Prospek Penyelesaian HAM di Tahun Terakhir Jokowi
Negara tetap wajib mengadili pelaku pelanggaran HAM berat, terlebih pada peristiwa yang belum pernah dibawa ke pengadilan. Kewajiban negara untuk mencari bukti terletak di Jaksa Agung dan justru itu yang belum dilakukan.
”Aku dkk korban Priok lagi sedih, Bang. Tanggal 11 Januari, kami menjadi korban lagi. Tidak diakui oleh pemerintah. Kecuali korban 12 kasus pelanggaran HAM berat,” kata Wanma Yetty.
Yetty adalah anak dari Bachtiar Johan, pedagang yang ditembak saat peristiwa Tanjung Priok, 12 September 1984. Jasad Bachtiar ditemukan dalam penggalian makam oleh ahli forensik, 16 tahun kemudian, saat Komnas HAM menyimpulkan peristiwa Priok sebagai pelanggaran HAM berat.
Yetty memimpin Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), salah satunya menaungi keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa 1997/1998 yang peristiwanya diakui serta disesalkan oleh Presiden Joko Widodo.
Mewakili organisasi, Yetty menyampaikan sikap kolektif korban, termasuk mengapresiasi pengakuan Presiden. Namun, ia gelisah mengapa peristiwa yang dialaminya tak disebutkan Presiden. Ia dan korban Priok lainnya kini mendesak Presiden mengakui peristiwa Priok.
Suara Yetty hanya satu dari sekian korban pelanggaran HAM berat. Sejumlah keluarga korban, seperti Sumarsih, tetap menuntut pelaku diadili secara hukum meski peristiwa yang menelan jiwa putranya, Norma Irmawan, telah diakui dan disesalkan oleh Presiden.
Sebagian korban lain berharap pemerintah merealisasikan kebijakan pemulihan korban. Ada pula yang ingin ada kejelasan nasib dan keberadaan keluarga mereka yang hilang. Dan ada pula yang hanya berharap dengan pengakuan itu masyarakat tak lagi menganggap pelanggaran HAM berat yang dialami korban sekadar jadi bagian dari sejarah.
Baca juga : Pendataan Korban Pelanggaran HAM Berat Masih Terkendala
Saya menghargai sikap Presiden dalam mengakui dan menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM berat sejak 1960-an. Apalagi, menurut rapat terbatas terbaru, 16 Januari, Presiden berencana menerbitkan instruksi presiden guna menindaklanjuti pengakuan tersebut dan pemenuhan hak korban.
Pernyataan pengakuan dan rencana kebijakan pemerintah sudah dinantikan korban seperti Yetty yang bertahun-tahun dibiarkan limbung tanpa keadilan, kebenaran, dan pemulihan. Namun, pengakuan belaka tak ada artinya tanpa penyelesaian tuntas dan menyeluruh.
Pengakuan menyeluruh
Merujuk Komnas HAM, pemerintah hanya mengakui 12 peristiwa, padahal Komnas HAM menyebut ada 16 pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki. Empat yang tak disebut Presiden adalah Tragedi Tanjung Priok 1984, Timor Timur (Timtim) 1999, Abepura 2000, dan Paniai 2014. Mengapa?
Tampaknya pemerintah menilai empat kasus itu telah diselesaikan secara yudisial di pengadilan HAM. Pemerintah menunjuk kasus-kasus itu sebagai bukti bahwa penyelesaian yudisial mengalami jalan buntu lantaran tidak cukup bukti.
Alasan ini keliru. Sejumlah penelitian terhadap proses peradilan menyimpulkan rendahnya niat politik pemerintah sedari awal dan absennya pelindungan saksi dan korban sebagai penyebab kegagalan pengadilan HAM. Penelitian itu antara lain oleh Commission of Expert (CoE) yang dibentuk Sekjen PBB untuk pelanggaran HAM berat di Timor Timur; International Centre for Transitional Justice dan Kontras (2010) atas semua bentuk penyelesaian yudisial dan nonyudisial; dan kajian akademisi Stanford University, David Cohen.
