KUPI, Perempuan, dan Sistem Pengetahuan
Perempuan rentan mengalami ketidakadilan sejak dalam pikiran dan sistem pengetahuan, termasuk sistem pengetahuan keagamaan. Mari adil kepada perempuan sejak dalam pikiran dan sistem pengetahuan.
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) kedua baru selesai digelar pada 26 November 2022. Cara pandang KUPI atas perempuan sebagai manusia seutuhnya dan subyek sepenuhnya tidak hanya melahirkan perbedaan pandangan dan sikap keagamaan, tetapi juga perbedaan sistem pengetahuan.
Cara pandang KUPI ini sejalan dengan semangat Hari Ibu yang diperingati pada 22 Desember 2022. Dalam sejarahnya, Hari Ibu di Indonesia terkait erat dengan perjuangan untuk memajukan dan memenuhi hak-hak perempuan.
Dalam Women’s Ways of Knowing, Belenky, Clinchy, Goldberger, and Tarule memaparkan hasil penelitian berupa lima cara perempuan mengetahui, yaitu diam (silent), menerima (received), menghubungkan dengan pengalaman personal (subjective), membandingkan dengan pengetahuan lain (procedural), dan membangun argumentasi kokoh (constructed). Teori ini merefleksikan pergerakan posisi perempuan dalam sistem pengetahuan dari sebagai obyek menjadi subyek.
Baca juga: Partisipasi Perempuan dalam Sains Terus Didorong
Baca juga: Empat Perempuan Peneliti Indonesia Terima Penghargaan L'Oreal-UNESCO
Obyek pengetahuan
Sejarah manusia diwarnai dengan cara pandang selama berabad-abad bahwa perempuan hanyalah harta bendanya laki-laki, yakni ayah, suami, lalu anak atau kerabat laki-laki suami yang berfungsi sebagai alat seksual dan mesin reproduksi. Laki-laki lazim mengoleksi, menghadiahkan, menjadikan sebagai jaminan utang, mewariskan, bahkan menjual perempuan.
Sejak dahulu, tradisi dan praktik yang membahayakan perempuan terjadi di mana-mana. Misalnya, penguburan bayi perempuan hidup-hidup, menyeterika payudara gadis yang baru tumbuh (breast ironing), infibulasi (pemotongan seluruh bagian luar vagina), pengasingan perempuan selama menstruasi, hingga pembakaran istri hidup-hidup bersama jenazah suami (Sati).
Sistem kehidupan pun hanya dikelola oleh laki-laki, baik sebagai filosof, ilmuwan, penguasa, tokoh masyarakat atau adat, maupun tokoh agama. Perempuan mungkin ada, tetapi jumlahnya sedikit dan rentan tidak diakui. Laki-laki menjadi standar tunggal cara berfikir rasional, obyektif, dan ilmiah sehingga perempuan rentan dinilai emosional, subyektif, dan tidak ilmiah jika menggunakan pengalaman kemanusiaan khasnya sebagai basis pengetahuan.
Perempuan rentan mengalami ketidakadilan sejak dalam pikiran dan sistem pengetahuan, termasuk sistem pengetahuan keagamaan.
Laki-laki juga menjadi standar tunggal cara merumuskan kebijakan negara, kearifan sosial, dan kemaslahatan agama. Perempuan yang melakukan perumusan ulang berdasarkan pengalaman kemanusiaan khasnya rentan dinilai melawan negara, tradisi, sekaligus agama. Dampaknya bisa sampai mengancam nyawa dan diam (silent) menjadi mekanisme penyelamatan diri sehingga lebih tepatnya adalah terbungkam (silenced).
Perempuan rentan mengalami ketidakadilan sejak dalam pikiran dan sistem pengetahuan, termasuk sistem pengetahuan keagamaan. Cara pandang atas perempuan sebagai alat seksual melahirkan stigma atas perempuan sebagai sumber fitnah bagi laki-laki. Tindakan apa pun yang dilakukan perempuan adalah haram jika pasti menimbulkan fitnah, makruh jika mungkin menimbulkan fitnah, dan mubah hanya jika pasti tidak menimbulkan fitnah.
Subyek penuh
Pandangan dan sikap keagamaan KUPI pertama dan kedua mencerminkan sistem pengetahuan keagamaan dengan basis berbeda. Pertama, laki-laki dan perempuan adalah manusia seutuhnya. Mereka adalah makhluk fisik, sekaligus intelektual karena punya akal dan spiritual karena punya hati nurani. Nilai keduanya hanya tergantung dari kemampuan menggunakan akal budinya untuk memastikan dampak setiap tindakan adalah maslahat bagi semua pihak, termasuk bagi perempuan.
KUPI menolak cara pandang bahwa perempuan hanyalah alat seksual dan mesin reproduksi sehingga tidak berhak atas kenikmatan seksual dan kesehatan reproduski. Sebuah tindakan hanya islami jika dilakukan secara halalan (direstui teks-teks keagamaan otoritatif), thayyiban (berdampak baik bagi laki-laki dan perempuan), dan ma’rufan (dapat diterima secara sosial hingga melegakan hati semua pihak), termasuk berhubungan seksual dan bereproduksi.
