Negara Kesejahteraan dan Politik Solidaritas
Konsep negara kesejahteraan butuh komitmen semua warga. Politik solidaritas mengejawantah tak hanya terkait transparansi dan akuntabilitas, tetapi juga adanya rasa malu kelompok kaya jika mempertontonkan kekayaannya.
Ketika saya bertemu seorang dosen yang mengajar mata kuliah Negara Kesejahteraan di sebuah universitas di Stavanger, Norwegia, dia mengatakan, secara umum perdebatan mengenai konsep negara kesejahteraan sudah harus dianggap selesai.
Semua parameter dan perluasan cakupan negara kesejahteraan sudah terdokumentasi dengan baik, termasuk kalau kita hendak membuat studi perbandingan dengan perjalanan negara kesejahteraan di beberapa negara Eropa lain, baik di Eropa Barat yang liberal-kapitalistis maupun di Eropa Timur yang komunis-sosialistis.
Secara umum untuk menyederhanakan bisa disimpulkan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya sebelum mereka bekerja (sekolah atau menganggur) dan setelah bekerja (pensiun). Tentu banyak benefit lain yang berada di antara spektrum tersebut.
Harus diakui bahwa konsep negara kesejahteraan adalah konsep luhur dan ideal yang merekat komunitas dan bangsa, dan prasyarat utamanya adalah komitmen semua warga yang disampaikan melalui wakil-wakilnya. Harus ada perasaan sebagai sebuah masyarakat yang hidup dalam persamaan sebagai manusia yang bisa hidup berkecukupan walau pada kenyataannya tak akan ada yang disebut sama rata.
Equality tidak harus berarti semua harus sama karena dalam perkembangannya ada yang di atas standar ”hidup berkecukupan”, karena ada yang mendapat lebih karena kerja dan teknologi yang dihasilkannya membuahkan pendapatan dan tabungan.
Baca juga : Negara Kesejahteraan, atau Masyarakat yang Sejahtera?
Baca juga : Tantangan Menguatkan Kesejahteraan Sosial
Mereka yang berpenghasilan lebih secara hukum membayar pajak lebih banyak tentunya. Kondisi ini terjadi dan diterima sebagai sebuah keniscayaan dan tak menggoyahkan konsep negara kesejahteraan itu.
Menjaga semua ini bukan hal yang gampang, dan penjagaan inilah yang oleh dosen yang saya temui sebut membutuhkan ”politik solidaritas”, meminjam ungkapan Peter Baldwin dalam bukunya, The Politics of Social Solidarity: Class Bases of the European Welfare State 1875-1975.
Saya melihat di kebanyakan negara Eropa, khususnya Skandinavia, ”politik solidaritas” ini telah melembaga di masyarakat. Kalau tidak, bagaimana ”negara kesejahteraan” ini bisa selamat?
Akan tetapi, ada fenomena menarik yang terjadi di banyak negara, yaitu apa yang disebut bureaucratic dysfunction, di mana pelayanan kesejahteraan itu mengalami disrupsi atau setidaknya melamban.
Apakah karena birokrasinya tidak efisien atau karena menghabiskan waktu menjalankan compliance yang diharuskan oleh tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Ilustrasi
Di sini ada dilema yang terjadi karena semua birokrasi yang sangat dituntun oleh akuntabilitas pasti akan sangat teliti dan hati-hati sehingga kecepatan pelayanan mengalami disrupsi.
Pada sisi lain, tuntutan masyarakat semakin dipicu oleh keinginan untuk mendapat layanan cepat. Dalam zaman digital sekarang ini, semua orang berasumsi bahwa pelayanan apa pun akan berlangsung cepat, tetapi realitasnya tidak seperti itu. Birokrasi itu memang pada satu sisi harus responsif terhadap kebutuhan masyarakat, tetapi pada sisi lain juga harus tunduk pada kebijakan pemerintah yang mengangkatnya.
Mungkin di negara relatif kecil, birokrasi masih bisa berfungsi efisien, tetapi di negara yang besar, birokrasi sering kali kewalahan.
Fenomena lain yang juga muncul di banyak negara adalah terjadinya apa yang disebut korporatisasi negara sehingga lahirlah yang disebut corporate state. Kompetisi ekonomi global mengharuskan ketangkasan dalam mengelola perekonomian negara dan di sini peran swasta mulai dikedepankan.
Tidak heran jika dalam perjalanannya kita melihat gelombang privatisasi, liberalisasi pasar tenaga kerja, dan reorganisasi institusi publik.
Dikhawatirkan secara perlahan akan ada pergeseran nilai yang membuat investasi sosial akan dinilai dalam kacamata bisnis dan remunerasi juga akan mengalami peningkatan. Lebih jauh pergeseran nilai-nilai akan terjadi dan sangat mungkin pergeseran ini akan menggerus pranata-pranata negara kesejahteraan itu.
Mungkin ini sebuah perspektif yang pesimistis, tetapi sejarah dunia menunjukkan bahwa perubahan negara atau bentuk pemerintahan dan ideologi bukan sesuatu yang mustahil terjadi. Atau setidaknya akan terjadi keberlangsungan ketegangan ideologis yang menimbulkan stagnasi.
Dalam zaman digital sekarang ini semua orang berasumsi bahwa pelayanan apa pun akan berlangsung cepat, tetapi realitasnya tidak seperti itu.
Tanpa menafikan perubahan gagasan negara kesejahteraan sudah sangat mengakar dalam masyarakat Eropa dan di Skandinavia, gagasan ini dilihat sebagai perekat yang menyatukan (integrating factor) seluruh masyarakat yang basisnya ada pada kebudayaan.
Meski ada perbedaan status ekonomi di masyarakat, perbedaan atau kesenjangan itu tak terlihat tajam karena ada semacam hukum yang membuat seseorang malu menonjolkan kekayaannya.
Dalam masyarakat Skandinavia dikenal apa yang disebut The Law of Jante, yang pada esensinya berisi pedoman yang berlaku dalam masyarakat yang kalau disarikan bisa dikatakan masyarakat Skandinavia sebagai masyarakat yang ”egaliter”.
Dengan transparansi dan akuntabilitas yang ada, semua orang bisa mengakses kekayaan siapa saja, bisa tahu berapa pajak yang dibayarkan, jadi bisa dilihat bahwa kekayaan itu tidak sangat tajam.
Menariknya, orang paling kaya pun tak terlihat sangat kaya karena ”solidaritas” (rasa malu) membuatnya tak mau mempertontonkan kekayaannya.
Di sinilah ”politik solidaritas” itu mengejawantahkan dirinya. Karena pajak sangat tinggi, penumpukan kekayaan itu tak segampang di negara yang tidak punya transparansi dan akuntabilitas.
Jadi, meski birokrasi dianggap gemuk dan ”disfungsional”, masyarakat tetap memiliki kepercayaan atau trust terhadap birokrasi negara. Dan ini akan semakin menarik kalau kita kaitkan dengan pemikiran mengenai sustainability yang jadi rujukan masa depan dunia.
Singkat kata, karakter masyarakat yang ”egalitarian” ini membuat gagasan negara kesejahteraan itu berakar kuat dan berkembang dalam artian perluasan dan implementasi yang teratur.
Korporatisasi negara tak membuat komitmen terhadap negara kesejahteraan tersebut luntur. Hanya, konsep egalitarianisme tersebut juga tak statis, dalam artian hal itu sekarang dikaitkan juga dengan kebutuhan riil serta produktivitas seseorang.
Hak kesejahteraan (welfare benefit) bukanlah hak yang secara universal dimiliki warga, melainkan selalu dikaitkan dengan kerja dan pajak yang dibayarkan. Karena itu, semua orang digiring untuk bekerja, baik suami maupun istri.
Konsep ibu rumah tangga dikalahkan oleh kewajiban untuk bekerja karena kuncinya produktivitas, dan hanya di negara yang produktivitasnya tinggi perluasan kesejahteraan itu jadi mungkin.
Di sini anak-anak memang akan menghabiskan waktunya di sekolah dan tempat penitipan. Yang penting sejak kecil mereka juga digiring untuk pada waktunya bekerja. Namun, anak-anak itu semua mendapatkan welfare benefit yang memungkinkan mereka bertumbuh (termasuk sekolah).
Jadi, hak kesejahteraan itu bukan sesuatu yang gratis. Perdebatan mengenai ini sangat panjang, tetapi tak mungkin diuraikan di sini.
Yang penting dicatat di sini adalah gagasan negara kesejahteraan tetap bisa hidup dan bertumbuh karena kuatnya semangat egalitarianisme yang pada intinya juga senapas dengan solidaritas sosial.
Apakah Indonesia memiliki semangat egalitarianisme dan solidaritas sosial? Saya yakin Indonesia memiliki itu. Masyarakat hukum adat kita memiliki semangat itu. Juga banyak produk perundang-undangan kita yang didasarkan pada semangat egalitarianisme dan solidaritas sosial tersebut.
Pekerjaan rumah kita adalah membuat semua itu menjadi sebuah sistem kehidupan bernegara dan bermasyarakat dengan segala mekanisme pelaksanaan yang sistematis, terinci, dan lugas harus menjadi roh yang menjiwai perjalanan kita semua.
Todung Mulya Lubis, Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Norwegia dan Republik Eslandia