”Quo Vadis” Percepatan Penurunan Tengkes
Hanya ada waktu dua tahun untuk mencapai target prevalensi tengkes 14 persen. Tanpa upaya percepatan, secara realistis prevalensi tengkes hanya bisa diturunkan menjadi kira-kira 21 persen pada tahun 2024.
Hari ini, Indonesia memperingati Hari Gizi Nasional Ke-63.
Itu berarti, Indonesia telah melalui masa 63 tahun sejak upaya-upaya perbaikan gizi masyarakat dicanangkan para pemerhati gizi di Indonesia. Seiring itu, berbagai upaya perbaikan gizi masyarakat telah dilakukan. Namun, sejauh ini, hasilnya belum menggembirakan.
Dalam kurun 30 tahun terakhir ini, sedikitnya ada lima program pemerintah berskala nasional untuk perbaikan gizi masyarakat. Pada 2010, Sekjen PBB Ban Ki-moon menginisiasi gerakan global, Scaling Up Nutrition (SUN) Movement.
SUN Movement merupakan dorongan global (63 negara, termasuk Indonesia) untuk memperbaiki gizi bagi semua, terutama perempuan dan anak-anak.
Mengapa masalah gizi perlu mendapat perhatian global? Jawabannya: kurang gizi merupakan salah satu masalah paling serius di dunia, tetapi paling sedikit mendapat perhatian.
Mengapa masalah gizi perlu mendapat perhatian global? Jawabannya: kurang gizi merupakan salah satu masalah paling serius di dunia, tetapi paling sedikit mendapat perhatian. Padahal, biaya kemanusiaan dan ekonomi dari kurang gizi luar biasa besar. Di pihak lain, kekurangan gizi sebagai salah satu penyebab masalah gizi adalah hal yang bisa dicegah. Yang diperlukan adalah upaya terintegrasi dan komprehensif.
Kemudian, sebagai tindak lanjut SUN Movement, pada 2013, pemerintah menetapkan Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Gizi dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (HPK) atau dikenal sebagai Gerakan 1.000 HPK. Sasarannya adalah perbaikan kesehatan dan gizi ibu hamil dan bayi.
Setahun kemudian, Menteri Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No 23/2014 tentang Seratus Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting).
Pada 2017, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mengeluarkan Program 100 Kabupaten Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil. Tak tanggung-tanggung, program ini langsung dikomandoi Wakil Presiden. Targetnya, pada 2021 semua kabupaten/kota telah melaksanakan program prioritas intervensi anak tengkes.
Itu juga bermakna bahwa pada 2021, semua kabupaten/kota terbebas dari tengkes sebagai masalah kesehatan masyarakat (prevalensi tengkes pada anak balita di bawah 20 persen). Setali tiga uang dengan program sebelumnya, prevalensi tengkes masih enggan turun.
Seberkas sinar di ujung terowongan sempit terkait penurunan tengkes menampakkan cahayanya di pertengahan 2021. Pada Agustus 2021, Presiden mengeluarkan Perpres No 72/2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.
Inti perpres ini, ajakan sekaligus perintah kepada semua elemen bangsa untuk bersatu padu menurunkan tengkes. Tak tanggung-tanggung, Presiden mematok target capaian penurunan tengkes 14 persen pada 2024. Angka 14 persen berada jauh di bawah ambang batas (cut off point) tengkes sebagai masalah gizi dan kesehatan masyarakat (20 persen). Sebelumnya, Bappenas mengusulkan angka 19,0 persen.
Baca juga: Ketimpangan Harga Pangan Perparah Tengkes
Presiden bergeming. Dengan mencapai target 14 persen, secara optimistik kita bisa membebaskan anak balita dari tengkes pada 2030. Itu sesuai dengan target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s) pada 2030.
Secara faktual, target yang ditetapkan Presiden itu angka yang sangat ”optimistik”. Pada kurun waktu 10 tahun terakhir, secara rata-rata kita hanya mampu menurunkan prevalensi tengkes sebesar 2 persen per tahun.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar, prevalensi tengkes di Indonesia adalah 37,2 persen (2013) dan 30,8 persen (2018). Senada dengan itu, Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) mencatat prevalensi tengkes sebesar 27,6 persen (2019). Prevalensi itu turun menjadi 24,4 persen (2021). Artinya, tanpa upaya percepatan, secara realistis prevalensi tengkes hanya bisa diturunkan menjadi kira-kira 21 persen pada tahun 2024.
Secara praktis, kita hanya memiliki waktu dua tahun untuk mencapai target 14 persen yang ditetapkan Presiden Joko Widodo. Artinya, secara rata-rata, dalam waktu dua tahun ini, kita harus bisa menurunkan prevalensi tengkes 5 persen per tahun.
Ini adalah pekerjaan berat mengingat pada 2023 dan 2024 Indonesia akan disibukkan perhelatan politik. Seperti biasanya, persoalan gizi dan kesehatan, khususnya pada anak balita, akan terlupakan. Sinyalemen ini sudah mulai terasa seiring makin meredupnya gaung percepatan penurunan tengkes itu.
”Quo vadis”penurunan tengkes?
Pertanyaan ini beralasan untuk dilontarkan mengingat pengalaman bangsa ini menangani persoalan gizi masyarakat terkesan suam-suam kuku. Berbagai program sudah dicanangkan, bahkan terkesan tumpang tindih. Kita kaya di program, tetapi miskin di implementasi.
Satu setengah tahun sejak Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres No 72/2021, geliat percepatan penurunan tengkes masih lebih banyak berkutat pada urusan administratif dan sosialisasi. Padahal, persoalan tengkes pada dasarnya adalah urusan perilaku dan asupan pangan. Itu ada di keluarga dan masyarakat, bukan di ruang rapat.
Berbagai program sudah dicanangkan, bahkan terkesan tumpang tindih. Kita kaya di program, tetapi miskin di implementasi.
Sebenarnya, optimisme dan harapan besar bagi percepatan penurunan tengkes ada pada perpres itu. Perpres No 72/2021, antara lain, memfokuskan penanganan tengkes di keluarga atau di desa/kelurahan. Hal itu terlihat dengan telah dan akan dibentuknya Tim Pendamping Keluarga; yang terdiri dari bidan, kader PKK, dan kader KB.
Ketiga mitra ini ditugasi untuk setiap hari mendampingi keluarga yang memiliki anak balita penderita tengkes dan keluarga yang berisiko memiliki anak balita tengkes. Sasaran utamanya: remaja calon pengantin, ibu hamil, dan anak balita.
Oleh karena itu, marilah bergegas mengimplementasikannya. Pastikan remaja calon pengantin dan ibu hamil tidak mengalami anemia, misalnya.
Juga, pastikan mereka memeriksakan kehamilannya secara rutin! Bagi yang memerlukan makanan tambahan, berikan itu kepada mereka! Hal senada juga dilakukan kepada bayi dan anak balita.
Dan, itu hanya bisa terlaksana kalau ada komitmen dan dukungan penuh dari pemangku kepentingan, terutama pemerintah daerah. Percepatan penurunan stunting harus dimaknai sebagai upaya prioritas. Konsekuensinya adalah kepastian dukungan anggaran.
Jadikan pembangunan berarus utama gizi (nutritional mainstreaming of development), yang jauh-jauh hari telah diimbau Bank Dunia, khususnya kepada negara-negara miskin dan berkembang. Kalau tidak, kembali, kita akan mempertanyakan: ”Quo vadis percepatan penurunan tengkes?”
Albiner Siagian Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, Rektor Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Tarutung