban dan kelompok suporter tetap meminta tragedi itu diusut tuntas.
Sejumlah upaya dilakukan, mulai dari aksi di daerah sampai menemui lembaga terkait dan pejabat pusat di Jakarta. Spanduk, poster, dan coretan dinding bernada tuntutan memenuhi ruang-ruang publik seantero Malang. Foto-foto korban bersama replika keranda sempat mewarnai kawasan Alun-alun Tugu, Kota Malang, selama beberapa pekan.
Pada 6 Oktober, pihak kepolisian telah menetapkan enam orang tersangka. Penetapan tersangka itu disampaikan langsung oleh Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo di Markas Kepolisian Resor Malang Kota, berselang tiga hari setelah Kepala Polres Malang Ajun Komisaris Besar Ferli Hidayat dicopot dari jabatannya.
Baca juga: Aremania Akan Kawal Jalannya Sidang Tragedi Kanjuruhan
Keenam tersangka itu adalah Ketua Penitia Pelaksana Pertandingan Arema FC Abdul Haris, Security Officer Suko Sutrisno, Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Malang Komisaris Wahyu Setyo Pranoto, Komandan Kompi III Brimob Polda Jatim Komisaris Hasdarman, dan Kepala Satuan Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi.
Adapun berkas tersangka keenam mantan Direktur PT Liga Indonesia Baru Akhmad Hadian Lukita masih dilengkapi oleh penyidik. Kendati demikian, masa penahanan Hadian telah berakhir.
Haris dan Suko dijerat Pasal 359 dan 360 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman penjara maksimal 5 tahun. Mereka juga dijerat Pasal 103 juncto Pasal 52 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang keolahragaan dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar. Sementara tiga tersangka anggota Polri dijerat Pasal 359 dan 360.
Penetapan tersangka dan rentetan proses penyidikan itu rupanya belum membuat keluarga korban dan Aremania puas. Untuk memperkuat upaya advokasi, sepekan pascaperistiwa, Aremania telah membentuk tim bersama lengkap dengan tim hukum sebagai pendamping. Sebut saja Tim Gabungan Aremania, Aremania Menggugat, dan Sekretaris Bersama Arek Malang.
Dengan cara ini, mereka berharap bisa terus mengawal proses hukum yang tengah berlangsung sekaligus memastikan terpenuhinya hak-hak korban. Mereka berargumen masih banyak pihak yang diduga bertanggung jawab dalam tragedi ini tetapi belum tersentuh proses hukum.
Tuntutan pengusutan sampai tuntas pihak yang terlibat dan bertanggung jawab dalam tragedi itu, mulai dari panitia, petugas keamanan yang menembakkan gas air mata, hingga organisasi sepak bola (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia/PSSI), mereka gemakan. Penambahan tersangka menjadi salah satu tuntutan, selain menambahkan pasal yang disangkakan.
Aksi-aksi damai pun digelar rutin, baik yang diselenggarakan secara bersama-sama di Alun-alun Tugu yang ada di depan Gedung DPRD-Balai Kota Malang, maupun secara berkelompok di titik tertentu saat akhir pekan. Mengenakan pakaian hitam, mereka turun ke jalanan menuntut keadilan. Ratusan lembar surat ”asa keadilan” juga mereka kirim ke presiden.
Guna memperkuat proses hukum, salah satu keluarga korban, DA (41), pun akhirnya bersedia dilakukan ekshumasi terhadap kedua jasad putrinya, yakni NDR (16) dan NDA (13), pada 5 November di pemakaman Desa Sukolilo, Kecamatan Wajak.
Meski, hasil otopsi kemudian jauh dari dugaan yang mereka yakini bahwa gas air mata sebagai penyebab kematian. Pada akhir November, Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia Jawa Timur mengumumkan bahwa tak ada kandungan gas air mata di kedua jenazah korban. Yang menjadi penyebab kematian adalah patah tulang dan pendarahan berat.
Tak mau putus asa, sejumlah korban, termasuk DA, membawa kasus ini ranah hukum di luar proses hukum yang ditangani Polda Jatim. Sejumlah korban pun melapor ke Kepolisian Resor Malang (laporan model B) dengan pasal berbeda, yakni Pasal 338 dan 340 KUHP terkait dugaan pembunuhan dan pembunuhan berencana.
Bersama tim hukum, sejumlah korban juga membawa kasus ini ke Jakarta dengan melapor ke Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Tim Gabungan Aremania melaporkan dugaan pelanggaran kode etik perihal penggunaan gas air mata saat pengamanan laga Arema FC versus Persebaya.
Pihak terlapor mulai dari petugas penembak gas air mata, Ajun Komisaris Ferli Hidayat, hingga mantan Kepala Polda Jatim Inspektur Jenderal Nico Afinta. Beberapa hari lalu, penyidik Divpropam Polri sudah turun memeriksa sejumlah saksi korban tragedi Kanjuruhan di Polres Malang Kota.
Baca juga: Tragedi Kanjuruhan Polres Malang Periksa Lebih dari 17 Saksi
Tidak hanya proses pidana, proses hukum perdata juga mereka tempuh. Pada 21 Desember 2022 tim advokasi korban tragedi Kanjuruhan mendaftarkan gugatan perdata terkait pemenuhan hak-hak korban ke Pengadilan Negeri Malang. Nilai gugatan materiil dan imateriil mencapai Rp 62 miliar untuk tujuh keluarga korban.
Ada delapan subyek hukum sebagai tergugat, yakni Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Dewan Pengawas PSSI, PT Liga Indonesia Baru, Panitia Penyelenggara Arema FC, Security officer BRI Liga 1 2022/2023, PT Indosiar Visual Mandiri, PT Arema Aremania Bersatu Berprestasi Indonesia, dan Kepala Polri.
Selain itu, ada empat pihak turut tergugat, yakni Presiden, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Keuangan, dan Pemerintah Kabupaten Malang, terkait rencana renovasi Stadion Kanjuruhan.
Langkah terbaru awal Januari 2023 yang mereka lakukan ialah bertemu dengan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD di Jakarta. Sekitar 10 orang keluarga korban bersama pendamping dan Aremania mengadu soal proses hukum yang mereka nilai lambat.
Mengenai proses hukum, berkas perkara kelima tersangka baru saja dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Surabaya. Rencananya PN Surabaya menggelar sidang perdana Tragedi Kanjuruhan pada 16 Januari 2023. Sementara terkait laporan model B, Polres Malang telah memeriksa lebih dari 17 saksi.
Kini, mengenang 100 hari kepergian para korban, bukan hanya proses hukum yang mereka tempuh, melainkan doa-doa juga mereka lantunkan sebagai bentuk kepedulian. Rasa dan peduli menuntut keadilan sudah terjalin di antara warga Malang. Pertanyaannya kemudian, sampai mana keadilan yang mereka harapkan akan datang?