Baca juga: KUPI II Teguhkan Peran Ulama Perempuan dalam Peradaban Berkeadilan
Kedua, laki-laki dan perempuan adalah subyek penuh sistem kehidupan. Mereka sama-sama punya status melekat sebagai hanya hamba Allah dan amanah melekat sebagai Khalifah fil Ardl. Mereka sama-sama bertanggung jawab untuk mewujudkan kemaslahatan sekaligus menikmatinya, dan mencegah keburukan sekaligus dilindungi darinya di bumi, baik di ruang domestik maupun publik, atas dasar iman.
KUPI menolak cara pandang bahwa perempuan adalah sumber fitnah karena begitu banyak perempuan yang menjadi sumber anugerah bagi masyarakatnya. Allah SWT pun menegaskan bahwa setiap manusia dikaruniai kecenderungan berbuat buruk (sehingga menjadi sumber fitnah), dan berbuat baik (sehingga menjadi sumber anugerah) (Qs Asy-Syams, 40:8). Sumber fitnah hanyalah mereka yang berbuat buruk, baik laki-laki maupun perempuan.
Basis sistem pengetahuan di atas melahirkan pola pandangan dan sikap keagamaan KUPI. Jika sebuah tindakan pasti berdampak buruk (mafsadat), apalagi bahaya (madlarat) pada laki-laki dan/atau perempuan, maka haram, jika mungkin berdampak buruk, maka makruh, dan jika pasti tidak menimbulkan dampak buruk dan bahaya, maka boleh.
Keadilan hakiki perempuan
Karena sama-sama menjadi manusia seutuhnya dan subyek sepenuhnya, laki-laki bukanlah standar tunggal kemanusiaan perempuan. Pengalaman kemanusiaan perempuan yang berbeda dengan laki-laki diakui valid sebagai sumber pengetahuan sehingga mesti dipertimbangkan dalam merumuskan keadilan, baik dalam bentuk kebijakan negara, kearifan sosial, maupun kemaslahatan agama. Setidaknya ada dua pengalaman kemanusiaan perempuan yang mesti dipertimbangkan.
Pertama, pengalaman biologis perempuan karena sistem reproduksi yang berbeda dengan laki-laki. Terutama dalam lima bentuk, yaitu menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui yang durasinya bervariasi antara jam, hari, minggu, bulan, dan tahun, dengan dampak sakit (adza), adalah lelah (kurhan), bahkan sakit dan lelah berturut-turut (wahnan ala wahnin). Laki-laki tidak akan mengalaminya karena dalam reproduksi, tubuh mereka hanya mengeluarkan sperma dalam durasi menit bahkan detik dan dampaknya nikmat.
Keadilan hakiki perempuan adalah keadilan yang tidak menyebabkan pengalaman biologis perempuan semakin sakit dan tidak mengandung atau menyebabkan perempuan mengalami ketidakadilan apa pun, termasuk ketidakadilan jender.
Kedua, pengalaman sosial perempuan karena sistem patriarki. Cara pandang atas perempuan sebagai obyek, atau subyek sekunder menyebabkan perempuan rentan mengalami ketidakadilan hanya karena menjadi perempuan. Hal ini terutama dalam lima bentuk, yaitu stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda.
Keadilan hakiki perempuan adalah keadilan yang tidak menyebabkan pengalaman biologis perempuan semakin sakit dan tidak mengandung atau menyebabkan perempuan mengalami ketidakadilan apa pun, termasuk ketidakadilan jender. Rumusan kebijakan negara, kearifan sosial, dan kemaslahatan agama yang masih mengandung pembiaran, apalagi memberi peluang atas tindakan buruk, apalagi bahaya pada perempuan, baik secara biologis maupun sosial, mesti dilakukan perumusan ulang karena baru adil secara legal, belum secara hakiki.
Baca juga: Hari Ibu dan Keadilan Jender di Ruang Publik
Sistem pengetahuan dengan basis inilah yang melahirkan pandangan dan sikap keagamaan tertentu KUPI. Misalnya, wajibnya perlindungan anak dari perkawinan yang membahayakan, haramnya kekerasan seksual, baik di dalam maupun di luar perkawinan, wajibnya perlindungan atas perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan, wajibnya perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan, dan haramnya melakukan tindakan pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan (P2GP) yang membahayakan tanpa alasan medis.
Peradaban berkeadilan yang menjadi visi KUPI adalah bagian gerakan pemajuan dan pemenuhan hak-hak perempuan yang menjiwai peringatan Hari Ibu. Mari adil kepada perempuan sejak dalam pikiran dan sistem pengetahuan. Selamat Hari Ibu Kehidupan!
Nur Rofiah, Anggota Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI)