Visi Kebangsaan ”The Next” Presiden
Indonesia membutuhkan pemimpin yang memiliki visi kebangsaan sejati, yang mau menerobos kendala mental, moral, dan politik demi memakmurkan atau menyejahterakan rakyatnya.
Tinggal sekitar satu tahun lagi pemilu serentak akan digelar. Ruang publik, baik di dunia nyata (real space) maupun dunia maya (virtual space), sudah ramai dengan berbagai propaganda politik, tetapi semua masih bersifat personal branding, sekadar untuk menaikkan elektabilitas.
Beberapa tokoh potensial yang diunggulkan dan terpilih sebagai kandidat calon presiden versi lembaga survei mulai membangun citra lewat safari politik, deklarasi. Mereka mengobral retorika politik tanpa kejelasan apa visinya ke depan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Bagi Indonesia, tantangan ke depan akan semakin berat. Perekonomian global di tengah ancaman resesi, krisis energi dan pangan dampak perang Rusia dan Ukraina, serta pandemi Covid-19 yang masih belum bisa dikatakan selesai.
Baca juga: Tantangan Ekonomi Global dan Peluang di Tahun 2023
Meningkatkan anggaran riset
The next president atau presiden mendatang—siapa pun ia—harus mempunyai visi kebangsaan agar bisa mempersatukan semua potensi yang dimiliki bangsa Indonesia. Mendorong terjadinya transformasi ekonomi, komoditas nasional dan lokal sebagai penunjang industri berbasis sumber daya alam dan teknologi. Namun, yang lebih penting, presiden mendatang harus melanjutkan agenda presiden sebelumnya (Joko Widodo).
Hilirisasi yang dirintis Presiden Jokowi harus ditindaklanjuti secara terprogram karena itu akan menjadi kunci kemajuan perekonomian bangsa Indonesia. Bahkan, bukan hanya sektor pertambangan semata, melainkan juga harus ditambahkan sektor pertanian dan kelautan.
Pada sisi lain, presiden mendatang juga harus berani meningkatkan anggaran riset. Sebab, apa gunanya sumber daya alam melimpah jika presiden—selaku pemimpin bangsa—tak tahu bagaimana cara mengelolanya? Apa artinya perkembangan teknologi dunia yang dramatis jika kebijakan presiden tetap konservatif, memandang sebelah mata R &D (research and development)?
Alih teknologi sangat penting, tak hanya bagi lembaga riset, tetapi juga bagi bangsa Indonesia. Melalui alih teknologi, lembaga riset dapat berperan meningkatkan inovasi perekonomian dan produktivitas, menciptakan lapangan kerja, serta membantu mengatasi permasalahan sosial di masyarakat.
Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, anggaran riset Indonesia sangat rendah. Tahun 2022, pagu anggaran riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) hanya Rp 5,861 triliun (0,08 GDP). Ini di bawah Kamboja (0,12 GDP), Filipina (0,4 GDP), Vietnam (0,44 GDP), Thailand (0,62 GDP), Malaysia (1,3 GDP), dan Singapura (2,18 GDP).
Selain itu, harus diakui, iklim politik di Indonesia kurang kondusif, mudah terkoyak dengan kegaduhan sosial berbasis agama, yang menghabiskan energi. Oleh sebab itu, kebijakan yang harus dilakukan presiden mendatang adalah mendorong Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) untuk disahkan menjadi undang-undang sebagai manifesto politik dalam konteks penegakan Pancasila.
Harus diakui, iklim politik di Indonesia kurang kondusif, mudah terkoyak dengan kegaduhan sosial berbasis agama, yang menghabiskan energi.
Tanpa itu, kegaduhan sosial berbasis agama, mulai dari isu khilafah, intoleransi, diskriminasi, hingga ujaran kebencian dan intimidasi akan terus mengganggu stabilitas politik, hukum, dan keamanan. Sementara negara-negara lain yang stabilitas politik, hukum, dan keamanannya terkendali sudah semakin mapan (more established) dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) ruang angkasa, rekayasa iklim, dan nano teknologi.
