Banyak pihak kecelik saat HUT Ke-50 PDI Perjuangan. Boleh jadi hal itu dilakukan secara sengaja untuk ”test the sea”, menjajaki seberapa besar gelombang yang ditimbulkan dengan ”belum mengumumkan capres/cawapresnya”.
Oleh
JC TUKIMAN TARUNA
·3 menit baca
Praktik perpolitikan kita, sebutlah liku-liku politik praktisnya, sering gawe kecelik (membuat kecewa). Pada ulang tahun ke-50 PDI Perjuangan (PDI-P) 10 Januari 2023, berita santernya konon akan terjadi kejutan besar. Tapi, jebul ora sida, ternyata tidak terjadi atau tidak ada kejutan sebagaimana dipersepsikan banyak pihak.
Hal itulah yang gawe kecelik, yakni membuat banyak pihak ada yang (a) kecewa, (b) gerundel, (c) bergumam ”asem iki,” (d) salut dan bertepuk tangan, serta (e) takjub seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Apakah reaksi-reaksi semacam itu disertai perasaan dongkol karena kapusan, merasa tertipu? Rasanya tidak, mengingat kecelik itu tidak mengandung konotasi ”tertipu”, dirugikan, apalagi lalu membuka peluang pengaduan. Tidak.
Inti dari kecelik ialah temahan ora (sida) ana apa-apa kang bisa dideleng, dirungu, dan sebagainya. Maksudnya, khalayak akhirnya tak jadi memperoleh sesuatu, entah sesuatu itu berkaitan dengan mendapatkan berita penting, heboh, trending terkait capres dan cawapres yang akan diusungnya, entah pula orang dapat melihat sesuatu yang diharap-harapkan.
Pertanyaannya, munculnya berita santer itu semata-mata isapan jempol sekadar untuk menarik minat orang ataukah sekadar trik? Entahlah. Sangat mungkin juga karena saking semangatnya ”anak buah” memberitakan sesuatu yang belum pasti; dalam hal ini, ”anak buah” itu pasti tidak ada niat untuk menipu pihak mana pun.
Siapa pun dapat mengalami (menderita?) kecelik; bahkan semakin besar harapan seseorang untuk mendengar atau melihat sesuatu ”yang besar/baru”, semakin besar pula rasa kecewanya karena kecelik.
Sampai-sampai dalam percakapan sehari-hari dalam konteks menyangatkan, terucaplah, ”Wah, kecelik burik aku.” Maksudnya merasa benar-benar kapusan, tertipu secara perasaan, dan boleh jadi orang itu misuh-misuh, berkata-kata agak kasar karena jengkel.
Tergesa-gesa
Di samping karena terlalu berharap (siapa suruh?), orang dapat mengalami kecelik juga karena kesusu, tergesa-gesa. Dunia politik praktis kita memang dilanda gejala serba tergesa-gesa, serba grusa-grusu; dan salah satu indikasinya adalah kurang matangnya perhitungan sehingga ada banyak hal yang ”harus dibayar mahal” akibat dari ketergesa-gesaan itu.
Salah satu bukti betapa kurang sabarnya para politisi ialah terkait dengan pengajuan capres dan cawapres. Mengapa harus tergesa-gesa, sementara jadwal dari KPU untuk pendaftaran dan penetapan capres/cawapres adalah Kamis, 19 Oktober 2023, hingga Sabtu, 25 November 2023. KPU memberikan waktu 38 hari itu.
Jadi, mengapa tergesa-gesa? Jawaban akuratnya pasti ada di pihak-pihak yang nyata-nyata telah atau sedang kebelet saat ini, yakni pihak yang sudah mencapreskan seseorang; pihak yang sudah kasak-kusuk ingin mencapreskan si A, si B; atau pihak-pihak yang sudah ”pasang tarif” dengan selalu mengatakan, ”jatahku minimal cawapres.” Menguntungkankah mereka yang tergesa-gesa itu?
Entahlah, tapi yang jelas saat ini mereka sudah mengeluarkan biaya untuk mendukung ini-itunya.
Sangatlah tidak etis, ”wong gedhe” ngiwi-iwi ”wong cilik”. Oleh karena itu, jangan sampai meledek ini terjadi oleh siapa pun dan kapan pun.
Bagaimana halnya parpol yang bikin kecelik burik karena belum mengumumkan capres- cawapresnya, padahal sudah ditunggu-tunggu banyak pihak?
Saya sekadar menduga-duga saja, dan dugaan bisa salah besar. Membuat orang kecelik sangat boleh jadi dilakukan secara sengaja untuk, lagi-lagi, test the sea, menjajaki seberapa besar gelombang yang ditimbulkan dengan ”belum mengumumkan capres/cawapresnya”.
Setelah melihat gelombangnya, lalu mungkin saja bergumam: ”Ini dia....” Kecuali memang sengaja, membuat kecelik tentu akan dimanfaatkan juga untuk mematangkan kondisi, seraya menunggu waktu yang sangat tepat, mengingat waktu pendaftaran capres-cawapres masih delapan bulan.
Tentu ada catatan etis sangat penting, gawe kecelik hendaknya tak dinggo ngiwi-iwi parpol lainnya, yaitu untuk meledek mereka. Sangatlah tidak etis, ”wong gedhe” ngiwi-iwi ”wong cilik”. Oleh karena itu, jangan sampai meledek ini terjadi oleh siapa pun dan kapan pun.
JC Tukiman Taruna,Pengampu Mata Kuliah Community Development