Galungan Serba Pertama: Ritus Jadi Dewasa dan Menua
Seperti kata pepatah, ”air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah sebelum akhirnya menuju asal mulanya”.
Oleh
PUTU FAJAR ARCANA
·9 menit baca
Barangkali ini Galungan pertama setelah kami sama-sama dewasa dan juga menjadi tua. Padahal, pertemuan hari berdasarkan penanggalan Hindu-Bali antara Buda, Kliwon, dan Dungulan (Rabu, Kliwon, dan wuku Dungulan) selalu akan terjadi setiap enam bulan sekali. Itu artinya, kami telah melewatkan banyak sekali kesempatan untuk pulang kampung, berjumpa orang tua, para saudara, tetangga dari masa lalu; dan terutama memberi hormat dengan bersembahyang di Pura Merajan, sebagai tempat suci keluarga untuk memuja Tuhan, para dewa, dan leluhur. Aku tidak ingat persis, kapan terakhir anak bungsuku pulang kampung tepat di hari raya Galungan, seperti hari ini, Rabu (4/1/2023), karena tiba-tiba ia sudah hampir berusia 20 tahun. Sementara si sulung sudah melebihi 26 tahun! Meme Ratu.... Ya Tuhan, maafkan kelancangan kami ini.
Sebagai perantau, sebagian besar waktu merayakan Galungan kami lakukan di perantauan; sering kali di Jakarta dan Tangerang Selatan, beberapa waktu di Malang, Surabaya, dan kemudian Yogyakarta. Bahkan, sebagai jurnalis terkadang aku merayakan Galungan sendirian dalam perjalanan ke kota-kota di Tanah Air, juga beberapa kali berada di kota asing dan negeri asing, nun jauh di sana. Sebagai sesama orang Indonesia, coba dehpelan-pelan kita rasakan kembali, jika harus merayakan hari raya sendirian, jauh dari sanak-saudara, jauh dari keceriaan, jauh pula dari suguhan kuliner khas yang hanya dibuat di hari suci itu.
Apa yang berdesir dalam dadamu?
Aku selalu merasa terasing, bahkan oleh diriku sendiri. Ada simpul-simpul peristiwa yang tiba-tiba mendesak untuk diingat sebagai kegembiraan yang getir. Ya, bagaimana tidak, aku hanya berhadapan muka dengan Tuhanku di kamar kerja, sementara kegembiraan hari raya tertinggal jauh di kampung halaman. Saat-saat semacam itu, aku memahami mengapa peristiwa mudik terasa begitu istimewa. Bisa memahami, mengapa banyak orang berjuang dengan segala cara agar bisa mudik. Bahkan, saat-saat pandemi Covid-19 sedang merebak ganas dua tahun terakhir, tidak menghalangi banyak orang untuk melakukan ”ritus” mudik.
Saat-saat semacam itu, aku memahami mengapa peristiwa mudik terasa begitu istimewa.
Mudik tak hanya soal merayakan hari raya memang, tetapi dia sudah menjadi ritus manusia Asia sejak berabad-abad silam. Setiap tahun baru Imlek, bangsa China selalu melakukan ritus mudik secara besar-besaran. Para perantau jauh-jauh hari sudah bersiap pulang kampung untuk bertemu orang-orang tercinta, sementara para keluarga bersiap menyambut anggota mereka dengan berbagai persiapan, terutama kuliner khas. Pernah kutulis, soal seorang ayah mencari akar ginseng di tengah hutan di bawah tumpukan salju tebal seorang diri, ”hanya” untuk menjamu anggota keluarganya yang akan pulang kampung saat Imlek nanti. Ada pula seorang remaja perempuan yang beranjak dewasa dan ingin membuktikan ia telah siap mengelola rumah tangga dengan belajar memasak domba terbaik untuk menjamu anggota keluarga yang mudik. Itu hanya sebagian kecil dari begitu banyak cara, tradisi, dan perilaku dari manusia dalam mengisi momen hari raya.
Menurut beberapa catatan, mudik di Nusantara telah dimulai sejak era Majapahit, yang kekuasaannya sampai ke Semenanjung Malaka dan Sri Lanka. Catatan lain menyebut, mudik telah dimulai sejak 1390, ketika masa raja-raja Samudera Pasai. Kedua catatan ini memiliki angka tahun yang berdekatan, di sekitar abad ke-14 Masehi.
Jika ditelusur dari asal-usul katanya pun, ”mudik” berasal dari ”udik” atau hulu sungai, sebagai lawan kata dari ”ilir” atau hilir sungai. Ketika kata ”udik” berubah menjadi ”mudik”, maka ia telah menyertakan sebuah proses berupa ritus perjalanan seorang perantau menuju kembali ke hulu asal-usulnya, di mana ia pertama kali mencecap air, menginjak tanah, dan menghirup udara. Ada keterikatan yang kasatmata seperti diucapkan oleh pepatah Melayu: di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung atau air yang mengalir akan selalu kembali ke asal mula.
