Sejarah Pemikiran dan Tokoh Perempuan Indonesia Terus Digali
Pemikiran perempuan turut mewarnai perjalanan sejarah bangsa ini. Upaya mengkaji, menggali, dan meneliti pergerakan dan pemikiran perempuan Tanah Air terbuka sangat luas.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pergerakan dan pemikiran perempuan Indonesia dalam perspektif sejarah yang ada saat ini masih potensial untuk dikaji, digali, dan diteliti. Selama ini penulisan sejarah perempuan terkungkung dalam frasa ”sejarah nasional”. Padahal, banyak peristiwa yang terjadi terhadap perempuan tidak melulu berkaitan dengan peristiwa ”nasional.” Banyak pemikiran dan tokoh perempuan Indonesia yang berkontribusi untuk pergerakan di nasional hingga terhubung dan bekerja sama secara global.
Konferensi Nasional Sejarah XI yang digelar Masyarakat Sejarawan Indonesia, Selasa (9/11/2021), membahas, antara lain, periodisasi sejarah perempuan Indonesia: wacana, perdebatan teori, hingga praktik; juga sejarah perempuan dalam politik hingga dunia kerja.
Terkait periodisasi sejarah perempuan Indonesia, sejumlah ilmuwan sejarah dan aktivis perempuan menggugat keseragaman pembagian yang secara umum dikaitkan dengan periodisasi politik. Jika mengacu pada kanon periodisasi sejarah Indonesia yang membahas perempuan, sering tidak memiliki perspektif perempuan dan dominan sudut pandang maskulin.
Galuh Ambar Sasi, pengajar, aktivis perempuan, juga penulis sejarah, mengatakan, periodisasi sering kali hanya menempatkan tonggak waktu. Padahal, mengacu pada Kuntowijoyo, periodisasi sejarah merupakan rasionalisasi dari seorang sejarawan. Semua sejarawan berhak menyusun ulang periodisasi.
Kami yakin ada alternatif menyusun periodisasi sejarah perempuan berdasarkan tematik.
Oleh karena itu, Galuh bersama Nur Janti, sejarawan dan wartawan, mengkaji periodisasi sejarah perempuan Indonesia yang ada dalam banyak buku, artikel, dan jurnal. ”Kami yakin ada alternatif menyusun periodisasi sejarah perempuan berdasar tematik,” kata Galuh.
Ajakan kolaborasi untuk memikirkan alternatif periodisasi yang belum tergali didasarkan pada hasil riset bahwa periodisasi sejarah perempuan tidak independen karena disusun otomatis berdasarkan kanon sejarah (Sejarah Nasional Indonesia). Penyusunannya melibatkan perempuan, tetapi tidak berperspektif perempuan. Narasi periodisasi pun secara umum berisi data arsip statis.
”Ada alternatif penyusunan tematik. Kami menawarkan tantangan untuk menyusun periodisasi baru. Namun, untuk penyususnan baru ini ada masalah kontinuitas dan diskontinuitas serta landasan filosofi,” kata Galuh.
Sementara itu, Anna Mariana, peneliti di Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan (RUAS), sedang berusaha mengerjakan periodisasi sejarah perempuan. ”Saya mau mengkaji tentang pemikiran tokoh perempuan. Sampai saat ini, persoalan periodisasi mengenai sejarah perempuan hingga perspektifnya masih jadi wacana perdebatan,” kata Anna.
Menurut Anna, sebenarnya, dinamika pemikiran perempuan bisa dilihat dari kelompok keagamaan (aktivis perempuan berlatar belakang agama), kelompok elite (menak, priayi), dan perempuan biasa. ”Saat ini saya mengumpulkan seluruh tulisan tentang tokoh-tokoh perempuan yang dikeluarkan Kemendikbud dan perorangan. Untuk membuat periode pemikiran perempuan ini merupakan suatu proyek yang besar,” kata Anna.
Untuk saat ini periodisasi dibagi tahap I, yakni akhir abad ke-19 dengan diwarnai munculnya kesadaran pentingnya intelektualitas perempuan. Tokohnya seperti Raden Ayoe Lasminigrat dan Kartini. Lalu, tahap II di awal abad ke-20 hingga 1928 pemikiran perempuan dan politik, dengan tokoh Islam, kiri, dan nasionalisme.
”Pemikiran perempuan menjadi roh dari pergerakan perempuan Indonesia. Para pemikir perempuan ini berasal dari berbagai etnis, kelompok, ras, agama, dan kelas. Pemikiran mereka dapat dijumpai di berbagai media, seperti sastra dan media massa/koran,” kata Anna.
Sementara Makrus Ali dan Eka Ningtyas memilih untuk meneliti tentang perempuan di kurun 1955-1978. Pemikiran perempuan penghayat dari perdebatan antara kepercayaan dan agama hingga hidup dalam ranah politik dan agama. Perempuan dalam diskursus kebatinan dari berbagai laporan kongres sejak 1955-1978, antara lain, menekankan, perlunya akses pendidikan jiwa. Ada juga advokasi ke Undang-Undang Perkawinan yang membuat penghayat susah untuk mencatatkan perkawinannya.
Dian Astrid, peneliti di RUAS memulai studi karena ingin fokus mencari perempuan kritis setelah periode 1965 atau di kurun Orde Baru berkuasa. Ada represi politik, perempuan pun dilarang berpolitik secara publik/organisasi.
Ita Fatia Nadia, Ketua Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan, membahas lintasan gerakan perempuan Indonesia di dunia internasional dalam dekolonialisasi pada 1945-1965. Gerakan inetrnasional juga mempengaruhi gerakan perempuan Indonesia.
”Namun, tokoh perempuan yang berhaluan progresif Indonesia dihilangkan dalam narasi sejarah Indonesia. Padahal, tokoh-tokoh yang muncul juga di internasional perlu dihadirkan karena mereka merupakan bagian dalam pembentukan bangsa ini,” kata Ita.
Sebagai contoh, ada tokoh perempuan pada 1945, seperti Setiati Surasto, yang mendirikan organisasi perempuan pekerja Indonesia untuk memperjuangkan persamaan upah antara buruh laki-laki dan perempuan dengan pekerjaan yang sama dan menghapus diskriminasi. Dia jadi ketua delegasi Indonesia di Oganisasi Buruh Internasional (ILO) yang menjadi penyusun saat kongres ILO untuk kesetaraan upah yang dituangkan dalam Konvensi ILO.
Ada pula tokoh perempuan Fransisca Fanggidaej yang penting perannya dalam sejarah pemuda internasional. Dia berpidato tentang gerakan kemerdekaan Indonesia yang digagas pemuda, kemerdekaan bangsa-bangsa yang terjajah. Dia terlibat di dunia internasional dalam pergerakan tersebut.
”Lintasan gerakan perempuan yang tidak pernah ditulis dan tidak dianggap ini bisa jadi dokumen sejarah penting untuk menunjukkan tentang pergerakan perempuan Indonesia,” kata Ita.