Memahami dan Menyikapi Informasi Ilmiah
Beragam kasus misinformasi semakin menyadarkan kita semua akan pentingnya penguatan literasi sains bagi publik. Sebagai lembaga pemerintah untuk riset dan inovasi BRIN pihak yang turut bertanggung-jawab atas hal ini.
Polemik prediksi badai dahsyat akhir-akhir ini menyadarkan kita semua akan pentingnya peningkatan literasi iptek atau sains di publik.
Baik di kalangan penggiat sains, pengambil kebijakan, media massa, maupun masyarakat pada umumnya, literasi iptek menjadi sangat penting.
Di tengah era digital saat ini, informasi sains dengan mudah didapat. Tetapi tanpa diimbangi kapasitas ilmiah yang memadai, publik kesulitan untuk memilah informasi sains tersebut sahih.
Publik juga berpotensi menerima informasi yang sifatnya masih parsial, atau bahkan hanya pseudo-sains yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Resep paling mudah adalah memastikan sumber informasi berasal dari kanal resmi otoritas yang berwenang.
Sesuai regulasi yang berlaku di Indonesia, informasi dan prediksi cuaca dan iklim merujuk kepada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Informasi kebencanaan merujuk ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk non-nuklir dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) untuk nuklir.
Informasi kebakaran hutan merujuk ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Informasi kesahihan obat dan pangan merujuk ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Informasi keamanan siber merujuk ke ke Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Informasi soal alat kesehatan merujuk ke Kementerian Kesehatan. Dan seterusnya.
Baca juga : Tiada Badai, Hujan Ringan hingga Sedang Saja di Jabodetabek
Indonesia telah memiliki regulasi yang jelas terkait otoritas informasi publik, dan menjadi tugas kita bersama untuk memperkuat pemahaman publik.
Bagaimana dengan informasi sains yang disampaikan akademisi, termasuk periset di bidangnya? Akademisi memiliki kebebasan akademis dan “otoritas keilmuan” sesuai bidangnya di dalam komunitas ilmiah yang terkait. Akan tetapi, hal itu tak memberikan otoritas atas informasi sains di ruang publik yang memiliki dampak dan konsekuensi hukum yang luas.
Misinformasi dan literasi sains
Dengan pemahaman sederhana di atas, publik, dan khususnya media, dapat dengan mudah memilah berbagai informasi sains yang berseliweran, apalagi di dunia maya. Sehingga, dengan diminimalkan “kehebohan” seperti kasus “prediksi” megathrust yang sebenarnya disampaikan oleh seorang periset di forum ilmiah komunitasnya, bukan di ruang publik, beberapa tahun silam.
Demikian juga euforia publik terkait berbagai alat atau terapi kesehatan “temuan anak bangsa” yang belum teruji sesuai regulasi di BPOM dan Kemenkes. Selain itu, tentu kehebohan terakhir atas prediksi badai dahsyat yang sempat menjadi dasar pengambil kebijakan.
BRIN memiliki banyak periset mumpuni di hampir semua bidang keilmuan. Tetapi bukan berarti BRIN sebagai lembaga memiliki otoritas keilmuan di semua bidang itu, karena otoritas keilmuan dimiliki para periset BRIN sesuai kepakarannya.
Otoritas informasi sains di ruang publik yang dimiliki BRIN hanya informasi benda jatuh dari angkasa sesuai UU No 21/2013 tentang Keantariksaan.
Tentu ini tidak berarti BRIN tidak memiliki tanggung-jawab dan berkontribusi atas berbagai informasi publik di atas. Pada sebagian besar kasus, BRIN di belakang layar menjadi pemasok data utama berbagai informasi itu, termasuk untuk kebakaran hutan, cuaca, iklim, kebencanaan, kesehatan, nuklir dan lainnya. Lebih jauh, BRIN menjadi pemasok dan think-tank berbagai teknologi pengolah untuk menghasilkan beragam informasi publik tersebut.
Beragam kasus misinformasi semacam ini harus semakin menyadarkan kita semua akan pentingnya penguatan literasi sains bagi publik. Sebagai lembaga pemerintah untuk riset dan inovasi BRIN tentu menjadi salah satu pihak yang bertanggung-jawab atas hal ini. Khususnya BRIN yang sedang bekerja keras untuk membenahi, tak hanya ekosistem riset dan inovasi, tetapi juga meningkatkan standar dan norma serta budaya ilmiah di kalangan periset secara nasional.
Salah satu langkah penting, BRIN sejak awal berdiri telah melihat pentingnya penguatan literasi sains di kalangan periset, tak hanya di lingkungan BRIN tetapi juga secara nasional.
Penguatan klirens etik
Salah satu langkah penting, BRIN sejak awal berdiri telah melihat pentingnya penguatan literasi sains di kalangan periset, tak hanya di lingkungan BRIN tetapi juga secara nasional. Salah satunya, penguatan mekanisme klirens etik yang akan segera dilansir di 2023.
Mekanisme klirens etik seyogianya adalah instrumen standar di komunitas ilmiah untuk memastikan suatu aktivitas riset sejak awal sampai akhir proses mematuhi dan menghormati hak berbagai pihak serta regulasi terkait. Proses ini mencakup seluruh aspek pelaksanaan riset, mulai dari saat pengambilan data, pemrosesan data, sampai dengan diseminasi hasil.
Klirens etik tidak hanya melindungi obyek riset (manusia, hewan coba, dan lain-lain), tetapi juga melindungi periset itu sendiri. Sehingga, pemeo bahwa periset boleh salah tetapi tidak boleh bohong dapat ditelusuri balik berbasis kepatuhan pada klirens etik.
Sayangnya di Indonesia selama ini pelaksanaan klirens etik terbatas pada topik-topik riset tertentu. Padahal, seyogianya klirens etik harus dilakukan untuk semua topik riset, meski nanti pada akhirnya sebagian besar topik riset dapat diberikan klirens secara otomatis tanpa melalui Komite Klirens Etik di bidang terkait.
Untuk itulah dalam waktu dekat BRIN akan segera merilis regulasi klirens etik sesuai amanat UU No 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek), serta sistem informasi pendukungnya untuk memastikan pelaksanaan klirens etik secara menyeluruh tetapi tanpa harus menambah beban administrasi para periset.
Laksana Tri HandokoKepala Badan Riset dan Inovasi Nasional