UU P2SK merupakan tonggak sejarah dan babak baru sektor keuangan di Indonesia. Undang-undang ini memperbarui aturan yang sudah cukup tua.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Tonggak sejarah dan babak baru sektor keuangan sudah ditancapkan. Saatnya mengisi babak baru demi sektor keuangan Indonesia yang lebih baik.
Perekonomian global belum lepas dari ketidakpastian nan suram. Di dalam negeri yang perekonomiannya diyakini tetap tumbuh, sejumlah risiko, antara lain penurunan daya beli dan konsumsi masyarakat dan pelambatan ekspor, diwaspadai.
Ketidakpastian dan risiko itu bisa mengganggu stabilitas sistem keuangan. Di sisi lain, dinamika di sektor keuangan yang sangat cepat perlu dijaga dengan penguatan tata kelola dan penegakan hukum.
Di tengah situasi ini, Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang terdiri dari 27 bab dengan 341 pasal disepakati untuk disahkan dalam Sidang Paripurna DPR, Kamis (15/12/2022). Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, UU P2SK merupakan tonggak sejarah dan babak baru sektor keuangan di Indonesia. Menurut Ketua Panitia Kerja Rancangan UU P2SK Dolfie OFP, pemerintah serta DPR sepakat memperkuat dan mengembangkan sektor keuangan.
Aturan di undang-undang yang berformat omnibus, yakni mengamendemen 17 undang-undang lain di sektor keuangan, ini memperbarui aturan yang sudah cukup tua. Misalnya, UU Perbankan yang terbit pada 1992, UU Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 2004, dan UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2011. Padahal, sektor keuangan diwarnai inovasi dan perkembangan yang menuntut otoritas dan pelakunya beradaptasi. Aturan yang ketinggalan zaman tak cukup kokoh jadi pijakan pengawasan bidang atau sektor yang telah berkembang pesat.
Nantinya, diharapkan legislasi sektor keuangan lebih relevan dengan situasi dan kondisi terkini. Contohnya, LPS yang melaksanakan penjaminan simpanan nasabah di perbankan. Dalam UU P2SK, LPS juga menjadi pelaksana program penjaminan polis asuransi. Contoh lain, anggota Dewan Komisioner OJK ditambah dua, dari 9 orang menjadi 11 orang.
Sebagian perubahan di LPS dan OJK tersebut sesuai perkembangan situasi terkini. Beberapa tahun terakhir, muncul kasus di industri asuransi yang merugikan nasabah. Ada kasus di Asuransi Bumiputera, Asabri, Jiwasraya, dan terakhir Wanaartha Life. Di usaha jasa keuangan, perkembangan produk yang pesat belum diimbangi pengetahuan seluruh masyarakat. Akibatnya, masih ada masyarakat yang menjadi korban investasi bodong atau terjebak pinjaman ilegal.
Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan tahun 2022 yang dilaksanakan OJK, indeks literasi keuangan 49,68 persen, sedangkan indeks inklusi keuangan 85,1 persen. Terdapat gap, yang menunjukkan 35,42 persen masyarakat Indonesia pengguna produk dan jasa keuangan belum memahami produk dan jasa keuangan itu.
Kini saatnya melangkah, mengisi babak baru dengan hal-hal yang lebih baik.