Sejarah kita lebih banyak mengulas ke-lampau-an laki-laki dan seakan mengabaikan ke-lampau-an perempuan. Penulisan sejarah perempuan penting untuk membangun kesadaran dan kehidupan yang lebih berkesetaraan jender.
Oleh
MOH RIVALDI ABDUL
·6 menit baca
Bangunan penulisan sejarah (historiografi) selama ini seakan meminggirkan perempuan. Sejarah lebih banyak mengulas ke-lampau-an laki-laki dan seakan mengabaikan ke-lampau-an perempuan yang dianggap remeh. Plesetan kata history menjadi his-story kemudian muncul sebagai kritik atas historiografi yang banyak menuliskan sejarah laki-laki (his), dan agak abai mendedahkan sejarah perempuan (her).
Meski kita ketahui bahwa kata history (sejarah) bukan gabungan dari his dan story, melainkan bahasa Inggris serapan dari bahasa Yunani: historia, plesetan history ke bentuk his-story tidaklah keliru, jika mengingat sejarah yang banyak berisi ke-lampau-an laki-laki. Merespons sejarah yang terlalu his-story, kemudian hadir her-story sebagai istilah dan kerja untuk mengimbangi penulisan sejarah perempuan yang selama ini terabaikan.
Istilah her-storiography dalam tulisan ini dimaksudkan untuk penulisan sejarah perempuan. Yang dalam upayanya sering terhambat karena sifat historiografi selama ini terlalu androcentric, memuja dokumen, dan menganggap hal biasa di masa lampau bukan sejarah.
”Androcentric” historiografi Indonesia
Sebagaimana dijelaskan oleh Kuntowijoyo dalam Metodologi Sejarah, bahwa sejarah perempuan dalam historiografi Indonesia masih terbelakang. Statemen ini dikemukakan oleh Kuntowijoyo dalam bukunya yang terbit pertama kali pada 1994, tetapi masih relate dengan penulisan sejarah Indonesia saat ini. Di mana, sejarah kita lebih banyak mengulas ke-lampau-an laki-laki, dan seakan mengabaikan ke-lampau-an perempuan yang dipandang remeh.
Hal tersebut, menurut Kuntowijoyo, disebabkan sejarah kita dipenuhi dengan tema-tema politik dan militer. Sejarah politik dan militer adalah sejarah tentang kekuasaan dan keperkasaan, dua hal yang selalu menjadi milik kaum laki-laki. Oleh karena itu, rekonstruksi sejarah Indonesia menjadi bercorak androcentric, berpusat pada kegiatan kaum laki-laki saja dan mengabaikan kegiatan perempuan.
Adanya kecenderungan sejarah pada tema-tema politik dan militer, menurut Sartono Kartodirjo dalam Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, karena peristiwa-peristiwa seperti perang, diplomasi, dan kegiatan politik lainnya menarik perhatian sebagai peristiwa penting yang sangat memengaruhi jalannya sejarah. Sementara pandangan dasar sejarah, ”yang perlu kita kritisi”, memandang sejarah sebagai peristiwa penting di masa lampau. Cerita-cerita perempuan di masa lalu yang dianggap tidak penting, dalam ukuran kebanyakan sejarawan, tidak masuk kategori sejarah, melainkan hanya masa lalu.
Melihat konstruksi historiografi yang demikian dapat dipahami kalau, secara sistematis terjadi peminggiran (penindasan) terhadap perempuan dalam penulisan sejarah. Tradisi penulisan sejarah kita selama ini menjadi satu bentuk patriarki yang meminggirkan (melupakan) perempuan dari peradaban.
Patriarki sejarah ini dapat mendorong kita ke arah, yang dalam bahasa Bambang Purwanto sebagai, ”pengingkaran yang menjerumuskan”. Kita terjerumus ke dalam sejarah yang berisi ke-lampau-an laki-laki saja, dan melupakan ke-lampau-an perempuan. Alhasil, jangankan jujur terhadap sejarah, membaca sejarah secara utuh pun kita tidak akan mampu.
Pemujaan dokumen
Hal lain yang menjadi penghambat her-storiography Indonesia adalah, meminjam pandangan Bambang Purwanto dalam Menggugat Historiografi Indonesia, pandangan kalau sejarah Indonesia baru dimulai sejak masyarakat yang tinggal di wilayah ini mengenal tulisan. Sementara, masa lalu yang terjadi sebelum masyarakat memiliki tulisan, atau masa lalu yang tidak dicatat secara tertulis oleh orang lain, itu tidak dianggap sebagai sejarah, tetapi prasejarah, karena tidak ada dokumen yang merekamnya.
Problem ini akibat bias dari sikap terlalu memuja dokumen, sumber tertulis, sebagai sumber primer dalam penulisan sejarah. Dan, di sisi lain, agak meremehkan sumber lisan, baik tradisi lisan maupun sejarah lisan, sebagai sumber sejarah.
Kebanyakan sejarah perempuan terdokumentasi dalam ingatan kolektif masyarakat, pada tradisi lisan maupun sejarah lisan.
Nadya Karima Melati dalam Membicarakan Feminisme menjelaskan, para pelaku administrasi dan pelaku sejarah harus dilihat dengan analisis jender: mereka semua adalah lelaki. Hanya laki-laki yang dipekerjakan sebagai petugas administratif di masa Hindia Belanda, begitu pula kepemimpinan kerajaan-kesultanan.
Oleh karena itu, sudah barang tentu laki-lakilah yang banyak terdokumentasi dalam tulisan, sementara perempuan tidak. Pemujaan terhadap dokumen sebagai sumber primer meminggirkan perempuan yang berada di pinggiran kekuasaan sehingga sejarah perempuan tidak tertuliskan, kecuali perempuan-perempuan yang berada di lingkaran kekuasaan.
Kebanyakan sejarah perempuan terdokumentasi dalam ingatan kolektif masyarakat, pada tradisi lisan maupun sejarah lisan. Dengan demikian, memutlakkan penggunaan dokumen tertulis sebagai satu-satunya sumber sejarah primer, dapat menyebabkan disorientasi bahwa seakan perempuan tidak memiliki banyak sejarah.
Bukan hal yang penting
Bambang Purwanto menjelaskan bahwa salah satu persoalan yang melingkupi penulisan sejarah di Indonesia adalah mitos kandungan arti penting dari suatu masa lalu untuk dapat disebut sebagai sejarah. Akibatnya, banyak realitas keseharian masa lalu yang sebenarnya merepresentasikan masa lalu itu sendiri tidak pernah dianggap sebagai sejarah. Realitas orang-orang kecil yang manusiawi tidak mendapat tempat dalam historiografi Indonesia. Termasuk cerita-cerita perempuan di masa lalu yang dianggap tidak penting, dipandang sebagai masa lalu saja, dan tidak masuk kategori sejarah.
Bagaimana masa lalu perempuan Indonesia, cerita guru ngaji di kampung yang banyak diisi oleh perempuan, sejak kapan perempuan di Indonesia banyak yang bekerja di luar rumah, relasi keluarga orang terdahulu, dan hal-hal lain yang sering dipandang kurang penting untuk ditelusuri. Banyak sejarawan tidak tertarik dengan tema-tema demikian karena itu dipandang masa lalu saja dan bukan kategori sejarah.
Sejarawan umumnya lebih tertarik dengan tema-tema politik dan militer, dua tema yang identik dengan maskulinitas (laki-laki), yang dipandang sebagai peristiwa penting dalam jalannya sejarah.
Sejarawan umumnya lebih tertarik dengan tema-tema politik dan militer, dua tema yang identik dengan maskulinitas (laki-laki), yang dipandang sebagai peristiwa penting dalam jalannya sejarah. Akibatnya, semakin banyak sejarah laki-laki yang digali dan semakin banyak sejarah perempuan yang dipandang remeh-temeh dilupakan. Kalaupun ada sejarah perempuan yang ditulis, barangkali adalah perempuan yang ikut terlibat dalam perang dan politik, sementara untuk eksistensi perempuan yang lain cenderung terabaikan.
Mengupayakan ”her-storiography” Indonesia
Kerja her-storiography, penulisan sejarah perempuan, bukan bertujuan untuk menyaingi sejarah laki-laki, dan juga bukan agenda dikotomi her-storiography dari historiografi, melainkan merupakan upaya untuk menggiatkan penulisan sejarah perempuan di Indonesia. Jadi, pada dasarnya, her-storiography tetaplah bagian dari historiografi, tetapi lebih fokus pada sejarah perempuan dan dengan pendekatan jender.
Upaya itu menjadi penting mengingat, sebagaimana dijelaskan Kuntowijoyo, selama ini kita telah meninggalkan perempuan, seolah-olah kaum ”lemah” ini tidak ada dalam sejarah. Tujuan penulisan sejarah perempuan tentu bukan sejarah yang gynocentric, sejarah yang berpusat pada perempuan, tetapi sejarah yang lebih adil.
Sejarah yang baik laki-laki maupun perempuan bersama mengambil bagian, yang dalam istilah Kuntowijo ini disebut sebagai sejarah yang androgynous. Dan, upaya ini baru akan terjadi ketika kita sudah membangunnya dari bawah, yaitu dengan menuliskan sejarah perempuan sebanyak-banyaknya, untuk mengimbangi sejarah yang sekarang cenderung berisi sejarah laki-laki.
Apakah urgensi her-storiography hanya itu saja? Tentu, tidak. Penulisan sejarah perempuan secara tidak langsung juga dapat memberi gambaran sejarah yang lebih utuh. Sebab, kita melihat topik sejarah yang kaji tidak hanya dari sudut pandang dan ke-lampau-an laki-laki, tetapi juga dengan memperhitungkan kehadiran perempuan di dalamnya.
Selain itu, jika kita mampu membaca sejarah perempuan di Indonesia dengan baik, kita akan dapat memahami dan merekonstruksi bagaimana relasi jender, posisi perempuan dan laki-laki, yang sebenarnya dalam realitas masyarakat Nusantara. Satu produk sejarah budaya yang dapat kita sebut sebagai feminisme Nusantara. Dan, dengan begitu, sejarah bukan sekadar menjadi kerja nostalgia masa lalu, melainkan lebih dari itu, membangun kesadaran dan pelajaran untuk kehidupan yang lebih berkesetaraan jender di masa sekarang dan mendatang.
Moh Rivaldi Abdul, Mahasiswa Doktoral S-3 Prodi Studi Islam Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam Pascsarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta