Pemerintahan Presiden Joko Widodo berupaya melunasi utang sejarah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu melalui non-yudisial.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Tim penyelesaian non-yudisial kasus pelanggaran HAM masa lalu telah dibentuk. Selain melunasi janji kampanye di Nawacita, tugas itu juga merupakan tugas dan kewajiban konstitusional seorang pemimpin. Sesuai mandatnya, tim yang dipimpin Makarim Wibisono dan Ketua Dewan Pengarah Mahfud MD ini akan mengakhiri masa tugasnya pada 31 Desember 2022.
Seperti diberitakan, model penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu disampaikan kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). NU menerima model penyelesaian non-yudisial sejauh tidak mengorek luka lama.
Pelanggaran HAM masa lalu yang tak kunjung selesai terus menjadi beban sejarah. Terus menggelayuti masa depan dan terus menjadi isu politik.
Bangsa ini pernah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tahun 2004, tetapi UU KKR dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Langkah mengadili pelanggar HAM masa lalu yang coba dilakukan melalui jalur pengadilan ad hoc juga kandas. Kasus Tanjung Priok bisa menjadi contoh. Terakhir, pengadilan HAM ad hoc Paniai pun terdakwanya dibebaskan oleh majelis hakim.
Itulah realitas politik yang ada. Bangsa ini belum berhasil menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui jalur pengadilan. Bisa saja karena kesulitan pembuktian hukum, karena minimnya barang bukti. Namun, terbuka juga kemungkinan pengadilan HAM ad hoc gagal karena kurangnya dukungan politik untuk memintai pertanggungjawaban pelaku pelanggar HAM. Hal itu jamak di sejumlah negara.
Tim penyelesaian non-yudisial tidak menutup pintu penyelesaian jalur yudisial. Namun, pernyataan itu terasa hanya retorika. Disahkannya Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh DPR dan pemerintah kian mempersulit penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu karena adanya masa kedaluwarsa.
Terlepas dari kontroversi dan kritik yang melindungi, jalan yang ditempuh Presiden Jokowi patut dihargai. Jika pembuktian lewat pengadilan tidak bisa dilakukan, bagaimana keberpihakan negara kepada korban atau keluarga korban ditunjukkan. Deretan kasus pelanggaran HAM berjejer sejak bangsa ini merdeka sampai reformasi. Inilah yang harus diselesaikan dan terus menjadi beban sejarah.
Korban dan keluarga pelanggaran HAM, dan tentunya juga publik, berhak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana keluarga korban mendapatkan rehabilitasi, kompensasi, dan restitusi. Tim tentunya perlu memikirkan keberpihakan negara kepada korban.
Namun, tim juga perlu merumuskan langkah agar para terduga pelaku pelanggar HAM, kendati belum terbukti secara legal, tidak berada di lingkaran kekuasaan. Kondisi itu kadang menimbulkan kepedihan pada keluarga korban. Tim juga harus bisa memastikan kasus serupa tak terjadi lagi di kemudian hari, termasuk berbagai pelanggaran hak sipil yang kerap terjadi akhir-akhir ini.