DOB Papua, Politik Identitas, dan Demarginalisasi
Menguatnya politik identitas dalam konteks DOB di Papua merupakan keniscayaan. Meskipun demikian, proses ”pengawalan” terhadap manifestasi politik identitas di era DOB ini tetap perlu dilakukan untuk menghindari konflik.
Wacana tentang daerah otonom baru atau DOB di tanah Papua berkembang dengan sangat dinamis. Sampai pada pengujung tahun 2022 sudah diresmikan empat provinsi baru, yaitu Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Pegunungan dan Papua Barat Daya. Dengan demikian, secara keseluruhan ada enam provinsi di tanah Papua ini, termasuk provinsi Papua dan Papua Barat.
Pembentukan DOB di tanah Papua berada dalam spektrum antara harapan dan polemik. Di satu sisi ada harapan bahwa DOB dapat mempercepat pembangunan dan pemerataan di tanah Papua. Selain itu, melalui DOB ada harapan bahwa sudah saatnya orang asli Papua (OAP) memegang kendali kepemimpinan di tanahnya sendiri.
Dari sisi polemik, ada kekhawatiran bahwa DOB akan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya, seperti akan didirikannya lebih banyak lagi pos-pos militer dan polisi, menyebabkan semakin intensnya kerusakan lingkungan dan ekstrasi sumber daya alam oleh pihak luar sehingga semakin memarginalkan OAP, masifnya arus migrasi yang masuk sehingga semakin mengalienasi OAP di tanahnya sendiri, serta muncul potensi konflik baru yang melibatkan gerakan separatisme Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat dan konflik yang bersifat horizontal.
Baca juga: Pemekaran dan Konsolidasi Sosial
Sampai tulisan ini dibuat, polemik terkait DOB ”secara relatif” dianggap sudah mereda. Hal ini diasumsikan sebagai akibat penunjukan penjabat gubernur di tiga provinsi baru, kecuali di Provinsi Papua Barat Daya, yang semua merupakan orang asli Papua. Untuk Penjabat Gubernur Papua Selatan adalah Apolo Safanpo, Penjabat Gubernur Papua Pegunungan dijabat oleh Nikolaus Kondomo, dan Penjabat Gubernur Papua Tengah dijabat oleh Ribka Haluk. Untuk Penjabat Gubernur di Papua Barat Daya dijabat oleh Muhammad Musa’ad. Tulisan ini membahas dinamika politik identitas di era DOB.
Narasi dinamis politik identitas
Penunjukan tiga penjabat gubernur yang berasal dari OAP oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dianggap suatu langkah yang peka untuk merespons sensitivitas masyarakat di Papua yang selama ini merasa ”terpinggirkan” dan lemah dari aspek rekognisi. Meskipun demikian, menarik ditelusuri bahwa narasi politik identitas juga bermain dinamis dalam proses pembentukan provinsi-provinsi baru di tanah Papua ini.
Titik mulanya adalah suara dari lapisan akar rumput yang semakin marak dengan tuntutan penempatan OAP dalam jabatan strategis di struktur birokrasi di provinsi-provinsi baru tersebut, seperti pada level bupati, kepala dinas, dan aparat sipil negara. Muncul kekhawatiran dari OAP bahwa untuk mengisi posisi jabatan struktural di provinsi-provinsi tersebut pemerintah pusat akan menempatkan penjabat orang non-Papua.
Secara umum, dengan diterapkan DOB, narasi politik identitas diperkirakan akan menguat. Bukti nyatanya dapat dilihat dari pernyataan Wakil Ketua 1 DPR Papua Yunus Wonda yang mengaku mengkhawatirkan dampak dari lahirnya DOB di Papua. Dengan kondisi daerah yang belum banyak berkembang baik dari aspek infrastruktur maupun perangkat pegawai, akan muncul peluang bagi ASN dari luar Papua untuk mengisi kekosongan birokrasi.
Secara garis besar, politik identitas yang menguatkan konstruksi us dan them tidak hanya bersifat vertikal, yaitu antara OAP dan non-OAP, tetapi juga horizontal.
Kasus lain adalah alotnya penetapan Penjabat Bupati Jayapura oleh Kementerian Dalam Negeri sehingga membuat sejumlah tokoh adat, pemuda, dan masyarakat di ”Bumi Kenambai Umbai” mengeluarkan pernyataan keras bahwa penunjukan penjabat bupati harus sesuai dengan UU Otonomi khusus di Papua. Apabila tidak sesuai, mereka mengancam akan merdeka.
Menguatnya politik identitas yang mengarah kepada xenophobia atau ketidaksukaan, ketakutan, dan rasa curiga terhadap orang asing (pendatang) diakibatkan oleh produk historis berupa kesenjangan baik secara politik, ekonomi, maupun sosial-budaya antara pendatang dan OAP yang selama ini tidak pernah terselesaikan. Implikasinya dapat dilihat dari peristiwa pembakaran beberapa kios milik pendatang di Kabupaten Deiyai pada Desember 2022. Peristiwa tersebut dipicu meninggalnya seorang OAP karena membeli barang dagangan yang diisukan telah disiram racun oleh pedagangnya. Eksodus pendatang karena kerusuhan bernuansa rasisme juga pernah terjadi di Wamena pada September 2019.
Secara garis besar, politik identitas yang menguatkan konstruksi us dan them tidak hanya bersifat vertikal, yaitu antara OAP dan non-OAP, tetapi juga horizontal. Representasi kesukuan berdasarkan wilayah teritorial yang bersifat primordial juga bermain dalam menentukan jabatan-jabatan strategis tersebut.
Para elite lokal Papua yang dianggap ”berjasa” mengusulkan dan mendorong DOB ini mulai minta ”jatah” kekuasaan. Kondisi ini dapat dilihat sebagai tantangan sekaligus ancaman besar dalam implementasi DOB ini. Apakah jabatan-jabatan strategis di provinsi-provinsi baru tersebut mampu diisi oleh orang-orang yang cakap dan kompeten atau malah didominasi oleh kepentingan-kepentingan yang bersifat primordialistik semata dan mengorbankan sistem merit?
Demarginalisasi
Dinamisnya politik identitas di era DOB ini dapat dikategorikan dalam dua bentuk (Castells, 2010). Pertama sebagai suatu resistance identity, artinya dihasilkan oleh aktor-aktor yang selama ini berada dalam posisi/kondisi yang direndahkan dan/atau dihalangi oleh logika dominasi sehingga akhirnya membangun kanal-kanal perlawanan untuk mempertahankan eksistensi diri. Resistance identity ini bangkit sebagai akibat dari rasisme dan marginalisasi.
Kedua, project identity di mana aktor-aktor sosial politik berdasarkan modalitas yang mereka miliki membangun identitas baru yang mendefinisikan kembali posisi mereka dalam masyarakat dan melakukan transformasi struktur sosial secara keseluruhan. DOB dapat dianggap sebagai suatu struktur sosial yang akan dipakai oleh OAP untuk melakukan proses ”demarginalisasi”.
Bangkitnya politik identitas dalam ruang publik DOB adalah manifestasi dari demarginalisasi ini.
Demarginalisasi mengandung makna sebagai upaya yang terus-menerus untuk membongkar akar masalah marginalisasi terhadap eksistensi OAP baik secara individu maupun kelompok. Hal ini dilakukan dengan meletakkan OAP yang selama ini berada di ruang-ruang pinggiran ke ruang utama dalam konteks public space (Rumkabu, Novenanto dan Kusumaryati, 2021:1). Bangkitnya politik identitas dalam ruang publik DOB adalah manifestasi dari demarginalisasi ini.
Meskipun politik identitas dapat dikatakan sebagai suatu kemunduran demokrasi karena mengabaikan prinsip keadilan dan kompetisi yang sehat, kasus di tanah Papua memang unik. Demarginalisasi melalui kebangkitan politik identitas dapat juga dianalisis sebagai langkah untuk mengkontestasi kebijakan afirmasi atau proteksi terhadap OAP oleh pemerintah yang selama ini dianggap telah gagal.
Politik identitas di ruang publik di tanah Papua dapat juga dilihat sebagai alat perjuangan. Apabila mengobservasi perkembangan terkini di Papua, segala bentuk kekerasan yang dimotori Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat cenderung tidak lagi menarik simpati sebagian masyarakat Papua.
Baca juga: Paradigma Pembangunan Papua
Namun yang terjadi justru bangkitnya soliditas internal untuk memperkuat ‘jati dan harga diri’ OAP melalui berbagai peningkatan kapasitas dan kualitas diri, misalnya di bidang ekonomi melalui usaha dan pemberdayaan ekonomi, politik melalui ‘positioning’ OAP di jabatan strategis birokrasi, pendidikan termasuk beasiswa mahasiswa ke luar negeri, budaya dan bahkan di dunia penerbangan. Ada kepercayaan di antara kaum intelektual dan generasi muda Papua bahwa marginalisasi selama ini hanya bisa ‘dilawan’ apabila OAP dapat meningkatkan kapasitasnya secara bertahap untuk mendukung terwujudnya rasa percaya diri, kemandiran dan ketahanan diri.
Sebagai catatan penutup, menguatnya politik identitas dalam konteks DOB di Papua memang sebuah keniscayaan dan dapat dinilai sebagai dampak dari ‘salah urus’ Papua selama ini. Meskipun demikian proses ‘pengawalan’ terhadap manifestasi politik identitas di era DOB ini tetap perlu dilakukan untuk menghindari konflik baik bersifat vertikal maupun horizontal.
Harapannya, dengan semakin berkualitasnya OAP, manifestasi politik identitas di tanah Papua hanya akan bersifat sementara. Transformasi masyarakat di Papua yang menjunjung tinggi sistem merit dan mampu berkompetisi secara sehat dengan lapisan masyarakat lintas etnis dan agama lainnya harapannya akan menjadi produk akhirnya.
Vidhyandika D Perkasa, Peneliti Senior Department Politik dan Perubahan Sosial, CSIS Jakarta