Sidang Dewan Keamanan PBB soal isu Myanmar akan memberikan gambaran terbaru posisi negara-negara kuat, terutama China dan Rusia, terkait krisis di Myanmar.
Oleh
Redaksi
·1 menit baca
Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, Rabu (21/12/2022), dijadwalkan menggelar sidang dan pemungutan suara resolusi DK PBB tentang isu Myanmar. Draf resolusi, antara lain, menyebut penghentian segala bentuk kekerasan di Myanmar dan pembebasan semua tahanan politik, termasuk Aung San Suu Kyi.
Draf rancangan Inggris—satu dari lima negara anggota tetap DK PBB—itu bisa menjadi resolusi jika minimal disetujui oleh sembilan anggota tetap ataupun tidak tetap dan tak ada veto dari lima negara anggota tetap. Selain Inggris, anggota tetap DK PBB adalah AS, China, Perancis, dan Rusia. DK PBB juga memiliki 10 anggota tidak tetap.
Situasi dan dinamika diplomasi di Markas PBB, terutama di ruang sidang DK, terkait krisis di Myanmar perlu dicermati. Bagi Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), keselarasan langkah DK PBB dan ASEAN penting dalam upaya penyelesaian krisis Myanmar. Bobot dan tekanan agar Lima Poin Konsensus ASEAN diimplementasikan akan lebih kuat jika didukung oleh resolusi DK PBB.
Namun, menjelang sidang beredar suara di kalangan diplomat yang memperkirakan China dan Rusia akan menjadi tameng junta Myanmar dengan vetonya. DK PBB terbelah dalam isu Myanmar. AS dan mitranya berulang kali menekan Myanmar dengan sanksi, China dan Rusia kerap menjadi ”bumper” Naypyidaw. Ini yang menyebabkan beberapa draf pernyataan dan resolusi gagal disepakati di DK PBB.
China dan Rusia adalah mitra dekat Myanmar. Sejak krisis Myanmar meletus dalam kudeta militer pada 1 Februari 2021, pejabat dari dua negara itu kerap menyambangi Naypyidaw dan menggelar pertemuan dengan pejabat junta. Saat berkunjung ke Myanmar dan bertemu Menteri Luar Negeri Junta Wunna Maung Lwin, 3 Juli 2022, Menlu China Wang Yi melukiskan hubungan kedua negara seperti pauk-phaw (saudara seibu) yang solid seperti batu karang dan tak terpecah, tanpa terimbas perubahan domestik di setiap negara.
Dengan Rusia, pemimpin junta Myanmar, Min Aung Hlaing, lebih akrab lagi. Ia sudah tiga kali bertandang ke Rusia. Menlu Rusia Sergey Lavrov juga sudah menyambangi Naypyidaw. Tak dimungkiri, poros segitiga Naypyidaw-Moskwa-Beijing terjalin berkat situasi saling membutuhkan demi kepentingan masing-masing. Di pangkuan China dan Rusia, junta Myanmar memperoleh perlindungan dari tekanan internasional.
Itu menjadi tantangan bagi ASEAN, termasuk Indonesia yang akan menjadi ketua pada 2023, dalam menyelesaikan krisis Myanmar. Dengan kapasitas mesin diplomasinya, Indonesia perlu memastikan langkah negara mitra wicara ASEAN, termasuk China dan Rusia, kompatibel dengan Lima Poin Konsensus, rujukan yang valid hingga saat ini bagi ASEAN dalam menyelesaikan krisis Myanmar.