Masalahnya, bagaimana dengan anak-anak yang lahir di perantauan? Bagiku, kebetulan tak jadi masalah benar karena kedua anakku memang lahir di kampung halaman. Ini juga berkah yang berbeda, keduanya seolah membawa takdir untuk selalu terikat dengan kampung halaman para leluhurnya di Desa Lelateng, Negara, sebuah kota paling dekat dengan tanah Jawa. Kami bahkan menyebut Jawa sebagai Gunung Semulung, karena bisa melihat gugusan pegunungan di selatan Jawa, yang paling dekat dengan kota kami. ”Itu Gunung Semulung, jawe itu,” kata Bapak selalu, jika kami sedang melaut bersama. Sebutan jawe tak perlu diartikan rigid sebagai tanah Jawa, tetapi lebih berupa ungkapan untuk menandai negeri seberang, negeri di luar pulau kami, Bali.
Kami punya masalah lain, salah satu di antaranya bagaimana rumitnya merancang pulang kampung secara kompak. Sebagai penghayat perilaku kaum urban, sehari-hari kami punya kesibukan yang berbeda. Ya karena pekerjaan, ya tuntutan hidup, ya pelajaran, dan berbagai urusan di seputar aktivitas keseharian orang kota. Kenyataan itu diperparah oleh kondisi di mana hari raya Galungan tidak pernah termasuk dalam kalender hari libur nasional. Namun, Pemerintah Provinsi Bali punya kebijakan sendiri untuk memerahkan tanggal pada kalender agar mereka yang memeluk Hindu Bali, bisa merayakan Galungan secara lebih khusyuk.
Lagi-lagi masalahnya, kami tidak termasuk dalam lingkaran yang punya hak atas pemerahan tanggal kalender saat hari raya Galungan. Persembahyangan baru bisa kami lakukan selepas jam kerja kantor. Ada simplifikasi yang begitu tajam sehingga pendar-pendar energi yang dipancarkan penjor Galungan dari setiap jalanan di kampung halaman tidak lagi bisa kami hayati secara baik. Tidak lagi ada keriuhan orang-orang hilir mudik bersembahyang ke berbagai pura di sekitar desa.
Terkadang hal yang lebih menyesakkan dada, kami pun jarang bisa kompak bersembahyang di pura karena kepulangan jam kantor bisa berbeda-beda untuk setiap anggota keluarga. Itulah yang menyebabkan aku sering beropini bahwa Galungan tak lain seperti masa lalu yang tersisa. Ia hanya kepingan kecil dari konstruksi rumit yang membentuk sosokku sebagai pribadi. Galungan terselip di dasar paling sunyi dari seluruh perjalanan hidupku sebagai insan yang sejak lahir telah mewarisi darah dan tradisi para leluhur orang Bali.
Rupanya, segala sesuatunya mesti menunggu aliran hidup yang pelan-pelan jadi seperti ”takdir”, walau tidak harus berarti mem-pasif-kan, eksistensiku sebagai manusia. Ada usaha kami, istri dan anak-anak, sebagai keluarga untuk berusaha pulang kampung tepat di hari raya Galungan. Usaha yang hampir saban enam bulan, sesuai dengan jatuhnya hari raya Galungan, terus kami lakukan, dan barulah kejadian ketika tahun telah berganti dari 2022 menuju 2023. Kami bisa berkumpul di Lelateng, pertama-tama untuk merayakan pergantian tahun. Namun, yang lebih penting adalah mensyukuri 85 tahun, ibu dan mbahkami, Ni Nyoman Loten. Ibu kini menjadi sosok tertua dalam pohon keluarga besar kami. Bapak sudah berpulang tahun 2013. Saudara-saudaranya juga telah lama meninggalkan kami. Kini memang hanya tinggal ibu, tempat kami mencari alasan lain untuk pulang kampung.
Di luar soal itu, kepulang-kampungan kami kali ini jauh lebih terasa penting karena tepat pada 1 Januari 2023, aku tak lagi berstatus sebagai jurnalis Kompas, setelah 28 tahun dan 6 bulan! Aku mengambil tawaran untuk mempercepat pensiun sebagai karyawan; memilih membebaskan diri dari kewajiban rutin, yang harus dikerjakan seorang redaktur secara profesional. Toh begitu, ketika kau membaca ePILOG ini, aku masih hadir sebagai jurnalis atau penulis yang takkan mungkin dipensiunkan oleh ikatan-ikatan formal perkantoran. Sudah lama, menulis menjadi kebutuhan dasarku dalam mengomunikasikan gagasan, keresahan, ketidakadilan, kesemena-menaan, mengutuk kebencian, melawan ketamakan, melawan diskriminasi, dan tentu mengalirkan keteduhan dan kedamaian. Sekali waktu memberi refleksi, mulatsarira, supaya hidup tak melulu tentang take and give, transaksional. Bahwa hidup juga soal berbagi, saling memperhatikan, dan menikmati kelimpahan kasih dari orang-orang terdekat kita.
Jadi, keputusan mengambil pensiun cepat telah memicu rentetan peristiwa lain, yang selama ini nyaris selalu gagal kami rengkuh. Bahkan, entahlah sekali lagi ini takdir, garis waktu, atau belokan dari plot hidup, tiba-tiba kami sekeluarga menemukan hari yang tepat untuk melakukan upacara potong gigi (metatah) anak-anak. Bahkan, kami sudah melakukan sesi foto pre-ritual di beberapa spot indah di rumah dan di pantai. Waktu pelaksanaan upacara sudah diputuskan pada bulan April 2023. Tentu semua tidak melulu berupa garis yang dikendalikan oleh sesuatu yang kosmis, tetapi buah inspirasi dari keadaan pensiun cepat tadi.
Hal terdekat yang akhirnya kami raih adalah, hari ini kami sekeluarga berkumpul untuk bersembahyang bersama di beberapa pura sekitar desa, lalu diakhiri dengan memuja di pura keluarga. Pemujaan di pura keluarga sangat penting dalam tradisi kehinduan di Bali. Ritual ini tidak saja tentang memuja Tuhan, para dewa, tetapi adalah menghormati para leluhur yang menurunkan pengetahuan, garis keturunan, tradisi, serta moral-etika, yang kemudian kami amalkan dalam kehidupan sehari-hari kami kini.
Dan kau tahu, perayaan itu baru bisa kami lakukan setelah anak-anak beranjak dewasa dan kami berdua, Can dan Joan, mulai menua. Setidaknya merasa cukup tua jika dibandingkan dengan rekan-rekan sejawat kami di media ini. Begitu bukan, para editorku? Ehehe....
Pagi-pagi, saat aku menyelesaikan tulisan ini, tumbuh semacam kesadaran bahwa keberanian mengambil keputusan telah menjadi pemicu munculnya rentetan peristiwa, yang sangat mungkin tak pernah mampu kau raih dalam hidupmu. Aku tak mengingkari bahwa harus ada yang kau korbankan untuk itu. Namun, bukankah pengorbanan yang dilakukan dengan pikiran baik akan selalu mendatangkan kebaikan pula. Setidaknya begitu ajaran karma yang kami percaya. Seperti kata pepatah, ”air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah sebelum akhirnya menuju asal mulanya”.
Namun, bukankah pengorbanan yang dilakukan dengan pikiran baik akan selalu mendatangkan kebaikan pula.
Jika kampung halaman dianggap sebagai tempat yang lebih rendah, ke situlah kini kami mengalir. Kami kini bisa kembali mencecap harum bunga padi di sawah, mendengar lenguh sapi dan ceciap anak-anak ayam, mencium aroma kotoran kerbau, mendengar anak-anak yang berisik di pos kamling atau para orang tua yang selalu tersenyum meski hidupnya berat, tetangga masa lalu yang semringah, adik-adik yang rindu kakaknya, ibu yang bertambah sehat meski semakin berusia, serta rumah asal-muasal yang kembali bergairah menyambut para penghuninya.
Semuanya seolah menjadi ritus baru, sebuah rentetan momentum yang tersambung dari pengumpulan cita-cita dan keinginan yang sudah lama kami pendam. Justru momen besar itu bisa hadir karena keberanian kami dalam mengambil keputusan. Barangkali itulah buah manis yang kami petik dari keadaan menjadi dewasa dan menua bersama. Sekali lagi, anak-anak beranjak dewasa, kami menua dalam usia dan pertimbangan-pertimbangan pun semakin menjadi matang. Bagaimana denganmu, kawan? Baiklah, kami pamit untuk bersembahyang dulu ya....
A no bhadraah kratavo yantu visvato.
adabdhaaso aparitasa udbhidah.
deva no yatha sadamid vrdhe asan.
aprayuvo raksitaaro dive dive.
(Yajurveda XXV.14)
(Semoga pikiran-pikiran mulia, gagasan-gagasan yang menyelamatkan dan menguntungkan, datang dari semua arah kepada kami. Para Dewata setiap hari menurunkan anugerah yang bermanfaat bagi kemajuan hidup kami).
Selamat merayakan hari raya Galungan 2023. Mohon maaf lahir dan batin.