Menerbitkan perppu memang cepat, tetapi mempunyai risiko politik yang juga besar. Namun, pertanyaan hakiki juga pantas diajukan, yaitu sebenarnya Perppu Cipta Kerja itu diterbitkan untuk siapa?
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
NINA SUSILO/KOMPAS
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, dan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiarief mengumumkan Perppu Cipta Kerja setelah bertemu Presiden sekitar jam 10.15 sampai 10.45 di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (30/12/2022)
Presiden Joko Widodo menjawab putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU Cipta Kerja, yang dinilai inkonstitusional, dengan menerbitkan Perppu No 2/2022.
Dalam putusan uji formil terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, MK menyatakan UU itu inkonstitusional bersyarat. Pemerintah harus memperbaiki substansi UU Cipta Kerja dalam waktu dua tahun sejak putusan MK dibacakan. Pembahasan perbaikan UU Cipta Kerja perlu dilakukan dengan melibatkan partisipasi publik. Batas akhir perbaikan adalah November 2023.
Terlepas ada atau tidak kaitan dengan putusan uji materi UU Cipta Kerja, hakim konstitusi pilihan DPR, Aswanto, ditarik oleh DPR sebagai hakim konstitusi. Putusan DPR itu juga bermasalah.
Pemerintah mengambil jalan merespons putusan MK dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang- undang (perppu) yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 30 Desember 2022. Publik mempunyai ekspektasi rasional, pembahasan perbaikan UU Cipta Kerja, melalui mekanisme pembahasan RUU di DPR. Namun, pemerintah mengambil jalan lain. Sontak kritik bermunculan dari berbagai pihak.
NINA SUSILO/KOMPAS
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, dan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiarief mengumumkan Perppu Cipta Kerja setelah bertemu Presiden sekitar jam 10.15 sampai 10.45 di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (30/12/2022)
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, dengan terbitnya perppu sekaligus menggugurkan label inkonstitusional bersyarat yang disematkan MK pada UU Cipta Kerja. Jawaban pemerintah atas MK terasa seperti ada adu kuat antarlembaga negara. Pilihan frasa ”perppu menggugurkan label inkonstitusional bersyarat” bisa menimbulkan dampak psikologis politis.
Presiden berhak menerbitkan perppu dalam hal ihwal kegentingan memaksa. Sebelum menerbitkan Perppu No 2/2022, Presiden Jokowi juga telah menerbitkan Perppu tentang Pemilu. Penilaian ”kegentingan memaksa” merupakan pertimbangan subyektif Presiden yang akan diobyektifkan oleh DPR jika disetujui. MK telah menafsirkan frasa ”kegentingan memaksa” sebagai kebutuhan mendesak menyelesaikan masalah hukum secara cepat; UU belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum; kekosongan hukum tak bisa diatasi dengan pembahasan UU mekanisme biasa.
Selanjutnya, Presiden akan menyerahkan Perppu No 2/2022 kepada DPR untuk dibahas. Ada dua pilihan bagi DPR: menyetujui perppu atau menolak perppu. Jika DPR menyetujui, Perppu No 2/2022 akan menjadi UU. Sebaliknya, jika DPR menolak, perppu itu akan gugur, dan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional oleh MK akan berlaku lagi.
FAKHRI FADLURROHMAN
Suasana galangan kapal di Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, Senin (26/12/2022).
Liku-liku permainan kekuasaan politik dalam pembuatan UU akan bermain dalam prosedur demokrasi. Secara teoretis, DPR yang sepenuhnya dikontrol pemerintah akan menyetujui Perppu No 2/2022. Namun, tahun 2024 saat pemilu presiden akan digelar dan pemilu legislatif akan dilangsungkan, bisa saja hitung-hitungan elektoral berbeda.
Menerbitkan perppu memang cepat, tetapi mempunyai risiko politik yang juga besar. Namun, pertanyaan hakiki juga pantas diajukan, yaitu sebenarnya Perppu Cipta Kerja itu diterbitkan untuk siapa? Dan, setelah perppu, ada apa?