Analisis Litbang ”Kompas”: Tantangan Ekonomi Global dan Peluang di Tahun 2023
Tahun 2023 akan menjadi tahun yang tidak mudah. Sejumlah tantangan hadir. Akan tetapi, tantangan juga bisa menjadi peluang untuk bertransformasi dan berinovasi.
Oleh
Gianie
·4 menit baca
Tahun 2023 disebut sebagai tahun yang penuh dengan ketidakpastian. Resesi di depan mata akibat pandemi yang masih berlanjut, perang Ukraina, dan meningkatnya inflasi di banyak negara. Sejumlah tantangan hadir. Namun, peluang untuk membalikkan keadaan menjadi lebih baik juga terbuka lebar.
Setidaknya terdapat enam tantangan global yang dipetakan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) dalam diskusi yang bertajuk Industry Outlook 2023 pada 3 November 2022 lalu.
Pertama, kondisi pertumbuhan ekonomi yang melambat. Kedua, rantai pasok yang masih terganggu akibat sanksi perang terhadap Rusia dan dampak kebijakan pengendalian covid di China. Ketiga, krisis sejumlah komoditas, terutama pangan dan energi. Keempat berakhirnya suku bunga rendah. Kelima, perbedaan geopolitik yang menguat. Keenam, bergulirnya transisi energi.
Tahun 2023 disebut sebagai tahun yang penuh dengan ketidakpastian
Dalam paparan white papers EIU disebutkan perekonomian global akan melambat lebih tajam setelah dua tahun pandemi berlangsung. Diperkirakan Produk Domestik Bruto (GDP) riil dunia hanya akan tumbuh 1,6 persen pada tahun 2023. Angka ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun 2022 yang sekitar 2,8 persen dan pertumbuhan tahun 2021 yang mencapai 5,7 persen.
Redanya pandemi tidak serta merta membuat pertumbuhan ekonomi meningkat. Disrupsi datang dari Rusia yang menginvasi Ukraina sejak Februari 2022.
Sanksi yang diterapkan Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (EU), dan sekutunya terhadap Rusia berdampak terhadap terganggunya rantai pasok perdagangan global dan ketersediaan energi. Hal ini diperparah pula oleh kebijakan zero Covid di China yang ikut mendorong kenaikan harga-harga. Terjadi krisis energi dan pangan.
Harga konsumen yang menunjukkan tingkat inflasi tetap akan tinggi, diperkirakan rata-rata 6,3 persen untuk tahun depan. Angka ini lebih rendah dibandingkan inflasi tahun 2022 yang sekitar 9,4 persen. Meski demikian, kenaikan tingkat inflasi ini tidak merata atau seimbang di semua negara.
Di kawasan Eropa dan Amerika Utara inflasi meroket. Dua negara anggota kelompok 20 (G20) yang mencatat inflasi tinggi adalah Argentina dan Turkiye. Rata-rata inflasi Argentina secara tahunan pada November lalu mencapai 92,4 persen dan di Turkiye tercatat sebesar 84,39 persen.
Namun, sebaliknya di Asia, khususnya di negara dengan skala ekonomi besar. Indonesia, misalnya, angka inflasi per November 2022 secara tahunan di kisaran 5,42 persen. Sedangkan inflasi China sebesar 1,57 persen dan di Jepang sekitar 3,8 persen.
Untuk meredam inflasi, pengetatan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan masih akan berlanjut. Bank Sentral AS (The Fed) pada 14 Desember lalu kembali menaikkan suku bunga inti sebesar 0,5 menjadi 4,25-4,5 persen. Keputusan itu diambil di tengah angka inflasi AS yang sekitar 7,11 persen.
Sepanjang tahun 2022 ini, The Fed telah menaikkan suku bunganya sebanyak tujuh kali. Diperkirakan The Fed masih akan menaikkan tingkat suku bunga pada tahun 2023. AS pernah mencapai tingkat suku bunga tinggi di angka 6,50 persen lebih dari dua dekade lalu (2000).
Di zona Euro, suku bunga inti juga naik sebanyak empat kali sepanjang tahun ini ke tingkat 2,50 persen. Indonesia sendiri sepanjang tahun ini lima kali menaikkan tingkat suku bunga, secara berturut-turut sekali sebulan pada Agustus hingga Desember. Terakhir, pada 22 Desembar lalu Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 0,25 menjadi 5,50 persen.
Era suku bunga rendah akan berakhir. Hal ini akan menyebabkan arus dana akan lebih sulit. Sepanjang tahun 2022, terjadi 357 kali kenaikan tingkat suku bunga di dunia dan hanya 15 kali yang menurunkan suku bunganya.
Hal ini berbeda dengan kondisi tahun 2021 di mana hanya terjadi 14 kali kenaikan suku bunga di dunia dan 113 kali suku bunga diturunkan. Di antara negara-negara yang sempat menurunkan tingkat suku bunganya tahun 2022 adalah bank sentral China (2 kali), Turkiye (4 kali), dan Rusia (6 kali).
Selain menghadapi pertumbuhan ekonomi yang melambat dan inflasi yang meroket, dikenal juga dengan istilah stagflasi, dunia juga tengah menghadapi menguatnya situasi geopolitik akibat ketegangan antara AS dan China di Asia Timur. Sedikit banyak hal ini juga akan memengaruhi rantai pasok perdagangan.
Di tengah situasi dunia yang suram, akan selalu terbuka peluang-peluang baru. Dalam pertumbuhan yang melambat, ekspor sejumlah komoditas diperkirakan oleh banyak pakar akan meningkat, seperti batubara dan kelapa sawit.
Dengan berakhirnya suku bunga rendah, ada peluang kenaikan margin keuntungan bagi bank dan lembaga keuangan lainnya. Peluang pengembangan teknologi finansial yang lintas batas, yang mencari alternatif sistem pembayaran baru, juga semakin terbuka di era digital.
Dengan rantai pasok global yang masih tidak menentu, ada kesempatan bagi pemerintah setiap negara untuk mendukung investasi lokal. Kebutuhan domestik bisa diupayakan lewat kemandirian produsen lokal.
Dengan krisis energi, agenda transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan akan lebih mudah diwujudkan. Negara-negara akan berlomba-lomba untuk menyediakan diversifikasi energi, termasuk dari energi nuklir.
Meskipun konsumsi energi dunia pada 2023 hanya akan tumbuh sekitar 1,3 persen, konsumsi energi terbarukan diperkirakan akan meningkat 11 persen, yang didominasi oleh negara di Asia. Sehingga, investasi ke energi yang ramah lingkungan ini akan meningkat.
Dalam jangka panjang, energi terbarukan ini menjadi penopang untuk ketahanan energi global. Sejalan dengan itu, pasar kendaraan listrik (EV) akan meningkat dan mendorong pertumbuhan yang kuat.
Selain kendaraan listrik, penjualan ritel secara online dan geliat pariwisata juga akan mendorong pertumbuhan menjadi lebih tinggi, khususnya di kawasan Asia dan Timur Tengah. Belanja wisata akan meningkat didorong oleh inflasi.
Bidang-bidang yang mengedepankan inovasi, mulai dari yang berkaitan dengan metaverse, kendaraan otomatis, kecerdasan buatan (AI), dan data analitik akan menarik investasi lebih banyak. Teknologi-teknologi baru akan dibutuhkan untuk mengurangi emisi karbon.
Tahun 2023 memang akan menjadi tahun yang tidak mudah. Tetapi, kondisi tersebut bisa juga menjadi peluang untuk bertransformasi dan berinovasi. (LITBANG KOMPAS)