Ketika pemilihan jabatan publik tak diambil berdasarkan kapasitas dan pertimbangan publik yang mendalam, suatu kecerobohan yang memberi peluang lebih besar bagi kegagalan melewati situasi yang sulit daripada sebaliknya.
Oleh
AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN
·5 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Pada 1819 saat bangkitnya restorasi monarki absolutisme di bawah kepemimpinan Raja Louis XVIII tampil dalam panggung sejarah Prancis, pelukis Theodore Gericault menyelesaikan masterpiece-nya yang berjudul Le Radeau de la Méduse (Rakit Medusa). Lukisannya menggambarkan nasib 147 kalangan bawah yang terdiri dari buruh, prajurit bawahan, pelaut, tukang kayu, dan awak kapal yang bertumpuk-tumpukan di atas rakit.
Mereka terombang-ambing di lautan, antara harapan dan keputusasaan selama dua minggu, sampai akhirnya merapat ke daratan dan menyisakan 15 orang yang selamat. Menurut kesaksian beberapa awak kapal, selama terapung-apung di rakit, mereka mengalami horor kemanusiaan. Mereka menyaksikan dalam waktu sekitar dua minggu kawannya satu per satu meregang nyawa akibat kelaparan, dehidrasi, bahkan kanibalisme untuk mempertahankan hidup.
Karya seni Gericault bersumber dari kisah nyata peristiwa karamnya Kapal Medusa pada 1816 yang bertolak dari Perancis menuju Senegal dalam proyek kolonialisme. Kecelakaan itu terjadi akibat inkompetensi nakhoda saat mengemudikan kapal melalui gelombang pasang laut.
Ternyata nakhoda kapal itu dipilih berdasarkan pandangan konservatif dan koneksi kedekatan dengan kalangan aristokrat bangsawan. Ironisnya ketika ratusan awak kapal kalangan bawah bertumpuk-tumpuk di antara hidup dan mati dalam rakit sederhana, kalangan elite menyelamatkan diri dengan kondisi nyaman dalam perahu layar yang lebih layak.
Lukisan Rakit Medusa menjadi ikon termasyhur dalam seni lukis aliran romantik abad ke-19. Peristiwa karamnya kapal Medusa dan lukisan Gericault melukiskan detail penderitaan rakyat kecil yang tersisihkan, menjadi ikon seni yang mendorong perlawanan terhadap absolutisme Perancis dan menginspirasi berbagai gerakan revolusi demokrasi liberal di Eropa tahun 1848. Di antara berbagai tafsir lukisan tersebut, kita dapat mengambil pelajaran, terutama ketika tahun 2023 ini, bangsa kita menuju 25 tahun riwayat reformasi maupun menuju tahun yang menentukan dalam Pemilihan Presiden 2024.
KOMPAS/EDDY HASBY
Mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto. Sebagian mahasiswa melakukan aksi duduk di atap Gedung MPR/DPR. Saat ini bangsa Indonesia menuju 25 tahun reformasi, juga menuju tahun yang menentukan dalam Pilpres 2024.
Kekuasaan korup
Apabila kita refleksikan dalam rentang sejarah Eropa yang lebih luas, lukisan Rakit Medusa berlangsung dalam arus pembalikan politik. Ketika harapan akan kehidupan politik warga yang termanifestasi dalam slogan Revolusi Perancis 1789: kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan berbalik dalam waktu singkat menjadi kekuasaan absolutisme politik yang koruptif, kolutif, dan nepotis.
Kekuasaan yang berbasis kepada konsentrasi kuasa kaum aristokratik bangsawan menghasilkan pemilihan posisi-posisi penting yang menitikberatkan kepada kedekatan dengan jejaring elite daripada kompetensi meritokratik. Inkompetensi dalam pemilihan jabatan publik akhirnya menghasilkan tragedi kemanusiaan, dengan lapisan kalangan bawah yang menanggung beban paling berat dalam penderitaannya.
