Akhir-akhir ini, yang paling menjengkelkan saya bukanlah Youtube, bukanlah Google, melainkan medsos biasa. Capek membalas pesan, capek mencari emoji yang saya kurang paham emosinya.
Oleh
JEAN COUTEAU
·4 menit baca
HERYUNANTO
Jean Couteau
Sudah lama saya ingin berbicara tentang media modern, saingan harian Kompas ini, tetapi terus tertunda. Di mana masalahnya? Apabila membaca harian Kompas atau bahkan Kompas digital, kita mendapat apa yang kita cari: politik, ya! politik olahraga, ya! olahraga, ya!
Bahan real. Teruji. Ditulis oleh wartawan yang sesungguhnya. Dengan keunggulan pengetahuannya. Berbeda dengan media internet modern. Kecuali apabila kita sangat berhati-hati, informasi diganti oleh prasangka, keberpihakan, kekerasan bahkan kejorokan. Kadar adab kita menurun.
Masalah datang ketika kita mulai ”melompat-lompati” media. Zoom masih oke, bahkan terlalu serius: menyangkut rapat, konferensi, atau seminar. Keraguan mulai datang dengan Google atau, lebih-lebih, dengan Youtube. Tiba-tiba semua mulai berubah dimensi. Pada awalnya, memang mengagumkan. Melalui Google, bukankah sekat-sekat lenyap. Seolah-olah dunia menyatu. Kita bisa bermedsos-ria dengan ”teman” di ujung dunia yang lain.
Melalui Youtube, kita bisa mendapat berita tentang situasi Covid-19 di TV Mauritius, dan sesaat lagi, menyaksikan di TV Ouagadougou betapa dahsyatnya perang jihad di Burkina Faso. Melalui Zoom, kita bisa mengikuti ocehan terakhir para cendekiawan majalah Basis tentang sosiologi Bourdieu atau teori pendidikan Paulo Freire.
Dengan modal pengetahuan ini—maaf kalau saya nyinyir—para peserta seminar tidak akan kelihatan terlalu bodoh di kafe-kafe keren para borju Jakarta—tempat paling cocok untuk menanggapi kemiskinan.
Saya serius lho! Bukankah kaum borjuis adalah satu-satunya kelas sosial yang anggotanya diharapkan mengkhianati kelasnya? Dan apabila itu terjadi di Jakarta, bukankah hal ini sudah merupakan suatu kemajuan!
Cuma, apabila ada manfaat, informasi online ada juga mudaratnya. Jarang dipakai untuk mempertinggi tingkat pengetahuan atau keterampilan seseorang. Biarpun sekat-sekat geografis dihapus, diganti kubu-kubu. Religius, politik, sekte, dan lain-lain.
Sebenarnya paling ”cocok” dipakai oleh mereka yang sudah mengidap compulsive-obsessive disorder atau mereka yang ingin turut terbawa penyakit itu, yaitu semakin memikirkan sesuatu sampai sinting. Misalnya apabila Anda menyukai film pembantaian yang ”asli”, bisa saja dicari dan ditemukan di sistem Youtube tanpa mengalami terlalu banyak kesulitan—selain gangguan kejiwaan itu.
Bila Anda membenci orang Amerika, dari video satu ke video lain, bisa jadi Anda akan kian menikmati cara pengikut Daesh memenggal ”musuh dunia” itu, berikut serdadu Perang Salib lainnya. Namun, apabila Anda pro-Amerika, cukup menonton video pengeboman atas Irak… bagaimana membunuh ratusan atau ribuan orang seperti bermain game sambil bersorak. Tinggal tekan tombol. Selesai. Dan dibantu algoritma untuk membantu Anda: jadi semakin bodoh Anda, yaitu semakin tertarik dengan ini atau itu, semakin Anda akan ditawarkan produk kebodohan. Hebatnya, bisa memilih musuh, sesuai dengan kecenderungan kebencian pribadi atau dengan kebencian tuntutan zaman.
Kini produk Rusia-lah yang paling laris, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban horor. Pokoknya bisa memilih. Yang penting ada darah dan korban yang entah dibenci atau dikasihani.
Memang, jangan-jangan saya berlebih-lebih: di antara produk tawaran media baru itu, ada juga cerita cinta, cerita keluarga, dan sebagainya, tetapi selalu itu disusul, diklik tombol berikutnya, oleh adegan kekecewaan, penipuan, atau kekerasan seksual. Alhasil, patologi jiwa dan patologi sosial tak terhindarkan—kecuali jika sistem pendidikan diperketat dengan instrumen pengawasan yang efisien, yang notabene belum tersedia.
Tak kalah menarik, dan mengerikan, adalah cara seks dan agama turut disisipkan dengan sengaja atau sebagai iklan di tengah ”acara-acara budaya online” di atas. Kalau seks tercampur adegan perang dan muncratan darah, sebenarnya masih oke: sama-sama menyangkut cara mengeluarkan energi. Lebih-lebih, kalau khotbah penceramah keren muncul menyusul adegan perang di Ukraina, tetap bisa dimaklumi. Tetapi bayangkan betapa kagetnya jika omongannya disela iklan pelumas pria. Absurd.
Namun, akhir-akhir ini, yang paling menjengkelkan saya bukanlah Youtube, bukanlah Google, melainkan medsos biasa. Capek membalas pesan, capek mencari emoji yang saya kurang paham emosinya. Capek menghabiskan satu hari—Natal, Tahun Baru, Galungan—untuk mengucapkan selamat kepada ratusan orang, satu per satu. Capek terharu benar atau pura-pura terharu membaca pesan RIP-RIP-nya yang terus muncul di layar untuk disusul emoji ”air mata”.
Aneh, kan, RIP—rest in peace, istirahatlah—adalah singkatan yang tidak saya kenal beberapa tahun yang lalu. Kini saya menanti ia menjadi masa depan saya.
Ah, peace, akhirnya itu.... Lewatilah zaman dan aku.