Pemerintah harus mampu menggunakan layanan kesehatan presisi untuk mengintervensi persoalan kesehatan masyarakat secara menyeluruh agar warga yang paling miskin sekalipun tidak berpotensi sakit dan mati sia-sia.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Ketika Watson, Crick, dan Wilkins menemukan DNA, 1953, revolusi kesehatan pun dimulai. Cetak biru informasi genetik ini mengubah pengobatan menjadi personal.
DNA—singkatan dari deoxyribonucleic acid—merupakan suatu struktur molekul asam nukleus yang menyusun materi genetik, penentu sifat setiap makhluk hidup. Pengetahuan tentang DNA membuka babak baru dalam memahami penyakit, mencegah, hingga mengobatinya.
Dalam tubuh manusia terdapat tiga miliar nukleotida yang menyusun 100.000 gen. Varian gen tersebut, antara lain, menentukan tinggi badan, warna mata, warna kulit, sidik jari, golongan darah, dan kerentanan terhadap penyakit. Inilah yang kemudian dipetakan dalam Proyek Genom Manusia, yang berhasil diurutkan sepenuhnya pada 2022.
Tiga tahun sebelumnya, 2019, kolaborasi peneliti termasuk Lembaga Biologi Molekuler Eijkman berhasil memetakan genom 1.739 individu dari 64 negara di Asia. Kajian ini menghasilkan peta genetik paling lengkap populasi Asia, meliputi asal-usul, sejarah pembauran, diversifikasi, dan kerentanan penyakit (Kompas, 7/12/2019).
Semua itu menjadi basis dalam layanan pengobatan atau kesehatan presisi. Pengobatan ini bertumpu pada pola DNA seseorang, pengaruhnya pada kerentanan penyakit, dan responsnya terhadap pengobatan. Dengan demikian, setiap orang bisa secara spesifik diketahui kondisinya, dicegah penyakitnya, dan diformulasikan pengobatannya.
Layanan kesehatan presisi mulai dikembangkan di Indonesia di bawah payung Biomedical & Genome Science Initiative (BGSi). Situs resmi Kementerian Kesehatan menyebutkan, BGSi akan berkonsentrasi pada empat penyakit tidak menular penyebab kematian sekaligus pembiayaan tertinggi di Indonesia: kanker, stroke, jantung, dan ginjal.
Selanjutnya, perlu dipertimbangkan pula penyakit menular, seperti demam berdarah, malaria, dan tuberkulosis.
Meski demikian, tidak mudah membangun BGSi di Indonesia. Berita utama harian Kompas, Selasa (17/1/2023), menyoroti ketidaksiapan infrastruktur kesehatan presisi. Mulai dari keakuratan tes, keberadaan laboratorium teknologi informasi, hingga keterbatasan sumber daya manusia. Untuk mengatasi, koordinasi menjadi kunci.
Pemerintah perlu menggandeng rumah sakit swasta yang sudah menerapkan metode ini untuk mempercepat inisiasi. Di sisi lain, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) harus mampu mengaplikasikannya dalam riset yang menunjang, apalagi Lembaga Eijkman yang menjadi tulang punggung kesehatan presisi sudah dilebur dalam BRIN.
Pekerjaan rumah yang tidak kalah penting ialah memeratakan layanan kesehatan presisi. Kita tahu, metode pengobatan ini masih sangat mahal. Oleh karena itu, pemerintah harus mampu menggunakan layanan kesehatan presisi untuk mengintervensi persoalan kesehatan masyarakat secara menyeluruh agar warga yang paling miskin sekalipun tidak berpotensi sakit dan mati sia-sia.