Turbulensi Program Kesehatan 2023
Sebagian ahli meyakini, pada 2023 kemungkinan besar Covid-19 belum enyah, termasuk di Indonesia. Skenario paling optimistis, pandemi bertransformasi jadi endemi. Covid-19 tetap ada meski magnitudonya tak sebesar pandemi.
Kondisi suram perekonomian global 2023 bisa berdampak pada program-program kesehatan nasional. Berbagai tantangan besar menghadang dunia kesehatan Indonesia di 2023.
Dana Moneter Internasional memprediksi pertumbuhan global melemah menjadi hanya 2,7 persen di 2023, bahkan bisa 1 persen. Lebih dari 30 negara diprediksi mengalami resesi.
Aspek kesehatan sangat terkait aspek ekonomi. Muncul kekhawatiran, prospek suram global ini akan mengganggu iklim pembangunan kesehatan, termasuk di Indonesia. Berbagai tantangan berat menghadang dan berpotensi membuat program-program kesehatan mengalami stagnasi, bahkan kegagalan.
Baca juga : G20 dan Arsitektur Kesehatan Global
Baca juga : Agenda Kesehatan 2023
Tantangan krusial
Setidaknya tiga tantangan besar menghadang dunia kesehatan Indonesia di 2023. Pertama, keterbatasan dana pandemi. Pendanaan pandemi merupakan faktor penentu keberhasilan pembangunan kesehatan karena keterkaitan pandemi dengan beragam isu kesehatan.
Pada 2023, pemerintah mengalokasikan anggaran kesehatan Rp 170 triliun, turun 20 persen dibanding 2022 yang Rp 218 triliun. Penyebab penurunan, pemerintah tak lagi mengalokasikan anggaran untuk pandemi Covid-19, padahal sebelumnya anggaran Covid-19 Rp 116 triliun. Ini mengherankan. Dana pandemi sudah ditiadakan, padahal dunia masih berjibaku dengan Covid-19 dan WHO belum mengumumkan berakhirnya pandemi.
Memang setelah puncak Omicron, Desember 2021, tingkat kasus dan kematian global sudah sangat menurun. Cakupan vaksinasi juga sudah sangat luas. Sejumlah negara telah melakukan relaksasi maksimal, termasuk tak mewajibkan lagi penggunaan masker, pemeriksaan PCR atau rapid antigen test (RAT) saat menghadiri acara. Bahkan Qatar, pada penyelenggaraan Piala Dunia dengan jutaan penonton, tak lagi mewajibkan masker dan pemeriksaan Covid-19. Relaksasi maksimal ini memberi gestur seolah pandemi telah berlalu atau segera berakhir.
Padahal, faktanya tak demikian. Meski secara global situasi pandemi telah membaik, sejumlah negara masih berjibaku dengan tingkat kasus dan kematian yang masih cukup tinggi. Di AS, kasus setiap hari masih lebih dari 100.000. Pada saat bersamaan, muncul kekhawatiran bahwa perbaikan profil Covid-19 yang tampak saat ini tak sepenuhnya riil.
Alasannya, dengan relaksasi maksimal yang dilakukan di sejumlah negara, upaya deteksi dan tracing sudah menjadi sangat berkurang. Banyak orang yang memiliki gejala mirip flu (flu-like symptoms) tak lagi dites status Covid-19-nya. Sudah dianggap flu biasa saja dan langsung diberi obat-obatan flu.
Kalaupun dites, metode yang digunakan umumnya hanya RAT, yang sensitivitas dan spesifitasnya terbatas. Artinya, banyak kasus Covid-19 yang tak terdeteksi. Belum lagi keengganan masyarakat berobat bila menderita flu-like symptoms. Sederhananya, angka yang dilaporkan berpotensi under-reporting.
Sebagian ahli meyakini, pada 2023 kemungkinan besar Covid-19 belum enyah, termasuk di Indonesia.
Sebagian ahli meyakini, pada 2023 kemungkinan besar Covid-19 belum enyah, termasuk di Indonesia. Skenario paling optimistis, pandemi bertransformasi jadi endemi. Covid-19 tetap ada meski magnitudonya tak sebesar pandemi. Menurunnya laju kasus dan kematian tak berarti beban penyakit sudah mereda. Pandemi akan bermetamorfosis menjadi endemi dan dengan sendirinya mengubah beban Covid-19 dari pandemic load menjadi endemic load.
Pada endemic load, penatalaksanaan spesifik dan serius tetap diperlukan agar endemi tak mengalami peak atau menjadi pandemi lagi. Program yang dibutuhkan pada fase endemi ini beragam, termasuk pengadaan vaksin reguler, baik dibuat sendiri maupun diimpor, dan penyuntikannya. Program ini tentu membutuhkan pendanaan adekuat.
Tanpa dana adekuat, transformasi endemi dan penanggulangannya tak akan berjalan mulus. Penghapusan dana pandemi saat pandemi belum benar-benar enyah menunjukkan gestur terlalu percaya diri dan dapat memberi risiko serius pada program-program kesehatan.
Kedua, sequelae pandemi. Penanganan pandemi memberi efek samping serius pada persoalan-persoalan kesehatan lainnya. Perang dan konsentrasi melawan pandemi selama dua tahun terpaksa ”melupakan sejenak” persoalan kesehatan lainnya. Ini memantik meruaknya kembali persoalan kesehatan yang sebenarnya sudah sempat terkontrol.
