Tionghoa dan Kepemimpinan Indonesia
Distingsi sosiologis pribumi dan peranakan secara empirishistoris sudah tidak relevan lagi. Sudah seharusnya para aktor politik tidak lagi menjadikan pribumi/nonpribumi sebagai alat provokasi untuk meraup suara.
Mungkinkah Indonesia ke depan dipimpin keturunan Tionghoa? Siapkah seluruh elemen bangsa menerima kenyataan dipimpin putra terbaik keturunan Tionghoa. Pertanyaan ini diajukan menjelang pesta demokrasi elektoral 2024 karena beberapa alasan.
Pertama, Indonesia sudah melepaskan diri dari pengaruh politik segregasi kolonial yang menyekat secara dikotomi pribumi dan nonpribumi. Konsekuensi politiknya, semua warga negara memiliki hak sama untuk memilih dan dipilih dalam kontestasi pemilihan umum.
Namun, sejumlah pihak masih peyoratif memandang warga keturunan Tionghoa. Padahal, lahir, tumbuh, dan berkembang di Indonesia merupakan takdir ilahiah yang tak seorang pun mampu menolaknya.
Pakar studi Tionghoa di Indonesia, Profesor Charles Coppel dari University of Melbourne, Australia, lebih memilih menggunakan sebutan ”Indonesia-Tionghoa” ketimbang istilah ”Tionghoa-Indonesia” karena sebutan yang pertama lebih tepat untuk memersonifikasikan orang Indonesia yang kebetulan beretnis Tionghoa.
Kata ”Indonesia” menahbiskan bangsa/orang dalam arti politik (nation), sedangkan kata ”Tionghoa” mengandung pengertian antropologi (ras atau etnik). Dengan demikian, penyebutan Indonesia-Tionghoa mengandung makna orang (keturunan) Tionghoa di Indonesia yang tidak diragukan lagi status kewarganegaraannya.
Baca juga: Imlek, Politik Identitas dan Kohesi Sosial
Jejak sejarah
Kedua, tirakat pejuang dalam meraih kemerdekaan tak bisa dilepaskan dari peran besar pejuang heroik keturunan Tionghoa. Sebut saja Tony Wen yang mengorbankan nyawa menurunkan bendera Belanda di Hotel Oranye, Surabaya. Kwee Tiam Hong sebagai sosok yang berperan penting merumuskan Sumpah Pemuda 1928.
Begitu pula lima dari anggota BPUPKI, yang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dan menyusun UUD 1945, juga keturunan Tionghoa. Mereka adalah Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoei, Oey Tjong Hauw, dan Yap Tjwan Bing.
Tionghoa adalah napas perjuangan kemerdekaan yang melebur dengan pelbagai suku, agama, dan kebudayaan dalam satu spirit kebangsaan. Mereka bukan sekadar berjuang secara fisik, mengorbankan materi dan nyawa, melainkan juga melalui perjuangan literasi.
Sejarah kemerdekaan banyak disokong surat kabar Sin Po yang mengubah Belanda inlander menjadi Indonesia bumiputra. Politik bahasa ini bertujuan mengangkat harkat bangsa Indonesia dari mental budak. Demikian pula teks lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” gubahan WR Supratman, tanpa rasa takut dipublikasikan di media ini.
Kepeloporan Tionghoa dalam kemerdekaan semestinya tidak dibaca dalam kacamata sejarah yang parsial. Apalagi menyongsong Pemilu 2024, politik ”belah bambu” dengan mengangkat satu golongan menjadi pemimpin dan menginjak golongan lain melalui pengaburan jejak sejarah merupakan sesat pikir yang tak bisa ditoleransi.
Indonesia lahir melalui gerakan konvergen emansipasi suku, agama, ras dan antar-golongan. Karena itu, sudah semestinya tak ada lagi dikotomi terhadap komponen civil society tersebut.
Ketiga, dalam trajektori sejarah kepemimpinan Nusantara, Kerajaan Demak sebagai salah satu pusat peradaban Islam Nusantara didirikan oleh seorang Tionghoa bernama Tan Eng Hiang (Raden Patah). Begitu pula sejak Indonesia merdeka jamak sekali keturunan Tionghoa, baik di tingkat lokal maupun nasional, yang menduduki takhta pemerintahan. Sebut saja Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang dalam beberapa kesempatan menyebut dirinya keturunan Tionghoa.
