Tiga Kali Prediksi yang Salah tentang Maroko
Maroko menjungkirbalikkan sejumlah prediksi pada Piala Dunia Qatar. Apakah kejutan negara ini kembali berlanjut di semifinal melawan Perancis?
”Cubit saya. Ini pasti saya bermimpi,” kata Yassine Bounou, penjaga gawang Maroko, kepada rekan setimnya setelah wasit meniup peluit tanda pertandingan Maroko melawan Portugal berakhir. Maroko pun untuk pertama kalinya ke semifinal Piala Dunia.
Dan, ketiga kalinya juga Maroko menumbangkan tiga tim langganan turnamen dunia asal Eropa. Sebelumnya ada Spanyol yang kandas di adu penalti. Lalu, Belgia, kandas di pertandingan ketiga, penentuan siapa yang maju ke perdelapan besar.
Oh iya, satu lagi rekor Maroko, tak terkalahkan sejak babak fase grup. Melawan Kroasia di pertandingan pertama fase grup, seri. Lalu menang lawan Kanada dan Belgia.
Rabu malam waktu Qatar, atau Kamis (15/12/2022) dini hari waktu Indonesia, Maroko menghadapi raksasa Eropa lain, Perancis.
Daud versus Goliat. Ini analogi yang dipakai media The Athletic, yang sejak 2019 menjadi termahsyur di kalangan pundit atau pengamat sepak bola. The Athletic dengan lengkap memprediksi dan menganalisis serta menyuguhkan cerita di balik layar pertandingan. Cerita ini yang biasanya ”out of the box”. Di artikel The Athletic, Daud adalah Maroko. Goliat-nya Perancis. Kita tahu kisah Daud melawan Goliat adalah cerita tentang keilahian. Ada di Alkitab.
Allah sudah menentukan Daud-lah yang menang. Goliat lambang kesombongan dan kemegahan, tumbang oleh Daud, simbol kerendahhatian dan taat pada Allah.
Dan, setelah menumbangkan tiga raksasa Eropa, banyak yang berharap keajaiban untuk Maroko berlanjut. Tanggung-lah, sampai ke final. Menghadapi Argentina. Tapi apa mungkin? Lagi-lagi, banyak juga yang sangsi. Meski berharap, Maroko menang melawan Perancis.
Perancis kali ini bukanlah Spanyol, Portugal, apalagi Belgia. Spanyol punya generasi emas pada 2008 hingga 2012 yang memberikan dua trofi Piala Eropa dan satu Piala Dunia. Portugal, generasi emasnya menggapai Piala Eropa 2016.
Tapi, Perancis kali ini adalah generasi emas. Perancis adalah ”petahana” juara dunia. Ya, empat tahun lalu, Perancis mengandaskan Kroasia di final.
Kedalaman skuad Perancis lebih unggul daripada Maroko. Para pemain Perancis yang terbiasa sebagai pemain utama di Liga Eropa yang keras, terutama di Inggris, juga Italia, banyak. Belum lagi di liga Eropa lain, seperti Spanyol dan Perancis sendiri. Sementara pemain Maroko yang bermain reguler di klub Eropa barangkali tak sebanyak Perancis sehingga rotasi pemain yang setara pemain Perancis sulit dilakukan.
Baca juga: Mantra Penebusan Sang ”Penyihir” Maroko, Hakim Ziyech
Tambahan kekurangan lain Maroko, banyak pemainnya sudah kelelahan saat dua kali dikuras energinya melawan Spanyol dan Portugal. Roman Saiss, palang pintu Maroko yang bagus sekali mainnya melawan Belgia, Spanyol, dan Portugal akhirnya cedera.
Hakim Ziyech, bermain di Chelsea dan Acraf Hakimi bermain untuk PSG, tampak kelelahan saat babak kedua menghadapi Portugal. Hanya Sofyan Amrabat, pemain Fiorentina, yang masih bugar. Amrabat adalah penghambat pertama serangan lawan.
Maka, perhitungan—untuk tak mengatakan keberuntungan—Maroko rasanya sudah berakhir. Dari segala aspek, Maroko yang sempat selevel kini sudah habis bensin. Meski, semangat Afrika dan bangsa Arab masih menggebu. ”(Ini) Bisa jadi penambah semangat karena tim Afrika pertama yang lolos semifinal,” kata Teguh Santosa, Ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Maroko.
Tapi, Maroko tak cuma mewakili Afrika. Peter Drury—komentator sepak bola yang suaranya biasa tampil di Liga Primer Inggris—mengatakan hal yang menarik saat Maroko melawan Spanyol dan Portugal. Baik Spanyol maupun Portugal, sekaligus melawan dua bangsa, Afrika dan Arab. Karena meski negeri Maroko ada di benua Afrika, warganya adalah keturunan bangsa Arab. Bila Arab, maka bangsa Asia juga merasa diwakili. Maka tak heran, di Indonesia, banyak juga yang menjagokan Maroko melaju hingga final.
Baca juga: Ujian Benteng Kokoh Maroko
Teguh bercerita, semestinya tak perlu heran bila melawan tim Eropa, Maroko bisa mengimbangi, bahkan menang. ”Banyak pemainnya main di Liga Eropa,” katanya. Yang menakjubkan, meski para pemain kelahiran sejumlah negara di Eropa itu, mereka memilih membela Maroko, negara ibu, untuk tim nasional. ”Ini memang agak klasik, ya. Tapi kelihatannya, kecintaan mereka terhadap Tanah Air tinggi. Meski ada sejumlah tawaran main di negara mereka tumbuh dan mengasah keahlian (Eropa),” ujarnya.
Ini sebabnya, Maroko mendapat julukan tim ”PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)” lantaran banyak pemainnya yang bukan kelahiran Maroko, tetapi berdarah atau keturunan ayah dan ibu dari Maroko.
Sebagai perbandingan adalah Perancis dan Jerman yang punya sejumlah keturunan imigran di tim nasionalnya. Para pemain, seperti Kylian Mbappe yang keturunan Kamerun dan Aljazair, memilih bermain untuk Perancis dan Ilkay Gundogan yang keturunan Turki bermain untuk Jerman. Zinedine Zidane juga bermain untuk Perancis ketimbang Aljazair.
Main di tim yang mapan memang lebih menjanjikan. Perancis, Jerman, adalah langganan peserta Piala Dunia dan langganan sampai babak lanjutan, bahkan final. Sementara Maroko?
Makanya, Maroko dipandang sebelah mata oleh para raksasa sepak bola dan pandit. Maroko diremehkan Opta, yang cuma memberi 9,8 persen peluang lolos fase grup. Maklum, pertandingan terakhir menghadapi Belgia yang para pemainnya di masa emas. Tapi, justru Belgia takluk dua gol tanpa balas. Lagi-lagi statistik Opta memberi peluang yang kecil, cuma 14,7 persen, lawan Spanyol. Menghadapi Portugal, Opta memberi 45 persen buat Maroko. Lumayan meningkat dibanding lawan Belgia dan Spanyol.
Opta ini adalah statistik olahraga yang disajikan para analis sepak bola dalam mengukur kemungkinan kekuatan berdasarkan peta unsur dalam tim. Datanya dihasilkan secara real-time melalui kombinasi anotasi manusia, visi komputer, dan pemodelan AI. Opta sering jadi indikator buat para petaruh sepak bola, selain para penonton dan pengamat.
Oh iya, untuk laga semifinal lawan Maroko, Perancis lebih diunggulkan sama seperti Portugal, punya peluang 55 persen menang.
Rekor loncatan
Setinggi 2,78 meter. Itulah tinggi yang dicapai Youssef En-Nesyri saat meloncat di menit ke-42 untuk mencetak gol kemenangan Maroko atas Portugal. Ini melampaui loncatan Cristiano Ronaldo saat membela Juventus. Ronaldo meloncat setinggi 2,56 meter saat menyundul bola ke gawang Sampdoria di musim 2019-2020. Ini yang terkenal.
Tapi, rekor lompatan Ronaldo memang menakjubkan, 2,93 meter. Lebih tinggi dari rata-rata lompatan pemain NBA, liga utama bola basket Amerika Serikat yang termasyur itu. Rata-rata 0,76 meter.
Bahkan lebih tinggi daripada lompatan Michael Jordan, legenda bola basket di NBA, Amerika Serikat hingga 1,219 meter. Tinggi Michael Jordan adalah 1,98 meter. Maka, daya lompat Jordan kalah oleh Ronaldo yang bertinggi 1,87 meter. Kalau En-Nesyri tingginya 1,88 meter. Sehingga jarak kaki dengan tanah saat melompat, 0,9 meter. Hampir satu meter.
Lompatan ini untuk menyundul bola yang menjebol gawang Portugal, Ahad lalu. Gol ini jadi pembicaraan selama beberapa hari. Bagaimana lompatan bisa lebih tinggi dari pada jangkauan tangan kiper Portugal, Diogo Costa?
Padahal, ini tak mengherankan karena En-Nesyri pernah beberapa kali melakukannya juga di Sevilla, klub yang dibelanya di La Liga Spanyol.
Apa yang dilakukan En-Nesyri, dan para pemain Maroko lain, terutama yang bermain di liga-liga Eropa, adalah polesan Walid Regragui. Peracik taktik ini baru menangani Maroko, tiga bulan sebelum Piala Dunia. Walid sebelumnya mengantar Wydad Athletic Club atau WAC menggondol trofi Liga Champions Afrika 2022.
Walid menggantikan Vahid Halihodzic yang dipecat karena meminggirkan sejumlah pemain bintang, termasuk Hakim Ziyech. Mereka dianggap tak disiplin dalam berlatih. Walid memanggil kembali mereka. Hingga menjadi kunci pertandingan demi pertandingan. Dia juga memadukan pemain senior dan yunior di dalam tim. Tapi yang pasti inilah generasi emas Maroko.
Soal Wydad AC ini adalah klub bersejarah bersama Raja Athletic Club atau RCA yang membangun tradisi dan kultur sepak bola di Maroko. Raja biasa berkostum hijau dan Wydad berkostum hijau. Inilah warna kebesaran tim nasional Maroko, merah dan hijau. Sama dengan bendera Maroko, merah dan bintang hijau di tengahnya.
Kedua tim, WAC dan RCA, punya pendukung fanatik, Ultras, yang bisa bersaing secara ekstrem di jalanan Casablanca, kota terbesar di Maroko. Para calon pemainnya, yang lokal, biasa bermain di pantai-pantai kota Casablanca. Dan di pantai, lelaki dan perempuan sama derajatnya, saat mengolah atau sekadar menendang si kulit bundar.
Rabu malam waktu Qatar, atau Kamis dini hari waktu Indonesia, Daud bakal meladeni tantangan Goliat. Bila sesuai kisah yang mayoritas orang tahu, Daud-lah pemenangnya.
Tapi, apakah ini kisah Daud versus Goliat atau sekadar kejutan yang biasa di Piala Dunia buat Maroko? Bila Maroko menang, maka, inspirasinya bisa membangunkan energi dan kemampuan banyak pihak yang dianggap enteng. (Yophiandi Kurniawan, wartawan Kompas TV)