Sejak pandemi, cakupan imunisasi dasar turun dari 84,2 persen ke 79,6 persen, padahal targetnya 93 persen. Selama pandemi, lebih dari 1,7 juta bayi belum mendapat imunisasi dasar. Bila kekurangan ini tak segera dikejar, bisa terjadi peningkatan kasus infeksi pada anak dan menimbulkan beban ganda kesehatan.
Pandemi menyebabkan perlambatan pencapaian target tengkes. Dalam beberapa tahun terakhir, prevalensi tengkes hanya turun 3,3 persen dari 27,7 persen ke 24,4 persen. Akhir 2021, prevalensi masih 24,4 persen, padahal target 2024 adalah 14 persen. Tak mudah menurunkan 10 persen dalam dua tahun.
Pandemi menyebabkan perlambatan pencapaian target tengkes.
Tahun 2021, jumlah kasus tuberkulosis di Indonesia masih melebihi 800.000 dan kematian lebih dari 90.000. Temuan kasus tuberkulosis 2020 hanya 270.000, padahal kasus tuberkulosis tahun itu diperkirakan lebih dari 840.000.
Isu-isu ini basic health program issue yang merupakan indikator penting pencapaian kesehatan. Sebagian isu ini juga merupakan target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang mesti dicapai. Kegagalan memperbaiki profil ini memberi gambaran negatif tentang kinerja Kementerian Kesehatan sekaligus ketidakmampuan mencapai SDG. Ini sequelae yang perlu diminimalkan.
Ketiga, isu kesehatan kronis. Banyak isu kesehatan kronis yang perlu perbaikan segera di 2023. Tujuannya, untuk menciptakan ketahanan adekuat menghadapi munculnya pandemi lain.
Dari 10.000-an puskesmas di Indonesia, lebih dari 50 persen belum memiliki tenaga kesehatan sesuai standar dan hampir 600 puskesmas belum memiliki dokter. Padahal, fasilitas ini tulang punggung dan front-liner penting program kesehatan masyarakat dan individu, termasuk jika wabah menyerang.
Data kesehatan Indonesia juga tak solid. Ada perbedaan data antarinstitusi. Data jumlah dokter yang ada di Kemenkes berbeda dengan data Konsil Kedokteran Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia. Padahal, data elemen sangat penting saat berhadapan dengan wabah.
Penyakit tak menular (non-communicable diseases) juga masih terus jadi momok program kesehatan akibat tingginya tingkat morbiditas, mortalitas, dan beban yang ditimbulkan. Penyakit jantung, stroke, dan diabetes merupakan pembunuh utama dengan beban tinggi. Padahal, penyakit ini sebenarnya preventable, dapat dihindari dengan upaya promotif dan preventif yang adekuat dan berkesinambungan. Sayangnya, di negeri ini belum ada program khusus berskala nasional yang menyasar isu ini.
Di negara-negara lain, ada National Obesity Program atau National Healthy Lifestyle Program, yang secara konsisten melakukan upaya promotif dan preventif pencegahan penyakit tak menular.
Pemerintah disebutkan juga telah menyiapkan exit strategy bila ternyata resesi terjadi di Indonesia.
Turbulensi program
Pemerintah dan kalangan ahli menggaungkan narasi positif bahwa Indonesia tak akan mengalami resesi dan mungkin hanya mengalami perlambatan pertumbuhan yang tarafnya masih dapat diterima. Pemerintah disebutkan juga telah menyiapkan exit strategy bila ternyata resesi terjadi di Indonesia. Meski demikian, tidak ada jaminan bahwa program kesehatan Indonesia akan berjalan lancar tanpa hambatan.
Prospek suram ekonomi global, tak adanya dana khusus pandemi, dan beragamnya isu kesehatan yang mesti dituntaskan membuat 2023 penuh tantangan dan berisiko. Ibarat kapal, dunia kesehatan akan memasuki area turbulensi. Program kesehatan berisiko mengalami perlambatan progres atau stagnasi. Target-target program mungkin tidak dapat dicapai sepenuhnya.
Dengan kondisi tersebut, pemerintah perlu membuat skala prioritas program. Program yang diutamakan dan dijalankan mesti yang memang urgen dibutuhkan dan memiliki keterkaitan langsung dengan proses transisi pandemi ke endemi. Tidak semua elemen transformasi kesehatan yang dicanangkan Menteri Kesehatan mesti dilaksanakan tahun depan, sebagian bisa ditunda.
Sejumlah program krusial yang perlu penanganan segera adalah penanganan dan sinkronisasi metadata kesehatan penduduk, distribusi nakes yang lebih merata, dan pembuatan vaksin nasional Covid-19 yang bisa digunakan sebagai vaksinasi reguler. Kemenkes juga mutlak membangun kolaborasi sinergis dan partisipatif dengan semua pemangku kepentingan bidang kesehatan, termasuk universitas dan organisasi profesi.
Dengan keterbatasan yang ada, Kemenkes tak bisa menyelesaikan semua masalah ini tanpa dukungan berbagai pihak. Apalagi 2023 kian dekat dengan tahun pergantian pemimpin nasional. Banyak hal tak terduga bisa terjadi.
Iqbal MochtarPengurus PB IDI dan PP IAKMI. Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah