Sebanyak 31 negara atau 43 persen perekonomian dunia diprediksi mengalami resesi. Ekonomi Indonesia sudah pasti terdampak, baik dari jalur perdagangan maupun keuangan. Meski demikian, Indonesia tak perlu khawatir.
Oleh
ARDHIENUS
·4 menit baca
Tahun depan Indonesia bakal menghadapi badai berupa perlambatan ekonomi global. Dalam laporan World Economic Outlook, Oktober 2022, IMF kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan global 2023 menjadi 2,7 persen dari sebelumnya 2,9 persen (Juli 2022) dan 3,8 persen (Januari 2022). Sebanyak 31 negara atau 43 persen perekonomian dunia diprediksi mengalami resesi.
Proyeksi Bank Dunia dan OECD juga menyampaikan pesan yang sama. Ekonomi Indonesia sudah pasti terdampak, baik dari jalur perdagangan maupun keuangan. Dari jalur perdagangan, dampaknya sudah mulai terasa dari banyaknya PHK di perusahaan tekstil dan alas kaki akibat seretnya permintaan global. Dari jalur keuangan, arus modal keluar dari investor asing yang melepas aset keuangan domestik, terutama surat berharga negara, masih berlanjut.
Meski demikian, sejatinya Indonesia tak perlu khawatir terlalu dalam. Proyeksi Bank Dunia, harga komoditas dan energi tampaknya masih akan cukup tinggi. Meski lebih rendah ketimbang 2022, lebih tinggi dibanding 2021. Windfall profit masih akan membantu mengisi pundi-pundi penerimaan negara walau tak sebesar 2022.
Pada sisi lain, ekonomi Indonesia diuntungkan karena kurang terkoneksi dengan ekonomi global, akibat belum sepenuhnya jadi bagian dari rantai produksi (value chain) global.
Gerak laju ekonomi Indonesia masih bersandar pada konsumsi domestik. Beragam faktor itu membuat ekonomi Indonesia 2023 tetap akan kuat meski tumbuh lebih lambat dibandingkan 2022. Indonesia tidak akan mengalami resesi.
Dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI), 30 November 2022, Gubernur BI menyampaikan optimisme itu. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi masih akan ada pada level cukup tinggi 4,5-5,3 persen pada 2023 dan 4,7-5,5 persen pada 2024. Adapun inflasi akan kian terkendali dan diprakirakan turun dan kembali ke sasaran 3,0±1 persen pada 2023 dan 2,5±1 persen pada 2024.
Sisi ketahanan eksternal juga akan tetap kuat dan berdaya tahan. Transaksi berjalan diproyeksikan surplus 0,4 persen hingga defisit 0,4 persen dari PDB pada 2023 dan surplus 0,2 sampai dengan defisit 0,6 persen dari PDB pada 2024.
Sementara kucuran kredit akan tumbuh 10-12 persen pada 2023 dan 2024. Ekonomi dan keuangan digital yang diharapkan menjadi motor pertumbuhan ekonomi baru juga akan melonjak pada 2023 dan 2024 dengan nilai transaksi e-dagang diprakirakan mencapai Rp 572 triliun dan Rp 689 triliun, uang elektronik Rp 508 triliun dan Rp 640 triliun, dan digital banking lebih dari Rp 67.000 triliun dan Rp 87.000 triliun.
Untuk mewujudkan optimisme itu, BI tetap akan mengan- dalkan bauran kebijakan (policy mix), yaitu mengintegrasikan kebijakan untuk jaga stabilitas (pro-stability) dan mendorong pertumbuhan (pro-growth).
Infografik Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi
Seperti 2022, upaya menjaga stabilitas nilai tukar dan pengendalian inflasi akan dilakukan melalui kebijakan moneter. Sementara untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional, BI akan bertumpu pada empat kebijakan lainnya, yaitu kebijakan makroprudensial, kebijakan sistem pembayaran, kebijakan pendalaman pasar keuangan, dan kebijakan ekonomi keuangan inklusif dan hijau.
Ini berarti kebijakan makroprudensial akan tetap longgar guna memacu kucuran kredit perbankan, terutama pada sektor prioritas dan UMKM/inklusif, termasuk kredit hijau.
Digitalisasi sistem pembayaran akan semakin intensif guna mempercepat integrasi ekonomi dan keuangan digital, kerja sama sistem pembayaran antarnegara, dan tahapan pengembangan Digital Rupiah.
Pendalaman pasar uang dan pasar valas akan terus diakselerasi guna menguatkan efektivitas operasi dan transmisi kebijakan, pembangunan pasar uang yang modern dan berstandar internasional, serta pengembangan instrumen pembiayaan termasuk pengembangan keuangan berkelanjutan.
Seperti 2022, upaya menjaga stabilitas nilai tukar dan pengendalian inflasi akan dilakukan melalui kebijakan moneter.
Sinergi kebijakan
Beragam kebijakan itu tentu tetap harus dikoordinasikan dan disinergikan dengan pemerintah pusat dan daerah serta otoritas keuangan lain agar berjalan efektif dan tepat sasaran. Keberhasilan mengendalikan tekanan inflasi pasca-kenaikan harga BBM bersubsidi merupakan buah dari koordinasi tersebut.
Begitu pula sinergi kebijakan BI dengan kebijakan fiskal pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) juga terus diperkuat untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta mendorong penyaluran kredit kepada dunia usaha. Tak kalah penting, BI terus memperkuat kerja sama internasional dengan bank sentral dan otoritas negara mitra di bidang keuangan.
Meski optimistis dengan proyeksi ekonomi Indonesia pada 2023 melalui bauran kebijakan dan sinergi kebijakan dalam berbagai tingkatan, baik nasional maupun internasional, Indonesia tetap harus waspada terhadap berbagai turbulensi global, termasuk risiko stagflasi (perlambatan ekonomi dan inflasi tinggi) dan resflasi (resesi ekonomi dan inflasi tinggi).
Kita harus terus mengingat pesan Presiden Joko Widodo yang disampaikan pada PTBI, 30 November 2022. Di dalam perhelatan akbar itu, Presiden tegas mengatakan bahwa meski optimistis, Indonesia tetap harus hati-hati dan waspada karena kondisi global masih tidak pasti dan sulit diprediksi.
Ardhienus Analis Senior di Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Bank Indonesia