Misi ke Bulan sudah amat menuntut dari segi biaya ataupun teknologi. Hanya bangsa-bangsa dengan tekad nasional yang kuat untuk mengembangkan pengetahuan yang tidak ragu untuk mengambil langkah visioner itu.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Satelit alam Bumi, yakni Bulan, masih menarik bangsa-bangsa untuk menelitinya. Peluncuran wahana Hakuto, kelinci putih dalam cerita rakyat Jepang, menjadi bukti.
Diberitakan harian ini, Senin (12/12/2022), proyek antariksa yang didanai swasta itu meluncur dari Pusat Ruang Angkasa di Tanjung Canaveral, Florida, Amerika Serikat, Minggu (11/12). Wahana mengangkut robot penjelajah buatan Jepang dan Uni Emirat Arab (UEA). AS, Rusia, dan China menjadi bangsa pertama di dunia yang berhasil meluncurkan dan mendaratkan wahana antariksa ke Bulan. Peluncuran wahana Jepang-UEA diprakarsai Ispace.
Tak dirinci misi yang akan dilakukan oleh robot Jepang dan UEA. Hanya disebutkan, Hakuto akan menempatkan satelit kecil milik Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) ke orbit Bulan guna mencari simpanan air. Penjelajah Rashid—diambil dari nama keluarga emir Dubai—hanya disebut digunakan untuk transfer pengetahuan dan mengembangkan kemampuan UEA serta menambahkan jejak ilmiah dalam sejarah manusia.
Ada sejumlah hal yang dapat kita catat dari misi Hakuto dan Rashid. Pertama tentu salut bahwa, meski ada pandemi, upaya manusia dalam penjelajahan antariksa masih terus hidup. Ini melambangkan rasa keingintahuan umat manusia yang hakiki, khususnya tentang posisinya di ruang kosmos.
Kedua, muncul negara baru yang ingin eksis dalam eksplorasi angkasa luar. Jepang tidak mengherankan. Sebelum ini, Jepang sudah sering meluncurkan roket untuk penelitian antariksa. Namun, kita terheran, UEA ikut terjun dalam misi angkasa ini. Dan, bertanya mengapa bangsa maju lain, seperti Inggris dan Perancis, tidak berminat melakukan misi eksplorasi ke Bulan?
Tidak usah misi ke planet jauh, seperti Jupiter atau Uranus, misi ke Bulan sudah amat menuntut dari segi biaya ataupun teknologi. Hanya bangsa-bangsa dengan tekad nasional yang kuat untuk mengembangkan pengetahuan—dan, seperti kata Wakil Presiden UEA Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum, ”menambahkan jejak ilmiah dalam sejarah umat manusia”—yang tidak ragu untuk mengambil langkah visioner.
Setiap bangsa tentu memiliki prioritas masing-masing. Ada yang sepanjang masa terus berkubang dalam aspek pemenuhan kebutuhan dasar manusia sehingga enggan menyisihkan dana untuk riset antariksa. Semoga Indonesia tidak masuk dalam kategori ini. Kita sudah punya contoh India yang, meskipun masih sibuk mengurusi kemiskinan, membukukan prestasi dan tonggak baru dalam riset antariksa.
Hal yang tidak kalah penting adalah penguasaan teknologi antariksa tidak bisa dilepaskan dari riwayatnya, yaitu keunggulan militer. Kita tidak lupa betapa AS sempat cemas ketika Uni Soviet berhasil meluncurkan Sputnik tahun 1957. Ini karena akurasi menempatkan wahana ke orbit setara dengan akurasi mengarahkan peluru kendali ke sasaran.
Meski bukan dalam arus utama diskursus manusia yang masih didera Covid-19 dan inflasi, kita menaruh hormat pada ikhtiar antariksa yang penting bagi kemanusiaan ini.