Indonesia dan Wajah Hukum Laut Dunia
Prinsip negara kepulauan pada dasarnya menyatakan bahwa negara yang terdiri dari banyak pulau dengan konfigurasi tertentu seperti Indonesia, memiliki kedaulatan atas ruang laut di antara pulau-pulaunya.
Indonesia adalah bangsa yang besar dengan kawasan dominannya berupa laut.
Kita umumnya juga paham, laut kita yang luas hari ini adalah hasil perjuangan yang tidak singkat. Ketika merdeka, laut wilayah Indonesia hanya tiga mil dari garis pantai, sebagai warisan dari aturan Belanda.
Akibatnya, ada ruang laut di antara pulau-pulau kita yang merupakan laut bebas. Sembarang pihak bisa masuk dan beraktivitas serta melakukan pemanfaatan sumber daya di ruang itu. Hal ini negatif dampaknya bagi Indonesia.
Perdana Menteri Djuanda, dibantu Chaerul Saleh dan akademisi muda Mochtar Kusumaatmaja, kemudian mendeklarasikan bahwa laut di antara pulau- pulau Indonesia adalah bagian tak terpisahkan dari Indonesia. Itu yang kemudian kita kenal dengan Deklarasi Djuanda pada 1957. Ini adalah babak awal dari perjuangan Indonesia untuk menguasai laut yang luas. Usaha ini termasuk perintis di dunia.
Deklarasi ini tentu saja tidak langsung disetujui. Perjuangan untuk meyakinkan dunia sangat panjang dan melelahkan. Indonesia, diwakili diplomat ulung seperti Mochtar Kusumaatmadja, Hasjim Djalal, Nugroho Wisnumurti, Budiman, Toga Napitupulu, Zuhdi Pane, Nelly Luhulima, Hardjuni, Adi Sumardiman, dan Wicaksono Sugarda, memperjuangkan penerimaan oleh masyarakat Internasional lewat diplomasi tak kenal lelah.
Setelah 25 tahun berjuang dengan segala drama, akhirnya konsep yang ditawarkan Indonesia bisa diterima.
Setelah 25 tahun berjuang dengan segala drama, akhirnya konsep yang ditawarkan Indonesia bisa diterima. Hal ini ditandai dengan disetujuinya Konvensi PBB tentang Hukum Laut, UNCLOS 1982 yang mengakui adanya negara kepulauan.
Prinsip negara kepulauan ini pada dasarnya menyatakan bahwa negara yang terdiri dari banyak pulau dengan konfigurasi tertentu seperti Indonesia, memiliki kedaulatan atas ruang laut di antara pulau-pulaunya. Ruang laut itulah yang disebut dengan perairan kepulauan.
Dengan demikian, luas laut Indonesia bertambah secara signifikan. Ini adalah kemenangan diplomasi dan Indonesia berhasil berkontribusi dalam mengubah wajah hukum laut dunia. Pada peringatan 25 tahun UNCLOS, misalnya, satu dari dua akademisi dunia yang diundang berbicara di Gedung PBB di New York adalah Prof Hasjim Djalal, seorang veteran Hukum Laut dari Indonesia.
Makna 40 tahun UNCLOS
Memperingati 40 tahun UNCLOS, kita perlu mengingat setidaknya 10 makna bagi Indonesia. Pertama, Indonesia telah berperan dalam pengelolaan dan pengaturan laut dunia sejak dulu. Maka, gagasan poros maritim dunia sejatinya bukanlah hal yang tiba-tiba.
Kedua, ada konsekuensi yang lahir bersama hak atas ruang laut yang luas, seperti pengaturan pemanfaatan lebih lanjut, penghormatan atas pemakaian ruang laut kita oleh negara lain, penetapan zona maritim tertentu seperti zona tambahan, penetapan alur laut kepulauan Indonesia, dan sebagainya. Indonesia belum tuntas melaksanakan semua itu.
Ketiga, sebagai konsekuensi dari hak ruang laut yang luas, Indonesia memiliki tumpang tindih hak dengan negara tetangga sehingga perlu menetapkan batas maritim. Indonesia perlu menetapkan batas maritim dengan sepuluh tetangga yang belum tuntas hingga kini.
Keempat, pemetaan ruang dan dasar laut secara teliti mendesak untuk dilakukan. Ini adalah dalam rangka mengenal laut dengan lebih baik sehingga bisa merencanakan pengelolaan sesuai amanat UNCLOS.
Memperingati 40 tahun UNCLOS, kita perlu mengingat setidaknya 10 makna bagi Indonesia.
Kelima, pengelolaan dan pemanfaatan laut secara berkelanjutan untuk kesejahteraan adalah kunci penting. Ini inti dari visi Indonesia untuk menjadi poros maritim dunia, yaitu memanfaatkan laut untuk sebesar- besarnya kesejahteraan rakyat.
Keenam, Indonesia, seperti negara pantai lain, berhak atas ruang laut (landas kontinen/dasar laut) lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal. Untuk itu, Indonesia perlu mengusahakan penetapannya dan menyampaikannya ke PBB untuk mendapat rekomendasi. Ini tak mudah tetapi perlu dilakukan untuk memastikan terjaminnya hak Indonesia untuk memanfaatkan ruang laut secara optimal.
Ketujuh, perlu disadari bahwa UNCLOS adalah konvensi multidisiplin, sehingga pendekatan pemahamannya pun harus demikian. Produk hukum ini tidak hanya merupakan domain ahli dan praktisi hukum tetapi juga urusan orang sains, teknis dan sosial. Maka dari itu, kita harus mendorong kolaborasi antardisiplin ilmu untuk bisa memahami dan mengimplementasikan UNCLOS dengan baik.
Baca juga : UNCLOS Instrumen Penyelesaian Konflik yang Masih Relevan
Kedelapan, pendidikan adalah kunci bagi pemahaman yang komprehensif. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, sektor pendidikan di Indonesia semestinya memastikan adanya aspek kelautan dan hukum laut di setiap program pendidikan.
Kesembilan, proses regenerasi dengan pelibatan generasi muda dalam isu kelautan dan hukum laut tidak bisa dituda. Dalam hal ini, ada tantangan untuk bisa menjadikan isu kelautan ini menarik bagi generasi milenial dan post-millennial.
Kesepuluh, Indonesia perlu turut mendorong bangsa-bangsa lain untuk mematuhi dan menerapkan UNCLOS. Amerika Serikat sendiri belum meratifikasi UNCLOS dan ini jadi ‘pekerjaan rumah’ tersendiri bagi masyarakat dunia. Di sisi lain, China yang sudah meratifikasi, ternyata tak selalu menjalankan dengan konsekuen.
Indonesia perlu memainkan peran yang baik di antara kekuatan-kekuatan besar dunia, demi terciptanya tata kelola kelautan yang baik. Intinya, Indonesia yang sudah berjuang keras mewujudkan UNCLOS, sebagai aturan paling komprehensif tentang laut, tak boleh berhenti. Ada banyak peluang yang perlu diraih serta kewajiban yang harus dijalankan. Selamat ulang tahun ke-40, UNCLOS.
I Made Andi ArsanaDosen dan Peneliti Aspek Geospasial Hukum Laut di Teknik Geodesi, UGM serta Pengurus Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional.