Pengembangan pelabuhan perikanan terhambat masalah desentralisasi kewenangan pengelolaan. Diperlukan reformasi tata kelola pelabuhan perikanan dengan melakukan rasionalisasi dan integrasi pelabuhan perikanan.
Oleh
THOMAS NUGROHO
·5 menit baca
Pelabuhan perikanan sebagaimana pelabuhan pada umumnya merupakan infrastruktur yang sangat diperlukan untuk memfasilitasi berbagai aktivitas ekonomi di sektor kelautan dan perikanan, khususnya di bidang penangkapan ikan. Pelabuhan perikanan menyediakan fasilitas yang melayani kebutuhan kapal perikanan untuk berlabuh, bongkar muat, penanganan, penyimpanan, pengolahan, distribusi, dan pemasaran hasil tangkap nelayan.
Keberadaan pelabuhan perikanan mendapat sorotan karena memiliki peran penting dan strategis untuk mendukung aktivitas penangkapan ikan. Rendahnya penerimaan negara dari sektor penangkapan ikan bisa terjadi karena lemahnya fungsi pelabuhan perikanan dalam pengawasan.
Pemerintah tengah menyiapkan skema pengaturan usaha penangkapan ikan untuk meningkatkan penerimaan negara melalui peningkatan produksi yang dalam implementasinya ditentukan oleh kondisi dan kemampuan pelabuhan perikanan sebagai pusat pendaratan ikan.
Dalam RPJMN 2020-2024, pemerintah menargetkan produksi penangkapan ikan sebesar 10,1 juta ton pada 2024. Target peningkatan produksi ikan tersebut yang mendasari munculnya kepentingan untuk melakukan pengaturan dengan pola penangkapan ikan terukur. Pola pengaturan demikian menuai kritik karena tak dibarengi dengan kesungguhan melakukan reformasi tata kelola pelabuhan perikanan.
Problem desentralisasi
Pengembangan pelabuhan perikanan menghadapi hambatan dan masalah terkait desentralisasi kewenangan pengelolaan. Standar kemampuan pengelolaan pelabuhan perikanan sangat beragam di semua daerah. Selain itu, struktur dan distribusi sebaran pelabuhan perikanan juga timpang secara geografis.
Distribusi pelabuhan perikanan tidak merata, 74 persen berada di Pulau Sumatera dan Jawa, selebihnya atau 26 persen berada di Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Demikian juga, distribusi kewenangan pengelolaan pelabuhan antara pusat dan daerah tidak seimbang.
Pusat memiliki kewenangan dan kemampuan anggaran yang lebih kuat, tetapi hanya bertanggung jawab mengelola 4 persen atau 23 dari total 578 pelabuhan perikanan, yaitu 7 pelabuhan samudra (kelas A) dan 16 pelabuhan nusantara (kelas B).
Distribusi pelabuhan perikanan tidak merata, 74 persen berada di Pulau Sumatera dan Jawa.
Pusat menggelontorkan anggaran sebesar Rp 162 miliar untuk pengelolaan pelabuhan perikanan tahun 2021. Anggaran tersebut mengalir ke unit pengelola teknis (UPT) pusat di 23 pelabuhan perikanan dan sebagian kecil juga ke UPT pelabuhan perikanan daerah. Dengan anggaran tersebut, sulit diharapkan terjadi peningkatan infrastruktur pelayanan dengan teknologi yang modern di pelabuhan perikanan.
Demikian juga, daerah atau provinsi memiliki kewenangan dan anggaran lebih kecil dan terbatas, tetapi bertanggung jawab mengelola 96 persen atau 510 pelabuhan perikanan kelas C dan D yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Model pengelolaan pelabuhan perikanan seperti ini menimbulkan kesenjangan dan juga kelambatan peningkatan kemampuan pelayanan jasa kepelabuhanan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan (WPP) antara UPT pusat dan daerah. Selain itu, antara UPT pusat dan daerah belum terbangun kolaborasi dan konektivitas pelayanan dalam menjalankan fungsi pengusahaan dan pemerintahan kepelabuhanan.
Dalam UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, kelautan dan perikanan merupakan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan, bukan wajib. Artinya, meskipun daerah memiliki kewenangan mengelola pelabuhan perikanan, sifatnya tidak wajib.
Hal ini yang menyebabkan daerah sering kali abai atau tidak menggunakan kewenangannya secara maksimal karena faktor keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia sehingga 96 persen pelabuhan perikanan daerah belum terkelola dengan baik.
Padahal, pelabuhan perikanan di daerah melayani 78 persen dari total pendaratan kapal ikan di seluruh wilayah Indonesia yang sebagian besar skala kecil dan tradisional. Ini menunjukkan terjadi ketidakadilan pelayanan karena lemahnya kemampuan menyediakan jasa kepelabuhanan secara baik dan profesional kepada nelayan.
Hal lain yang krusial adalah soal pengawasan dan penegakan aturan. Setiap pelabuhan perikanan diperlukan syahbandar yang bertugas sebagai pengawas yang menjamin keamanan dan keselamatan operasional kapal perikanan. Namun, tidak semua pelabuhan perikanan memiliki syahbandar, terutama pelabuhan perikanan yang dikelola oleh daerah karena keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran operasional.
Padahal, tugas dan peran syahbandar sangat penting sebagai pengawas aktivitas penangkapan ikan. Kebocoran penerimaan negara adalah akibat lemahnya pengawasan di pelabuhan perikanan sehingga Indonesia menderita kerugian ekonomi yang sangat besar dari usaha penangkapan ikan.
Reformasi tata kelola
Kedudukan pelabuhan perikanan juga sangat penting dan menentukan dalam melaksanakan agenda nasional dan internasional memerangi aktivitas penangkapan ikan secara ilegal (IUU fishing). Indonesia telah mengesahkan persetujuan ketentuan negara pelabuhan untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU fishing melalui Perpres No 43/2016.
Artinya, ada kewajiban dan tanggung jawab negara untuk meningkatkan kemampuan daya saing pelabuhan perikanan sehingga dapat berkompetisi melayani kepentingan kapal ikan dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan pada tingkal lokal, nasional, dan global.
Oleh karena itu, diperlukan reformasi tata kelola pelabuhan perikanan untuk meningkatkan daya saing. Daya saing merepresentasikan kemampuan meminimalisasi biaya di tengah persaingan pada tingkat lokal, nasional, dan global dengan bertumpu pada inovasi serta pencarian perbedaan strategi untuk mencapai tingkat efisiensi yang lebih besar dan intensitas persaingan yang makin berkurang.
Integrasi pelabuhan perikanan dan pasar ikan modern menjadi prioritas program nasional dalam RPJMN 2020-2024, tetapi tampak belum jelas implementasinya.
Artinya, setiap pelabuhan perikanan perlu didorong untuk semakin meningkatkan efektivitas operasional dan pada saat yang sama menciptakan strategi untuk dapat membedakan dirinya dari pesaingnya. Hal ini penting sebab faktor kunci dari rendahnya penerimaan negara dari bidang penangkapan ikan, yaitu Rp 708,19 miliar, pada 2021 karena lemahnya kemampuan pelabuhan perikanan melaksanakan fungsi pengawasan sebelum dan sesudah aktivitas penangkapan ikan.
Agenda aksi reformasi tata kelola pelabuhan perikanan adalah melakukan rasionalisasi dan integrasi pelabuhan perikanan. Integrasi pelabuhan perikanan dan pasar ikan modern menjadi prioritas program nasional dalam RPJMN 2020-2024, tetapi tampak belum jelas implementasinya.
Integrasi pelabuhan perikanan perlu dipahami sebagai upaya menyatukan berbagai pelabuhan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan yang sama sehingga terjadi konvergensi, yaitu kolaborasi dan interkonektivitas pelabuhan perikanan dalam melaksanakan fungsi pemerintahan dan pengusahaan.
Oleh karena itu, diperlukan badan otoritas pelabuhan perikanan untuk pengaturan dan pengendalian pengelolaan pelabuhan perikanan di setiap wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Badan otoritas ini meliputi badan administrasi kepemerintahan dengan tugas pendelegasian dari kementerian terkait dan badan komersial oleh perusahaan negara atau BUMN.
Selain itu, diperlukan adanya komisi pelabuhan perikanan yang bersifat imparsial untuk melaksanakan audit pelaksanaan pengawasan pelabuhan perikanan dan aktivitas penangkapan ikan di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, diharapkan dapat meningkatkan daya saing pelabuhan perikanan di Indonesia.
Thomas Nugroho, Dosen pada Departemen Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University