Pernikahan Raja Majapahit Prabu Brawijaya V dengan Putri Champa melahirkan keturunan bernama Tan Eng Hiang (kelak mengubah nama menjadi Raden Patah) dan Tan A Lok. Raden Patah mengepakkan sayap politiknya dengan mendirikan Kerajaan Demak. Sementara Tan A Lok menikah dengan Tan Kim Han yang secara genealogis menjadi garis trah Gus Dur (Kompas.com, 25/7/2022).
Indonesia lahir melalui gerakan konvergen emansipasi suku, agama, ras, dan antar-golongan.
Tak hanya soal politik pemerintahan, kepemimpinan dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa juga dipelopori para Wali Songo yang keturunan Tionghoa. Sunan Ampel adalah keturunan Tionghoa bernama asli Bong Swi Hoo, Sunan Giri dari keturunan Shih Chin Ching, Sunan Bonang bernama asli Bo Bing Nang, dan Sunan Kalijaga bernama asli Gan Si Cang.
Boleh dikatakan keislaman Tionghoa jauh lebih tua ketimbang Jawa. Orang Tionghoa lebih dahulu mengenal Islam ketika masyarakat Jawa masih terperangkap dalam dunia klenik (Soemanto Al Qurtuby, 2005).
Politik diskriminasi
Politik diskriminasi terhadap Tionghoa di berbagai bidang, sampai pada persoalan hak politik untuk dipilih menjadi pemimpin, sejatinya telah diisyaratkan oleh Sunan Kalijaga saat membangun Masjid Demak.
Menurut Babad Jaka Tingkir (1849), arsitektur Masjid Demak dibangun di luar kelaziman. Bahan bakunya bukan dari semen, batu, bata, ataupun balok, melainkan terbuat dari lapis kayu mengeriting (tatal) yang dibuang saat permukaan papan diratakan dengan ketam.
Secara politik ketatanegaraan, barangkali ”tetenger” Sunan Kalijaga itu bisa ditafsirkan secara lebih aktual bahwa Nusantara ke depan bukan lagi dibangun oleh kekuatan politik oligarki dan poros kekuasaan yang kukuh dan sewenang-wenang, melainkan oleh kelompok kecil yang termarjinalkan, terbuang, tersisih, terpinggirkan, terlupakan jasa-jasanya tetapi memiliki keterpanggilan batin untuk menyelamatkan Indonesia dari kehancuran: korupsi, oligarki, kemaruk kekuasaan, kesewenang-wenangan, politik dinasti, dan lain-lain.
Keunikan lainnya, saat bangunan Masjid Demak digarap tanpa terlebih dahulu menentukan arah kiblat. Setelah bangunan selesai, kemudian delapan wali berdebat panjang tanpa ujung. Wali kesembilan, Sunan Kalijaga, memecah kebuntuan perdebatan dengan bertafakur, tangan kanannya ”merengkuh” Kabah di Mekkah dan tangan kirinya merengkuh pucuk (sirah gada) Masjid Demak. Ditarik keduanya hingga bertaut (Goenawan Muhammad, 2002).
Tirakat spiritual Sunan Kalijaga itu dalam konteks kekuasaan barangkali bisa ditafsirkan bahwa Kabah adalah lambang kekuasaan hakiki Tuhan yang berdiri kokoh di atas segala kuasa dunia dan menjadi muara segala pertanggungjawaban kekuasaan. Adapun Masjid Demak menjadi simbol lokalitas kekuasaan yang harus terus berkiblat pada ajaran-ajaran luhur dalam agama, seperti prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
Perbedaan merupakan takdir sosial yang harus diterima di mana manusia tiba-tiba terlahir sebagai etnis Tionghoa, Arab, dan sebagainya.
Pesan politik
Akhirnya, dalam momentum Imlek 2574 yang berimpitan dengan suasana tahun politik, pesan Sunan Kalijaga tersebut perlu diresapi dengan menumbuhkan kesadaran politik yang lebih apresiatif terhadap kemajemukan. Perbedaan merupakan takdir sosial yang harus diterima di mana manusia tiba-tiba terlahir sebagai etnis Tionghoa, Arab, dan sebagainya.
Distingsi sosiologis pribumi dan peranakan secara empirishistoris sudah tidak relevan lagi. Apalagi secara genealogis nenek moyang Indonesia berasal dari Mongol yang juga ras orang Tionghoa. Maka itu, dalam konteks suksesi kepemimpinan Indonesia 2024, sudah seharusnya para aktor politik tidak lagi menjadikan pribumi/nonpribumi sebagai alat provokasi untuk meraup suara.
Achmad Fauzi,Mahasiswa Prodi Hukum Islam Program Doktor FIAI UII Yogyakarta