Kasus penculikan Malika Anastasya (6) menjadi alarm sekaligus tantangan bagi negara untuk meningkatkan dan mengoptimalkan pelindungan anak.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kasus penculikan Malika Anastasya (6) menjadi alarm sekaligus tantangan bagi negara untuk meningkatkan dan mengoptimalkan pelindungan anak.
Sebelum kasus Malika, pada Mei 2022 terungkap kasus penculikan terhadap 12 anak di Jakarta Selatan dan Bogor, Jawa Barat. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia menunjukkan, pada 2022 terjadi 28 kasus penculikan anak, meningkat dibandingkan pada 2021 yang sebanyak 15 kasus.
Karena usia dan fisiknya, anak-anak rentan menjadi korban kejahatan, termasuk penculikan dan berbagai macam bentuk kekerasan lainnya. Berbagai regulasi telah dikeluarkan untuk menjamin pelindungan anak, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945, UU Perlindungan Anak, hingga Peraturan Presiden Nomor 101 Tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 15 Juli 2022.
Regulasi-regulasi tersebut merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk memastikan setiap anak mendapatkan pelindungan dari segala bentuk kekerasan. Pelindungan anak juga menjadi prioritas utama di setiap bidang pembangunan sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
Namun semua itu ternyata belum cukup memberikan pelindungan kepada anak-anak. Kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia masih terbilang tinggi. Selama 2021, misalnya, terdapat 2.982 pengaduan kasus kekerasan terhadap anak yang dicatat KPAI, termasuk penculikan. Ini menunjukkan regulasi yang ada belum terbukti optimal dalam menjamin pelindungan anak.
Pelindungan anak memang bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi semua pihak termasuk masyarakat. Regulasi yang ada sejatinya juga mengatur sinergi antar pemangku kepentingan untuk menjamin pelindungan anak. Perpres 101/2022 mempertegas sinergi tersebut dengan memberi mandat kepada 17 kementerian dan lembaga untuk memastikan setiap anak mendapatkan pelindungan dari segala bentuk kekerasan.
Perpres tersebut sekaligus tantangan untuk memperkuat sinergi antar kementerian dan lembaga, serta masyarakat. Kunci penghapusan kekerasan terhadap anak ada pada upaya pencegahan, yang harus dilakukan dari hulu ke hilir. Dan dalam hal ini pelibatan masyarakat sangat penting. Bagaimana meningkatkan kepedulian dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelindungan anak. Bagaimana menciptakan lingkungan yang ramah dan aman bagi anak.
Ancaman terhadap anak tidak selalu dalam bentuk hal-hal yang buruk. Seperti dalam kasus Malika, sebelum kejadian si pelaku sering memberikan makanan kepada keluarga Malika. Sikap masyarakat yang cenderung permisif kepada mereka yang “berbuat baik” seperti itu seringkali mengurangi kewaspadaan.
Kasus kekerasan terhadap anak seringkali juga “tersembunyi” di mata masyarakat yang terbiasa melihat anak-anak “dipekerjakan” orangtua ataupun orang dewasa, baik sebagai pemulung, pengamen, maupun peminta-minta. Ini menjadi bukti bahwa sistem pelindungan anak masih lemah. Sinergi yang semakin baik antar pemangku kepentingan diharapkan akan memperkuat sistem pelindungan anak.