Menghadirkan Kedokteran Presisi untuk Masyarakat
Indonesia telah menginisiasi penelitian dan pengembangan kedokteran presisi yang terintegrasi di masyarakat. Keberlanjutan dari inisiatif itu pun harus dipastikan agar tujuan peningkatan kualitas kesehatan tercapai.
JAKARTA, KOMPAS — Kedokteran presisi merupakan keniscayaan dalam pelayanan kesehatan di masa depan. Lewat kedokteran presisi, tiap individu bisa mendapat layanan kesehatan yang spesifik sesuai kondisinya masing-masing. Hasilnya jadi lebih optimal untuk semua tahapan klinis mulai dari pencegahan, diagnostik, dan terapi.
Sejumlah negara pun mulai berfokus dalam penelitian dan pengembangan kedokteran presisi. Untuk itu, Indonesia harus mulai mempersiapkan dan membangun ekosistem tersebut guna meningkatkan mutu kesehatan di masyarakat. Di kawasan Asia Pasifik, Indonesia masih tertinggal dalam pengembangan kesehatan yang dipersonalisasikan.
Laporan Indeks Kesehatan yang Dipersonalisasi Asia Pasifik 2020 menunjukkan, Indonesia mendapatkan skor 29. Jumlah itu di bawah rata-rata negara di Asia Pasifik yang memiliki skor 51.
Negara dengan skor tertinggi yakni Singapura dengan skor 71, Taiwan dengan skor 67, dan Jepang dengan skor 64. Indonesia dinilai masih kurang dalam konteks kebijakan dan informasi kesehatan, serta minim dalam kinerja pada pelayanan kesehatan.
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Rizka Andalucia, di Jakarta, Senin (16/1/2023), mengatakan, pemerintah melalui Kemenkes kini telah memulai implementasi kedokteran presisi untuk masyarakat. Salah satunya melalui inisiatif Biomedical and Genome Science initiative (BGSi).
Baca juga: Mendorong Kedokteran Presisi
”Konsep BGSi adalah sebagai katalisator implementasi kedokteran presisi di Indonesia. Dalam dua tahun pertama, BGSi akan mengumpulkan data 10.000 sekuens dan biospesimen dengan data terintegrasi. Data ini akan dapat diakses untuk mengembangkan inovasi-inovasi kesehatan terkait kedokteran presisi,” tuturnya.
Menurut Rizka, pengembangan kedokteran presisi atau kedokteran yang dipersonalisasi menjadi usaha pemerintah untuk memberikan layanan kesehatan yang lebih baik bagi masyarakat.
Perkembangan ilmu pengetahuan saat ini menunjukkan setiap individu memiliki respons berbeda-beda pada suatu pengobatan, tergantung dari setiap kode genetik yang dimiliki.
Rizka menjelaskan, BGSi akan memberikan dukungan pada delapan rumah sakit vertikal untuk memulai pelayanan kedokteran presisi berbasis genomik. Keterlibatan rumah sakit diharapkan mempercepat implementasi kedokteran presisi di masyarakat.
Setidaknya ada sembilan proyek yang akan diusung, terdiri dari penanganan terkait Covid-19, hWGS (pengurutan genom keseluruhan pada manusia), dan tujuh penyakit prioritas, seperti penyakit infeksi, penyakit metabolik, kanker, penyakit otak dan neurodegeneratif, kelainan genetik, serta penuaan, nutrisi, dan kesehatan.
Konsep BGSi adalah sebagai katalisator implementasi kedokteran presisi di Indonesia. Dalam dua tahun pertama, BGSi akan mengumpulkan data 10.000 sekuens dan biospesimen dengan data terintegrasi.
Selain itu, program dan layanan BGSi akan didukung dengan tiga platform yang terintegrasi, yakni Biobank, Registry, dan Bioinformatics. Biobank merupakan fasilitas penyimpanan yang akan mengelola spesimen biologis, seperti darah, serum, plasma, dan materi genetik yang bisa dimanfaatkan di masa datang.
Sampel tersebut akan disertai informasi rinci mengenai informasi gaya hidup, kondisi klinis, demografis, perilaku, dan lingkungan. Untuk Biobank Nasional Terpusat akan berlokasi di Biorepository Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK).
Sementara Registry merupakan sistem yang akan digunakan untuk mengumpulkan data yang seragam terkait sampel yang akan disimpan di Biobank. Data yang telah dikuratori ini dapat diakses oleh peneliti atau pihak lain untuk kepentingan inovasi kesehatan.
Pada layanan Bioinformatika, BGSi akan berfokus pada analisis primer dan sekunder dari data pengurutan seluruh genom. Data akan disimpan dalam server yang diklaim aman yang berlokasi di Jakarta.
Rizka menyampaikan, saat ini, fokus pengembangan kedokteran presisi di Indonesia masih untuk membangun infrastruktur dan kapasitas layanan kesehatan.
Untuk jangka panjang, kedokteran presisi diharapkan dapat diimplementasikan secara luas dan bermanfaat bagi masyarakat, misalnya untuk pengembangan obat dan terapi dalam negeri dengan sampel penduduk Indonesia serta prediksi risiko penyakit yang spesifik di masyarakat.
”Dalam ekosistem jejaring genomik, Kementerian Kesehatan membangun laboratorium genomik melibatkan laboratorium kesehatan pemerintah, rumah sakit, dan universitas. BGSi juga akan melibatkan aset-aset SDM terbaik Indonesia, baik yang saat ini berada di Indonesia maupun diaspora-diaspora Indonesia,” tutur Rizka.
Penanggung jawab teknis BGSi, Ririn Ramadhany, menambahkan, sejumlah persiapan harus dilakukan dalam implementasi inisiatif BGSi. Persiapan itu meliputi antara lain kesiapan tenaga kesehatan, infrastruktur yang memadai, dan keahlian SDM, terutama terkait konselor genetik, ahli genetik, dan ilmuwan.
Baca juga: Kesehatan Masyarakat Presisi
Menurut Ririn, pembiayaan untuk uji genomik sudah lebih terjangkau. Namun, banyaknya uji klinis untuk kedokteran presisi dan pemeriksaan genetik semakin membutuhkan edukasi pada masyarakat terkait pemanfaatannya. Regulasi pun perlu disiapkan oleh pemerintah untuk mengatur hal tersebut.
Tantangan
Ahli genetika dan Ketua Komisi Kedokteran Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Herawati Supolo Sudoyo, menyampaikan, inisiatif yang dilakukan pemerintah untuk membangun pusat-pusat pemeriksaan genomik merupakan hal yang baik. Namun, tantangannya tidak mudah. Indonesia harus bisa mengatasi ketertinggalan dalam pengembangan kedokteran presisi.
Pelaporan data yang baik merupakan salah satu hal yang penting dalam pengembangan pengobatan presisi. Selain memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan genomik, para klinisi harus menyadari bahwa data dari pasien memiliki nilai sangat berharga.
”Berikutnya, infrastruktur penyimpanan data harus bagus. Pengobatan presisi ini berkaitan dengan big data yang dikelola dalam sistem EHR (electronic health record). Biobank pun perlu disiapkan untuk menyimpan materi biologis dan data terkait,” ucap Herawati.
Baca juga: Pelayanan Kesehatan Kian Presisi
Peneliti biologi molekuler dari Indonesia di John Curtin School of Medical Research, Australian National University, Ines Atmosukarto, yang kini juga ditunjuk sebagai tenaga ahli Kemenkes, menuturkan, konsep BGSi yang telah baik harus dipastikan keberlanjutannya.
Penelitian dan pengembangan kedokteran presisi untuk kesehatan masyarakat membutuhkan intervensi jangka panjang. Proses pengembangan hingga pemanfaatannya bisa berlangsung lebih dari dua dekade.
”Yang paling penting untuk memastikan keberlanjutannya dengan menganggap pengembang kedokteran presisi sebagai aset nasional. Data yang didapatkan dari sampel yang terkumpul sangat berharga dan berpotensi besar untuk dimanfaatkan. Apa pun namanya, inisiatif ini harus dipastikan berlanjut,” ujar Ines.
Riset dan pengembangan kedokteran presisi juga dilakukan para peneliti dari Organisasi Riset (OR) Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Menurut Kepala OR Kesehatan BRIN Indi Dharmayanti, pengembangan kedokteran presisi di Indonesia mulai gencar dilakukan saat terjadi pandemi Covid-19.
Indi menjelaskan, OR Kesehatan BRIN mempunyai fokus riset kedokteran presisi yang tertuang dalam Rumah Program Hasil Pengembangan Pengobatan Presisi dan Regeneratif pada tahun 2023. Program ini juga dapat dimanfaatkan oleh periset melalui Call for Join Research Collaboration.
Meski secara spesifik atau tertulis tidak masuk dalam kegiatan prioritas, berbagai aktivitas penelitian OR Kesehatan BRIN sudah mengarah pada kegiatan kedokteran presisi. Beberapa kegiatan yang dilakukan khususnya berkaitan dengan bidang molekuler, mencari prediksi klinis, pengembangan vaksin khusus Indonesia, dan pengembangan obat.
Indi juga menyebut bahwa tantangan pengembangan kedokteran presisi masih ditemui di Indonesia khususnya dari aspek infrastruktur khususnya laboratorium teknologi informasi yang bertanggung jawab dalam penilaian data pasien. Infrastruktur ini menjadi komponen terpenting untuk kebutuhan pemeriksaan guna melengkapi data genetik atau genom.
”Tantangan lainnya adalah bagaimana terkait keakuratan tes yang dilakukan. Sebab, kedokteran presisi merupakan pengembangan teknologi berbasis genetika,” kata Indi.
Selain itu, keterbatasan sumber daya manusia menjadi salah satu tantangan terkait kedokteran presisi. Oleh karena itu, pelatihan SDM harus terus dilakukan terutama dari aspek pemeriksaan laboratorium dan pemilihan pengobatan terbaik.