Penguasaan sumber daya secara utuh dan menyeluruh—industri hulu dan hilirisasi—harus dilakukan, jika tidak, Indonesia akan kesulitan melakukan transformasi. Dalam konteks sumber daya manusia berkualitas, kebijakan yang juga harus dilakukan presiden mendatang adalah mengubah mindset birokrasi menjadi meritokrasi.
Meritokrasi adalah sistem politik yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk bisa tampil dalam pekerjaan yang menuntut profesionalitas berdasar kompetensi (kemampuan atau prestasi), bukan karena alasan politik, ”trah” (hubungan emosional keluarga), kekayaan, atau kelas sosial.
Warisan Presiden Jokowi
Presiden Jokowi telah meletakkan dasar pembangunan infrastruktur di segala bidang. Jalan tol, bandara, pelabuhan, kawasan ekonomi khusus (KEK), bendungan, jalur kereta, dan lain lain.
Artinya, apa yang sudah dibangun Presiden Jokowi harus dipertahankan dan dikembangkan dengan mengintegrasikannya dalam program lewat konsep National Supply Chain Resource (NSCR) yang bertujuan untuk ”meningkatkan perekonomian nasional”. Pembangunan KEK, misalnya, bisa dikembangkan dengan konsep NSCR sebagai magnet menarik investor dalam atau luar negeri untuk membangkitkan sektor riil.
Selain program peningkatan perekonomian nasional, lewat konsep NSCR, presiden mendatang harus melaksanakan UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN), yang harus dilaksanakan hingga tahun 2045. UU IKN sudah mengatur pembangunan ibu kota negara tersebut secara multiyears.
Presiden Jokowi telah meletakkan dasar pembangunan infrastruktur di segala bidang.
Pemimpin (presiden) visioner tak akan menyerah sebelum mimpinya menjadi kenyataan. Ia bukan sekadar pengkhayal/pemimpi (dreamer), tetapi juga pelaku (doer) yang berani membayar harga (risktaker).
Tak ada karya besar yang dapat dihasilkan tanpa adanya para pemimpi—orang-orang visioner, ”dreamer” sekaligus ”doer”. Sejarah mencatat, Piere Tritz (Filipina), Bunda Teresa (India), dan Mohammad Yunus (Bangladesh) adalah para ”dreamer” dan ”doer” pejuang kemanusiaan (pengentasan rakyat miskin) yang memperoleh anugerah Nobel Perdamaian.
Kemiskinan di Indonesia tercipta oleh struktur, kebijakan pemerintah, dan sistem dalam masyarakat. Yang diperlukan untuk pengentasan rakyat miskin adalah lingkungan yang memungkinkan kreativitas (inovasi) rakyat miskin bisa berkembang.
Itulah yang melatari kenapa Indonesia membutuhkan pemimpin yang memiliki visi kebangsaan sejati, seperti Bung Karno dan Presiden Jokowi. Beliau adalah pemimpin negara yang berhasil menerobos kendala mental, moral, dan politik—lewat keberaniannya berkata ”tidak” pada tekanan kekuatan asing, demi memakmurkan atau menyejahterakan rakyatnya.
Baca juga: Kriteria Pemimpin Kita
Bernegara identik dengan mengelola komunitas masyarakat. Dalam bernegara diperlukan profesionalisme yang dilandasi kekuatan dan kewibawaan.
Pemimpin sejati adalah pemimpin visioner bagi negara dan bangsanya. Ia melakukan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin secara efektif, efesien, dan profesional. Mampu mengelola negara dan menggerakkan seluruh sumber dayanya untuk mewujudkan tujuan (nasional) bersama.
Dari sekian tokoh potensial yang diunggulkan dan terpilih sebagai kandidat calon presiden versi lembaga survei, siapa yang (dianggap) memiliki visi kebangsaan sehingga pantas dipilih untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan Bung Karno dan Presiden Jokowi?
Biar rakyat yang menilai dan memilih the next president!
Adjie Suradji, Alumnus Fakultas Sains Universitas Karachi, Pakistan