Resolusi Asa
Sebagai makhluk sosial, resolusi tahun baru idealnya asa sosial untuk Indonesia yang lebih baik, berpijak pada realitas yang sudah dan belum tercapai.
Berbeda dengan ”make a wish” saat ulang tahun, resolusi tahun baru dilakukan dalam garis waktu yang sama secara universal.
Semua orang dalam resolusinya mengharapkan hal-hal baik terwujud dalam kehidupan pribadinya di tahun yang baru.
Dalam The Revolution of Hope (1968), Erich Fromm memvisikan pengharapan untuk masyarakat modern yang kian bergantung pada teknologi untuk tak kehilangan sifat humanisnya.
Pengharapan ini relevan ketika kini otomatisasi dan robotisasi di negara berkembang yang sebagian besar penduduknya masih miskin dan berpendidikan rendah menimbulkan problem pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengangguran.
Menurut Fromm, pengharapan yang berorientasi dan mempromosikan hidup merupakan sebuah unsur penentu perubahan sosial ke arah masyarakat modern yang humanis.
Revolusi pengharapan pun tak ada kaitannya dengan cara-cara revolusioner karena kekerasan bertentangan dengan hidup itu sendiri. Mewujudkan pengharapan dengan jalan kekerasan hanya ekspresi keputusasaan dan kekosongan hidup.
Mewujudkan pengharapan dengan jalan kekerasan hanya ekspresi keputusasaan dan kekosongan hidup.
Anatomi asa
Pengharapan sesungguhnya paradoksal. Obyek yang diharapkan belum ada, tetapi potensial untuk ada. Alih-alih kemungkinan hipotetis atau kemungkinan dalam statistik, obyek pengharapan adalah kemungkinan yang terjangkau (real possibility) dalam kapasitas yang bersangkutan untuk diwujudkan.
Resolusi tahun baru mestinya tergolong possible (bukan probable), bisa diikuti langkah-langkah kecil dan mampu laksana. Itu bukan dream (impian), juga bukan wish (keinginan belaka). Orang dengan banyak keinginan (termasuk juga yang konsumtif) atau orang yang bercita-cita tinggi (idealis) tak mesti hidup lebih berpengharapan.
Fromm membedakan antara pengharapan pasif dan aktif, dua pengertian yang terkandung dalam kata Spanyol esperar (menanti, berharap). Penantian (pengharapan pasif, pasrah) hanya menunggu tibanya masa depan untuk menghadirkan obyek yang diharapkan, tanpa berbuat apa-apa untuk menghadirkan perubahan tersebut.
Masa depan dalam pengharapan pasif adalah proyeksi masa kini yang di dalamnya orang hanya duduk berpangku tangan, tak berdaya menghadirkan perubahan, bergantung penuh pada masa depan, mistifikasi waktu sebagai suatu kekuatan. Tahun baru pun diharapkan secara ajaib mewujudkan resolusi kita.
Tidak begitu dengan hidup dengan pengharapan aktif, antusias dan tegang untuk obyek yang diharapkan, tetapi tak menghalalkan segala cara untuk memaksakan perubahan.
Orang berpengharapan pun siap kecewa karena perubahan itu memprasyaratkan faktor-faktor psikologis, ekonomis, sosial, dan kultural. Sudah kodratnya manusia seperti penegasan Qohelet, ”Selama hayat di kandung badan, selama itu ada harapan (Pkh. 9:4, BIMK).”
Baca juga :Menutup Tahun dengan Kesadaran
Asa untuk Indonesia
Dalam dunia politik, resolusi adalah kebulatan pendapat yang disepakati suatu sidang sebagai tuntutan kepada pihak lain. Lembaga yang paling sering mengeluarkan resolusi adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sebagai makhluk sosial, resolusi tahun baru idealnya asa sosial untuk Indonesia yang lebih baik, berpijak pada realitas yang sudah dan belum tercapai.
Sebagaimana dunia sedang dilanda cuaca ekstrem yang tak menentu, awan gelap resesi global bergelayut. Belum ada tanda-tanda konflik geopolitik Rusia-Ukraina bakal mereda meski sudah berimbas krisis pangan dan energi. Malah ketegangan geopolitik di belahan dunia lain meningkat. Satu per satu negara berpenghasilan rendah terperangkap utang dan kemiskinan.
Patut disyukuri kerja pemerintah dan solidaritas internasional serta partisipasi seluruh rakyat terkait penanganan pandemi sehingga kita secara ekonomi pulih lebih cepat. Sementara itu, sampai sekarang masih ada negara besar yang berkutat dengan lonjakan kasus infeksi Covid-19. Pandemi kali ini bisa tertangani lebih cepat berkat kemajuan sains vaksin.
Namun, tampak juga bahwa kita masih tertinggal dalam sains vaksin dibandingkan dengan beberapa negara berkembang lain, sebagaimana juga tertinggal dalam riset bahan baku obat dan produk alat kesehatan. Kontroversi medis yang melibatkan figur high profile berakhir begitu saja, tanpa debat dan kesimpulan ilmiah.
Pejabat kita terlalu berani bicara bidang di luar tugas pokoknya. Sebagiannya itu cerminan cara berpikir bangsa yang lebih berbasis keyakinan daripada sains. Politik pun ikut mengendalikan struktur organisasi sains nasional.
Kita bersyukur atas keberanian pemerintah melakukan hilirisasi nikel dengan menghentikan ekspor bahan mentahnya, berlanjut dengan bauksit tahun ini. Sebelum ini, sudah ada langkah besar kepemilikan saham mayoritas pemerintah pada perusahaan tambang yang tadinya dikuasai asing.
Namun, itu belum berarti kekayaan alam Indonesia ”dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kita belum tuan di negeri sendiri karena ketergantungan tinggi pada investasi asing terkait dengan teknologi pengolahan.
Rakyat tidak melihat keprihatinan mendalam di lingkungan elite politik terhadap daya rusak korupsi yang sudah merasuk lingkungan penegak hukum di level tertinggi.
Kita bersyukur kondisi perekonomian Indonesia relatif terjaga. Namun, sinyal gelombang PHK di dalam negeri tak terhindari. Dengan kenaikan harga komoditas pokok, menurun pula daya beli masyarakat menengah ke bawah. Angka kemiskinan akan naik. Kualitas hidup sebagian besar rakyat akan menurun. Akhirnya, kita tidak menikmati bonus demografi.
Pragmatisme negara
Masih tampak kecenderungan pragmatisme bernegara. Penguasa lebih prihatin dengan citra buruk negara karena banyak pejabat korup terjaring operasi tangkap tangan daripada memberi sanksi berat kepada pejabat yang tak mengisi laporan harta kekayaan penyelenggara negara.
Rakyat tidak melihat keprihatinan mendalam di lingkungan elite politik terhadap daya rusak korupsi yang sudah merasuk lingkungan penegak hukum di level tertinggi.
Begitu banyak tantangan dan ketidakpastian di tahun yang baru, patutlah asa besar untuk Indonesia. Jangan sampai tahun sudah berganti, tetapi seperti tutur Qohelet, ”Apa yang pernah ada akan ada lagi dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari (Pkh. 1:9).”
Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta