G20 dan Arsitektur Kesehatan Global
Presidensi Indonesia fokus pada tiga sektor prioritas yang menjadi kunci bagi pemulihan yang kuat dan berkelanjutan, salah satunya penguatan arsitektur kesehatan global. Mengapa arsitektur kesehatan global harus berubah?
Salah satu hasil dari Presidensi G20 Indonesia 2022 dalam rangka memperkuat arsitektur kesehatan global adalah diluncurkannya Dana Pandemi. Dana Pandemi diharapkan bisa mengatasi kesenjangan pembiayaan penanganan pandemi secara global di masa depan.
G20 adalah forum internasional yang fokus pada koordinasi kebijakan di bidang ekonomi dan pembangunan. G20 merepresentasikan kekuatan ekonomi dan politik dunia, dengan komposisi anggotanya mencakup 80 produk domestik bruto (PDB) dunia, 75 persen ekspor global, dan 60 persen populasi dunia. Anggota G20 terdiri dari 19 negara dan satu kawasan, Uni Eropa.
Indonesia memegang presidensi G20 selama satu tahun (1 Desember 2021-akhir November 2022). Sudah banyak aktivitas yang dilakukan dalam setahun ini dan puncak kegiatan Presidensi G20 Indonesia adalah KTT Bali yang berlangsung 15-16 November 2022.
Sebagai presiden G20, Indonesia mengusung semangat pulih bersama dengan tema ”Recover Together, Recover Stronger”. Tema ini diangkat dengan menimbang dunia masih dalam tekanan akibat pandemi Covid-19 sehingga memerlukan suatu upaya bersama dan inklusif dalam mencari jalan keluar atau solusi pemulihan dunia. Presidensi Indonesia fokus pada tiga sektor prioritas yang dinilai menjadi kunci bagi pemulihan yang kuat dan berkelanjutan, yaitu penguatan arsitektur kesehatan global, transformasi digital, dan transisi energi.
Baca juga : KTT G20 Bali, Forum Panas untuk Mencari Solusi Krisis Dunia
Tiga alasan
Pada laman resmi Kementerian Luar Negeri disebutkan, berkaca dari pandemi yang saat ini masih berlangsung, arsitektur kesehatan global akan diperkuat.
Tak hanya untuk menanggulangi pandemi saat ini, tetapi juga mempersiapkan dunia agar dapat memiliki daya tanggap dan kapasitas lebih baik dalam menghadapi krisis kesehatan lain ke depan. Sebenarnya setidaknya ada tiga hal penting terkait urgensi perbaikan menyeluruh arsitektur kesehatan dunia.
Pertama, kita ketahui pandemi sebelum Covid-19 adalah pandemi H1N1 2009, yang bermula pada 11 Juni 2009 dan berakhir pada 10 Agustus 2010.
Sesudah pandemi H1N1 berakhir, pada 2020 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membentuk International Health Regulations (IHR) Review Committee. Saya salah satu anggotanya, bersama 24 pakar dunia lainnya. Tim kami menganalisis mendalam apa yang terjadi dengan pandemi H1N1 2009, bagaimana dunia dan negara-negara mengantisipasinya, serta apa dampaknya bagi kehidupan manusia. Kesimpulannya: dunia sangat tak siap (the world is ill prepared) menghadapi pandemi H1N1 ketika itu.
Dari situ, dunia kemudian mencoba berbenah menghadapi kemungkinan pandemi selanjutnya, dengan menggunakan parameter yang ada dalam IHR, aturan internasional yang sudah disepakati pada 2005. Salah satu upayanya adalah menilai kesiapan kesehatan negara-negara dalam bentuk penilaian Join External Evaluation (JEE) yang menggabungkan penilaian dari dalam negara itu sendiri dan penilaian internasional.
Tujuannya, agar didapat data obyektif tentang kesiapan negara menghadapi kemungkinan pandemi atau masalah kesehatan besar. Sesudah ada penilaian ini, negara-negara mengetahui situasinya, lalu melakukan perbaikan-perbaikan sehingga merasa cukup siap untuk kemungkinan bahaya kesehatan.
Namun, kenyataannya, pada saat dunia dilanda Covid-19, praktis semua negara ternyata amat kewalahan dan nyaris porak poranda. Artinya, berbagai perbaikan yang dilakukan dalam sepuluh tahun sejak selesainya pandemi H1N1 pada 2010 ternyata gagal total. Bahkan, tim The Independent Panel for Pandemic Preparedness and Response yang dibentuk WHO pada 2020 sampai pada kesimpulan dunia ”tidak siap” (was not prepared) menghadapi pandemi Covid-19.
Jadi, pada 2010 dunia kesiapannya buruk (ill prepared) dan sepuluh tahun kemudian pada 2020 kembali dunia tidak siap (was not prepared). Artinya, kalau tak ada perbaikan di arsitektur kesehatan global, pada 2030 atau di waktu lainnya ketika pandemi datang, tetap saja dunia tak akan siap, dan entah istilah gangguan ketidak- ”prepared”-an apa lagi yang akan digunakan. Tegasnya, pengalaman ini menunjukkan arsitektur kesehatan global jelas harus berubah.
Baca juga : Manuver Diplomasi Indonesia di KTT G20
Alasan kedua kenapa arsitektur kesehatan harus berubah adalah keadaan selama pandemi Covid-19 ini sendiri. Setidaknya ada empat kejadian yang menunjukkan amat perlunya arsitektur kesehatan global yang lebih kuat, yakni (1) kejadian yang tadinya hanya di Wuhan, China, ternyata tak dapat dibendung dan melanda praktis semua negara di dunia.
Kemudian, (2) berbagai negara mengalami kurangnya alat kesehatan. Kita ingat saat oksigen tak ada, ventilator semua terpakai, dan lain-lain. Ini terjadi di banyak negara tanpa ada mekanisme yang cepat untuk menanganinya. Akibatnya, jatuh korban manusia.
Selanjutnya, (3) begitu vaksin mulai tersedia, jelas sekali ada ketidakadilan dan ketidaksetaraan pembagiannya. Negara maju penghasil vaksin bisa mendapatkannya dengan mudah dan menggunakannya, bahkan secara agak berlebihan, pada rakyatnya. Sementara negara berkembang dan miskin harus berjuang keras mendapatkannya.
Pada akhir 2020 dan awal 2021, dunia berhadapan dengan masalah diskriminasi dan politisasi vaksin. Padahal, karena ini pandemi, semua negara harus dapat melindungi rakyatnya. Kalau masih ada—apalagi banyak—negara yang tidak berhasil mengatasi pandemi, pandemi tidak akan selesai. ”No one is safe until everyone is safe”.
ilustrasi
Lalu, (4) berbagai varian dan subvarian Covid-19 terus bermunculan dan dengan cepat menyebar ke berbagai negara lain. Contoh, subvarian XBB dan BQ1 yang kini menyerang kita dan menimbulkan kenaikan kasus dan kematian. Bukan tak mungkin di waktu mendatang akan ada pula varian atau subvarian lain yang perlu dunia tangani bersama.
Alasan ketiga perlunya arsitektur kesehatan global baru adalah ancaman di waktu mendatang, baik dalam bentuk wabah maupun pandemi. Pada 2022 ini saja WHO sudah menyatakan cacar monyet sebagai ”Public Health Emergency of International Concern (PHEIC)”. Suatu keadaan di mana ketika penulis menjadi dirjen di Kemenkes, digunakan istilah ”Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD)”.
Beruntungnya, sejauh ini cacar monyet tampaknya tak terlalu menyebar luas dan kita bisa berharap status PHEIC bisa dicabut dan tak jadi pandemi. Hanya tentu dapat diperkirakan di waktu mendatang masih akan ada PHEIC/KKMMD untuk penyakit-penyakit lainnya.
Selain itu, yang lebih penting adalah kita tahu pasti bahwa akan ada lagi pandemi di masa mendatang, hanya kita tak tahu kapan waktunya dan apa penyakitnya. Para pakar memperkirakan setidaknya tiga kemungkinan penyakit yang akan jadi cikal bakal pandemi mendatang, yakni (1) influenza di mana kita ingat pandemi besar awal abad ini adalah influenza. Lalu (2) penyakit zoonosis yang berhubungan dengan binatang, hanya kita belum tahu binatang apa yang akan jadi biang keladinya, dan (3) penyakit X yang kita belum tahu bentuknya.
Bentuk arsitektur baru
Dengan tiga alasan tadi, jelas perlu arsitektur kesehatan global yang baru untuk menanganinya. Sudah ada berbagai upaya di berbagai tingkatan untuk memperkuat kesehatan dunia. Salah satu aspeknya adalah saat ini dunia berpegang pada IHR yang sudah ada sejak 2005, yang dari pengalaman Covid-19 tampaknya kurang berfungsi optimal, sehingga aturan ini perlu diperkuat.
Di tingkat dunia, pada 1 Desember 2021 pertemuan kesehatan dunia World Health Assembly (WHA) menyepakati untuk meluncurkan proses historis dunia dalam pencegahan, persiapan, dan respons terhadap pandemi. Untuk itu, dibentuk forum negosiasi, yakni Intergovernmental Negotiating Body (INB).
INB akan membicarakan draf konsep konvensi, perjanjian, atau bentuk instrumen internasional WHO lainnya di bidang pencegahan, persiapan dan respons terhadap pandemi (pandemic prevention, preparedness and response). INB sudah melakukan pertemuan pada Maret dan Agustus 2022, lalu akan melanjutkan berbagai negosiasi . Hasilnya ditargetkan dilaporkan ke WHA tahun 2023, dengan hasil akhir ditargetkan tahun 2024.
Jika semua berjalan lancar, diharapkan pada 2024 kita akan punya semacam aturan internasional yang baru—atau diperbarui—yang tentu akan memperkuat arsitektur kesehatan global.
Dari pengalaman Covid-19 kita tahu pandemi tidak hanya masalah kesehatan, tetapi menimpa hampir semua sendi kehidupan.
Sementara tim The Independent Panel for Pandemic Preparedness and Response yang dibentuk WHO untuk me-review pandemi Covid-19 juga sudah menganalisis secara mendalam dan menyampaikan tujuh rekomendasi untuk membuat arsitektur dunia kesehatan lebih baik dan siap menghadapi pandemi dan masalah kesehatan besar lainnya.
Suatu rekomendasi yang amat lengkap dan menyeluruh. Pertama, meningkatkan kepemimpinan sampai tingkat tertinggi untuk bisa merespons ancaman kesehatan, dengan akuntabel dan melibatkan multisektor terkait. Dari pengalaman Covid-19 kita tahu pandemi tidak hanya masalah kesehatan, tetapi menimpa hampir semua sendi kehidupan.
Kedua, perlunya otoritas organisasi WHO yang sepenuhnya independen dengan dukungan pendanaan memadai. Ketiga, perlunya investasi agar semua fungsi dalam persiapan menghadapi bahaya kesehatan berjalan baik, di tingkat nasional, regional, ataupun global.
Keempat, membentuk sistem surveilans internasional yang baru yang dapat mendeteksi dengan cepat dan akurat perkembangan atau lonjakan masalah kesehatan masyarakat di mana pun di belahan dunia ini, khususnya yang punya potensi merebak secara internasional.
Kelima, tersedianya sejak awal suatu sistem (pre-negotiated platform) yang menjamin ketersediaan alat dan kebutuhan kesehatan yang diperlukan kalau terjadi kelangkaan suplai, seperti kita alami pada pandemi Covid-19 ini.
ilustrasi
Keenam, menumbuhkan penyediaan sistem finansial yang baru untuk antisipasi kebutuhan pandemi mendatang. Rekomendasi keenam ini yang, antara lain, dijawab dalam G20 presidensi Indonesia dengan membentuk Dana Pandemi (Pandemic Fund) atau Financial Intermediary Fund/FIF). Ketujuh, agar semua negara dapat membentuk sistem koordinasi nasional di tingkat administratif/otoritas tertinggi untuk bisa melakukan hak terbaik dalam persiapan dan respons atas pandemi.
Hasil KTT G20 Bali
Dalam hal arsitektur kesehatan global ini, pertemuan kesehatan G20 presidensi Indonesia menyajikan lima area kegiatan, yang sedikit banyak ada yang sejalan dengan rekomendasi panel independen internasional di atas. Sejauh ini memang tampaknya hasil di bidang kesehatan ini masih dalam bentuk Chair Summary, bukan dalam bentuk komunike.
Hal pertama dalam G20 presidensi Indonesia di bidang kesehatan adalah penguatan dukungan atas pendirian FIF. Kedua, adanya mekanisme yang terstruktur untuk memobilisasi sumber daya esensial kesehatan. Ketiga, penguatan genomic surveillance, serta penggunaan platform kerja sama berbagi data patogen untuk kesiapsiagaan dan penanganan pandemi yang lebih baik.
Keempat, penguatan dukungan adanya platform bersama dalam menghubungkan berbagai sistem digital sertifikasi dokumen kesehatan, termasuk vaksin dan hasil diagnostik, guna memfasilitasi pergerakan orang dan barang.
Kelima, memperluas jejaring pusat penelitian dan manufaktur global. Perluasan ini diharapkan dapat membuat negara-negara, khususnya negara-negara berpendapatan menengah bawah, memiliki akses yang lebih baik terhadap vaksinasi, pengobatan, dan diagnostik.
Dari hasil pembahasan arsitektur kesehatan G20 presidensi Indonesia ini kita setidaknya punya tiga harapan.
Dari hasil pembahasan arsitektur kesehatan G20 presidensi Indonesia ini kita setidaknya punya tiga harapan. Pertama, hasilnya benar-benar dapat menyentuh unsur dasar utama yang diper- lukan dunia agar penduduk bumi dapat hidup lebih sehat dan sejahtera, sesuai tujuan ketiga Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) untuk pencapaian ”health and well being”, bukan kesehatan semata dalam arti sempit.
Kedua, kalau memang sudah sejalan dengan kebutuhan seluruh dunia, hasil ini harus benar-benar diimplementasikan di lapangan. Akhir November 2022, Indonesia akan mengakhiri presidensi G20. Oleh karena itu, sejak awal sudah harus dirancang dan juga sudah ada peta jalan yang jelas tentang bagaimana di masa mendatang mengimplementasikan dan monitoring-nya agar pada tahun-tahun mendatang benar-benar memberi manfaat bagi kesehatan dunia.
Ketiga, mudah-mudahan hasil penting kesehatan di tingkat G20 dan dunia ini secara nyata juga punya dampak di dalam negeri kita. Penanganan masalah kesehatan kita seyogianya dapat manfaat maksimal dari digelarnya hajat besar tingkat dunia. Masalah kesehatan yang di depan mata dan jadi beban sehari-hari perlu dapat prioritas penanganan utama, untuk kesehatan anak bangsa.
Tjandra Yoga AditamaDirektur Pasca Sarjana Universitas YARSI/Guru Besar FKUI, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara, Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes