Tiada Badai, Hujan Ringan hingga Sedang Saja di Jabodetabek
Hasil pengamatan hujan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika pada Rabu (28/12/2022) menunjukkan, hujan intensitas ringan hingga sedang terpantau di sekitar Jabodetabek. Tidak ada hujan ekstrem ataupun badai.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil pengamatan hujan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika pada Rabu (28/12/2022) menunjukkan, hujan intensitas ringan hingga sedang terpantau di sekitar Jabodetabek. Hal ini menguatkan perkiraan mereka sebelumnya sekaligus membantah prediksi akan adanya hujan ekstrem dan badai.
”Pengamatan sampai pukul 14.00, terpantau hujan dengan intensitas sedang di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara serta hujan dengan intensitas ringan di Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Depok, dan Bogor,” kata Kepala Pusat Meteorologi, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Fachri Radjab.
Fachri mengatakan, hingga kini tidak ada indikasi hujan ekstrem di Jabodetabek. ”Masih kita pantau terus. Kemungkinan akan ada peningkatan hujan pada malam menjelang dini hari,” ujarnya.
Untuk daerah di luar Jabodetabek, menurut Fachri, yang juga perlu lebih waspada terhadap peningkatan hujan adalah sebagian besar Banten, Jawa Barat bagian tengah dan utara, Jawa Tengah bagian utara, Yogyakarta bagian utara, dan Jawa Timur bagian selatan.
Menjelang pergantian tahun, intensitas hujan di Jabodetabek memang cenderung meningkat.
Sebelumnya, Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto, Selasa (27/12/2022), juga telah menyampaikan, prakiraan cuaca pada 28 Desember 2022 pada umumnya adalah hujan, tetapi bukan badai sebagaimana disampaikan peneliti Badan Riset Inovasi dan Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, di media sosial.
Guswanto mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dan terus memperbarui informasi melalui kanal-kanal resmi BMKG. Selain itu, dia juga meminta masyarakat mewaspadai segala potensi bencana hidrometeorologi di pengujung tahun.
Menurut berbagai parameter meteorologis, ujar Guswanto, peningkatan curah hujan dengan intensitas lebat hingga sangat lebat justru berpotensi terjadi pada 30 Desember 2022. Hujan dengan intensitas sedang hingga lebat bahkan sangat lebat masih berpotensi terjadi hingga awal Januari 2023.
Istilah badai
Kepala SubKoordinator Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto menjelaskan, karena berada di daerah tropis, Indonesia sebenarnya relatif aman dari badai tropis karena pergerakannya cenderung menjauhi garis ekuator sesuai efek Coriolis.
”Di Indonesia yang lebih mungkin terjadi adalah hujan badai, yang bisa dipahami sebagai hujan lebat yang disertai angin dan kilat atau petir. Kalau badai biasanya identik dengan siklon atau pusaran angin yang besar dan ini yang sangat jarang terjadi di Indonesia,” kata dia.
Efek Coriolis menyebabkan setiap benda yang bergerak di planet yang terus berotasi ini berbelok ke kanan atau searah jarum jam di belahan bumi utara dan ke kiri atau berlawanan arah jarum jam di belahan bumi selatan. Efek ini nilainya melemah, bahkan hampir nol, jika mendekati ekuator. Ini menyebabkan tidak ada efek Coriolis di tepat garis khatulistiwa dan dalam teori dinamika fluida atmosfer tidak akan terjadi efek puntiran pada gerak angin, seperti siklon di atas ekuator.
Karena efek Coriolis ini, menurut Siswanto, siklon tropis umumnya terbentuk di garis lintang tinggi, di atas 10 derajat. Di sisi lain, siklon tropis mendapatkan energinya melalui penguapan air dari permukaan laut dalam jumlah besar yang akan melepaskan panas sehingga menciptakan konveksi atau udara naik. Ini hanya terjadi di perairan hangat, minimal suhu air laut harus 26 derajat celsius hingga di kedalaman 50 meter.
Siklon tropis Seroja yang melanda Nusa Tenggara Timur pada 2021, menurut dia, merupakan anomali. Umumnya Indonesia hanya terimbas ekor siklon.
Pergantian tahun
Siswanto mengatakan, menjelang pergantian tahun, intensitas hujan di Jabodetabek memang cenderung meningkat. Saat pergantian tahun 2019/2020 bahkan terjadi hujan ekstrem yang memicu banjir besar. Curah hujan maksimal saat itu terjadi di Bandara Halim Perdanakusuma, mencapai 377 milimeter (mm) per hari, merupakan yang tertinggi dalam catatan sejarah di Jakarta.
Penelitian Sandro W. Lubis dari Pacific Northwest National Laboratory, Amerika Serikat dan tim yang dipublikasikan di jurnal Geophysical Research Letter pada November 2022 menyebutkan, faktor meteorologis yang memicu hujan ekstrem pada pergantian tahun 2019/2020 adalah adanya arus lintas ekuator (cross equatorial northerly surge/ CENS) yang kuat yang mendorong terbentuknya daerah pertemuan massa udara antartropis (intertropical convergence zone/ITCZ).
Faktor lain, menurut Siswanto, yang juga turut dalam studi ini, adanya faktor Madden Julian Oscillation (MJO) dan perairan sekitar Indonesia bagian barat lebih hangat dari sekitarnya. ”Peluang terjadinya hujan ekstrem di pergantian tahun tetap ada, tetapi dalam catatan saya, justru hujan ekstrem dan banjir besar Jakarta tidak terjadi pada saat aktifnya La Nina seperti saat ini,” kata dia.
Siswanto mengatakan, sesuai tren iklim, puncak musim hujan di Jakarta umumnya terjadi pada Desember-Februari akibat pengaruh penguatan monsun Asia. Terjadinya hujan ekstrem pada saat penguatan monsun Asia ini biasanya dibentuk dari pola cuaca berupa, antara lain, seruakan dingin (cold surge). Variasi ekstrem lainnya berasal dari MJO yang bergerak dari barat ke timur, juga tekanan rendah barat daya Banten dan suhu permukaan laut sekitar.