Masalahnya bukan terletak pada tak adanya bukti cukup. Bukti-bukti berlimpah, tetapi tak ditangani baik oleh negara. Saksi dan saksi-korban adalah alat bukti utama. Dalam kasus Timtim, banyak saksi-korban menolak hadir di persidangan karena absennya pelindungan.
Dalam kasus Priok, saksi-korban hadir, tapi terpaksa mengubah kesaksian akibat intimidasi dan imbalan materiil. Dalam kasus Abepura, saksi-korban tak dilindungi. Dalam kasus Paniai, korban pun meragukan keseriusan negara dan menolak bersaksi. Jangan lupa negara baru mengadili kasus Paniai delapan tahun kemudian. Putusan majelis hakim kasus ini memang membebaskan pelaku, tetapi menyatakan tragedi Paniai sebagai pelanggaran HAM berat.
Batas demarkasi masa lalu
Penyelesaian atas tragedi pelanggaran HAM berat masa lalu membutuhkan kejelasan batas demarkasi antara masa lalu dan masa kini. Kekejian masa lalu disebabkan sistem kekuasaan yang otoriter. Pelanggaran HAM berat masa lalu adalah produk dari penyimpangan kekuasaan. Pengungkapan dan penyelesaian kasusnya dimaksudkan untuk merevisi apa yang menyimpang di masa lalu.
Pemerintah dan Komnas HAM perlu membedakan antara pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu dan setelahnya. Jika merujuk UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, yang disebut pelanggaran HAM berat ”masa lalu” dibatasi pada locus dan tempusdelicti sebelum UU Pengadilan HAM disahkan pada 23 November 2000.
Pemerintah dan Komnas HAM perlu membedakan antara pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu dan setelahnya.
Ukuran waktu masa lalu juga dapat merujuk Tap MPR No V/MPR/2000 tentang Persatuan dan Kesatuan Nasional, yang disahkan 18 Agustus 2000. Tap ini membuka kemungkinan penyelesaian nonyudisial melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Berdasarkan kedua aturan ini, semua peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu seharusnya diakui. Kasus Priok jelas harus disebutkan karena terjadi pada 12 September 1984 dan telah dinyatakan Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat.
Demikian pula penyerangan 27 Juli 1996 hingga pelanggaran HAM berat selama penerapan status daerah operasi militer (DOM) di Timtim, Papua, dan Aceh. Khusus Aceh, Presiden telah menyebut dua kasus masa lalu. Untuk Timtim, tak satu pun yang diakui. Demikian pula Papua, tak satu pun kasus masa lalu—misalnya tragedi Mapenduma 1996 atau Biak 1998—disebutkan Presiden, padahal penting artinya bagi Papua.
Tiga peristiwa yang disebutkan Presiden, yaitu Wasior (2001), Wamena (2003), dan Jambo Kepok (2003), bukanlah tergolong pelanggaran HAM berat ”masa lalu”, tetapi ini bukan berarti tidak perlu disebutkan. Justru perlu untuk menjawab mengapa kekejian masa lalu masih dapat berulang. Termasuk pula kasus pembunuhan Munir yang terjadi pada 7 September 2004 dan telah dinilai Komnas HAM patut diduga merupakan pelanggaran HAM berat.
Jadi, negara perlu memberikan pengakuan tuntas dan menyeluruh atas pelanggaran HAM berat masa lalu yang mengandung pengungkapan kebenaran. Ini termasuk pengakuan dari perspektif jender. Contoh, negara harus mengakui kekerasan seksual dan pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa selama kerusuhan Mei 1998 hingga perbudakan seksual perempuan yang dipenjara di Plantungan dalam tragedi 1965/1966.
Permintaan maaf
Pengakuan kesalahan negara dan pengungkapan kebenaran adalah salah satu dari amanat penyelesaian secara nonyudisial. Amanat lainnya, permintaan maaf. Di negeri lain, permintaan maaf menjadi salah satu keputusan politik negara untuk menarik batas demarkasi masa lalu dan masa kini.
Ada yang memilih memaafkan dan melupakan (to forgive and to forget), memaafkan, tapi terus mengingat masa lalu sebagai pembelajaran ke depan (to forgive but not to forget). Di Chile, Presiden Patricio Alwyn meminta maaf kepada para korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Di Australia, PM Kevin Rudd juga meminta maaf kepada masyarakat asli Aborigin sebagai bangsa pertama (first nation) Negeri Kanguru. Bahkan terakhir, Raja Belanda Willem Alexander meminta maaf kepada masyarakat Indonesia yang jadi korban kekejaman kolonial Belanda masa lalu.
Di Indonesia, baru Presiden Gus Dur yang pernah menyatakan permintaan maaf atas tragedi 1965. Ia meminta Tap MPRS No XV/MPRS/1966 dicabut karena menjadi dasar prasangka negatif dan diskriminasi terhadap orang-orang komunis ataupun dianggap komunis.
Di era Reformasi, setiap pemerintahan wajib menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi selama Orde Baru. UU mengamanatkan penyelesaian menyeluruh, dari pengakuan kesalahan, pengungkapan kebenaran, permintaan maaf, rekonsiliasi, hingga penuntutan pelaku di pengadilan khusus.
Di era Reformasi, setiap pemerintahan wajib menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi selama Orde Baru.
Pengakuan ditempuh lewat pembentukan KKR yang diamanatkan Tap MPR V/MPR/2000. Dalam Tap ini dijelaskan: ”Komisi ini bertugas menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau, sesai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa”.
Lebih lanjut disebutkan, ”Langkah- langkah setelah pengungkapan kebenaran dapat dilakukan pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan sepenuhnya memperhatikan rasa keadilan masyarakat”. Singkatnya, jika negara mengakui kesalahannya telah mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM berat, seyogianya negara meminta maaf dan mengembalikan hak-hak korban.
Penuntutan yudisial
Jangan lupa, Reformasi 1998 juga mengamanatkan negara menyelesaikan secara hukum melalui ”penanganan yang bersifat khusus”. Naskah Penjelasan UU No 26/2000 menyatakan, ”pelanggaran HAM berat merupakan extraordinary crimes yang perlu langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus”.
Kekhususan penanganan ini yang perlu ditempuh. Kasus yang pernah dibawa ke pengadilan, seperti Tanjung Priok 1984, Timtim 1999, Abepura 2000, dan Paniai 2014, memang berujung vonis bebas terdakwa. Jika penyelesaian yudisial selama ini buntu, seharusnya dicari jalan keluarnya. Kita menghormati putusan pengadilan saat itu.
Baca juga : Melawan Lupa Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Namun, ingat, kewajiban negara untuk menuntut pelaku tak dapat dihapuskan hanya karena pelakunya pernah diadili dan karena itu tak bisa diadili untuk kedua kalinya (ne bis in idem). Kasusnya tetap bisa diajukan kembali ke pengadilan. Kesalahan saat proses peradilan terdahulu tidak boleh terulang.
Negara tetap wajib mengadili pelaku, terlebih pada peristiwa yang belum pernah dibawa ke pengadilan. Jika 12 peristiwa yang disebut Presiden dianggap tak memiliki bukti, itu penilaian prematur. Sesuai UU Pengadilan HAM, kewajiban negara untuk mencari bukti terletak di Jaksa Agung dan justru itu yang belum dilaksanakan. Penyidikan tak berjalan karena Jaksa Agung terus menolak hasil penyelidikan Komnas HAM.
Sekarang Presiden Jokowi perlu membuktikan bahwa pengakuan ini bukanlah janji baru di tahun politik menjelang Pemilu 2024 sekaligus tahun terakhir pemerintahannya. DPR tidak bisa lepas tangan. Sebagian kewajiban itu adalah tanggung jawab DPR, termasuk mengusulkan Keputusan Presiden tentang Pengadilan HAM ad hoc atau menerbitkan sebuah kebijakan lainnya.
Apa pun akhirnya, penyelesaian tuntas dan menyeluruh akan tetap melekat sebagai kewajiban negara, tidak dibatasi oleh siapa pun yang memegang pemerintahan. Ini semua agar bangsa Indonesia dapat terus belajar dari apa yang terjadi di masa lalu, mengapa terjadi, dan bagaimana bangsa ini bisa mencegah keberulangannya di masa depan.
Usman HamidDirektur Amnesty International Indonesia