Dalam riwayat seperempat abad reformasi, kita menemukan titik paralel dari peristiwa di atas. Meski Reformasi 1998 relatif tidak menghasilkan kekerasan masif seperti yang terjadi pada Revolusi Perancis, harapan akan kehidupan politik demokrasi, pemerintahan yang bersih, dan pemenuhan keadilan sosial seperti yang bersemi 25 tahun silam, perlahan-lahan terbajak oleh konsentrasi kekuasaan dan kemakmuran dari aliansi bisnis-politik oligarki.
Berbagai persoalan salah urus negara, melemahkan harapan-harapan akan pemajuan agenda reformasi.
Akibatnya, berbagai persoalan salah urus negara, melemahkan harapan-harapan akan pemajuan agenda reformasi. Beberapa tahun terakhir, efek dari berkuasanya kekuatan oligarki di Indonesia memunculkan dua persoalan bernegara yang serius:
Pertama, maraknya korupsi dan penataan arena ekonomi yang tidak berkeadilan berkontribusi bagi pendalaman ketimpangan sosial. Laporan mutakhir pada 2021, menurut World Inequality Database, menyebutkan pendapatan 10 persen orang terkaya sebelum pajak menguasai 46,9 persen dari agregat pendapatan nasional. Satu persen orang terkaya berpendapatan 17,8 persen dari pendapatan nasional dibandingkan dengan 50 persen masyarakat yang hanya berbagi 12,4 persen dari pendapatan nasional.
Kedua, regresi daulat warga (res-publica) selama lima tahun terakhir berhubungan dengan pelemahan kebebasan berpendapat dan semakin sempitnya ruang bagi perbincangan komunikatif yang bebas.
Pemimpin republik
Dua persoalan di atas adalah peringatan penting di tengah tantangan masa depan yang dihadapi bangsa ini. Seperti diakui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahwa akibat resesi global Indonesia akan menghadapi ancaman jurang resesi ekonomi (Kompas TV, 28 September 2022).
Sementara suguhan di ruang publik tentang kepemimpinan nasional 2024 menunjukkan kedangkalan kualitas perbincangan politik dan begitu kerasnya manuver politik di antara faksi-faksi elite politik untuk memajukan kandidat yang semakin tidak tersentuh oleh dorongan suara publik. Ancaman ombak dan batu karang dalam perjalanan kapal bernegara di Indonesia, tidak diantisipasi dengan perbincangan perihal kualitas-kualitas kepemimpinan nasional yang berbasis intelektualitas, integritas, dan rekam jejak dalam forum perdebatan yang memadai di ruang publik.
Inilah suasana memprihatinkan yang mengingatkan kita kepada fragmen yang tertoreh dalam kanvas lukisan Theodore Gericault. Ketika pemilihan jabatan publik tidak diambil berdasarkan kapasitas dan pertimbangan publik yang mendalam, suatu kecerobohan yang memberi peluang lebih besar bagi kegagalan melewati situasi yang sulit daripada sebaliknya.
Dalam konteks politik di Indonesia persoalan muncul saat belenggu pertautan kepentingan di antara segelintir elite bisnis dan politik untuk memilih pemimpin republik masa depan membatasi kesempatan bagi perluasan perdebatan dan pertimbangan publik. Dalam konteks seperti ini alangkah baiknya kita mengingat rekomendasi dari sosiolog mazhab kritis, Juergen Habermas (1962), dalam karya klasiknya The Structural Transformation of the Public Sphere bahwa terbangunnya ruang publik tempat warga memperbicangkan urusan sosial dan politik yang merdeka membantu kehidupan berbangsa untuk meredam tendensi tiranik kekuasaan negara maupun keserakahan eksploitatif dari kepentingan pasar.
Hendaknya waktu kurang lebih satu tahun ke depan hingga Februari 2024 menuju pemilihan presiden menyadarkan seluruh masyarakat politik dan masyarakat sipil kita. Kemungkinan negeri kita untuk dapat melampaui krisis akan lebih besar apabila kita menjalani berbagai perbincangan dan perdebatan publik yang keras untuk menentukan standar-standar kepemimpinan nasional, daripada membiarkan proses pemilihan calon pemimpin berlangsung dalam ruang-ruang tertutup hasil transaksi politik, konsesi dan adaptasi dengan kepentingan diantara kekuatan-kekuatan oligarki.
Airlangga Pribadi Kusman, Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga