Kegagalan Sapu Bersih Terorisme
Serangan bom bunuh diri yang terjadi di Polsek Astanaanyar termasuk dari ”yang jarang terjadi”. Semua pihak harus bekerja sama. Dalam dunia terorisme, menang besar saja tidak cukup, tapi juga harus clean sheet.
Aksi bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar Bandung, Rabu (7/12/2022), sangat mengejutkan, setidaknya karena dua alasan.
Pertama, serangan terjadi di saat aparat kepolisian sangat gencar menangkap pihak yang diduga terlibat dalam tindak pidana terorisme.
Selama kurun 2018-2021, sudah 1.300 orang ditangkap terkait terorisme. Ini jauh lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, khususnya sebelum pemberlakuan UU No 5/ 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
UU hasil revisi dari UU No 15/2003 ini memberikan penguatan yang sangat signifikan terhadap aspek pencegahan.
Kedua, polisi yang di kalangan jaringan terorisme (termasuk JAD) dikenal sebagai Ansor Thaghut (penolong thaghut atau setan) belakangan acap jadi target serangan. Dengan adanya intensitas serangan, sejatinya kepolisian melakukan pengetatan dari sisi pengamanan.
Karena adanya dua hal di atas, semestinya serangan terorisme bisa diminimalkan, atau bahkan dinihilkan, terutama serangan pada polisi, baik sebagai individu maupun institusi.
Meminjam istilah dalam sepak bola, bangsa ini (khususnya aparat kepolisian) gagal mempertahankan kemenangan besar secara clean sheet.
Baca juga : Analisis Litbang ”Kompas”: Konten Aksi Teror Bom di Astanaanyar Masih Mudah Disebar di Media Sosial
Aparat kepolisian sebenarnya telah berhasil melakukan ratusan upaya pencegahan dini terhadap potensi serangan terorisme, sesuai wewenang yang diberikan UU No 5/2018. Sayangnya, kemenangan besar yang ada ternodai oleh serangan bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar, Bandung, apalagi sampai jatuh korban.
Kenapa polisi?
Kenapa polisi dijadikan target serangan? Di satu sisi, penyerangan terhadap polisi memiliki dimensi ideologi, bahwa orang yang beriman kepada Allah harus disertai dengan sikap yakfur (mengingkari) thaghut.
Penyerangan terhadap polisi acap dianggap sebagai salah satu bentuk nyata pengingkaran terhadap thaghut. Dengan kata lain, di kalangan para teroris (khususnya JAD), penyerangan terhadap polisi merupakan sebuah kewajiban teologis.
Sementara di sisi yang lain, penyerangan terhadap polisi memiliki dimensi balas dendam. Polisi (khususnya Densus 88) acap melakukan penangkapan ataupun upaya penegakan hukum yang tak jarang berakhir dengan jatuhnya korban jiwa dari kalangan teroris.
Dalam kasus Agus Sujatno, dimensi ideologis dan balas dendam bercampur menjadi satu-kesatuan sebagai faktor yang mendorong Agus yang juga dikenal dengan sebutan Abu Muslim ini untuk menyerang polisi. Menurut data yang ada, sebelum menyerang Polres Astaanyar, Agus pernah mencoba melakukan serangan ke Polres Cianjur dan Polda Jabar.
Ini dilakukan untuk balas dendam atas meninggalnya salah satu temannya yang tewas dalam upaya penegakan hukum yang dilakukan aparat kepolisian di Purwakarta pada 2016.
Ilustrasi
Dua area
Dalam menghadapi terorisme, ”wilayah tempur” sesungguhnya bisa dibagi dalam dua wilayah, yaitu wilayah pencegahan dan pembinaan. Yang dimaksud wilayah pencegahan adalah wilayah di mana pelbagai macam upaya bisa dilakukan untuk mencegah seseorang terpapar, terlebih lagi sampai melakukan aksi terorisme.
Sementara wilayah pembinaan adalah wilayah di mana pelbagai upaya bisa dilakukan untuk mengintervensi mereka yang sudah terduga (terlebih lagi terbukti) secara hukum terlibat jaringan terorisme.
Wilayah pencegahan adalah kehidupan masyarakat secara umum. Adapun wilayah pembinaan adalah wilayah yang berada di area justice system, semenjak penyidikan hingga pembinaan di dalam lapas.
Dalam hemat penulis, wilayah pencegahan adalah wilayah yang paling luas dari wilayah tempur yang ada, kurang lebih tiga perempat. Sementara wilayah pembinaan seperempat dari total wilayah yang ada.
Dengan pembagian wilayah yang tidak berimbang seperti di atas, potensi ancaman dan serangan paling rawan tentu berada di wilayah yang paling luas, yaitu wilayah pencegahan yang mencapai tiga perempat dari luas wilayah yang ada.
Serangan bom bunuh diri yang terjadi di Polsek Astanaanyar termasuk dari ”yang jarang terjadi”.
Faktanya sejauh ini banyak serangan terorisme yang terjadi di wilayah pencegahan, seperti yang pernah terjadi di kantor polisi, termasuk di Mabes Polri, tempat ibadah seperti terjadi di Surabaya dan Makassar, atau tempat umum seperti terjadi di Terminal Kampung Melayu dan Jalan Thamrin, Jakarta.
Sementara serangan yang terjadi di wilayah pembinaan masih jarang terjadi. Serangan bom bunuh diri yang terjadi di Polsek Astanaanyar termasuk dari ”yang jarang terjadi”. Kenapa serangan ini disebut terjadi di wilayah pembinaan karena pelakunya merupakan seorang residivis yang seharusnya sudah mendapatkan pembinaan yang cukup.
Kerja sama tim
Oleh karena itu, semua pihak harus bekerja sama untuk mencapai kemenangan besar secara clean sheet. Dalam dunia terorisme, menang besar saja tidak cukup, tapi juga harus clean sheet. Hingga tidak ada satu pihak pun yang menjadi korban akibat kebobolan serangan terorisme.
Persis seperti dalam dunia sepak bola, untuk mencapai kemenangan besar secara clean sheet sebagaimana di atas, harus ada kerja sama yang baik, taktis dan strategis dari semua pihak.
Mereka yang berperan sebagai kiper dan pertahanan harus selalu tangguh di belakang. Begitu juga dengan mereka yang berperan di lini tengah dan lini serang. Dan yang tak kalah penting adalah mereka yang berperan sebagai juru taktik dan strategi.
Kekompakan dan kerja sama tim sangat penting untuk mencapai kemenangan besar secara clean sheet, terutama di wilayah pencegahan dan pembinaan.
ilustrasi
Kemenangan di wilayah pencegahan bisa dicapai apabila masyarakat mendapat pengetahuan yang cukup terkait dengan proses terorisasi (untuk tidak mengatakan radikalisasi), hingga masyarakat bisa melakukan pencegahan dini sebelum calon teroris melakukan aksinya.
Sementara kemenangan di wilayah pembinaan bisa dicapai dengan penguatan dan dukungan terhadap petugas lapas ataupun pihak-pihak lain yang concern dengan kegiatan pembinaan sehingga semakin banyak napi teroris yang mengalami proses perubahan dari kekerasan menuju perdamaian (bahasa hukum deradikalisasi).
Secara regulatif, saat ini Indonesia sudah memiliki sejumlah ketentuan yang cukup untuk mencapai kemenangan besar secara clean sheet. Meski demikian, kekuatan di ranah regulasi belum sejalan dengan kenyataan implementatif. Oleh karena itu, perbaikan dan penguatan harus dilakukan untuk mewujudkan semangat clean sheet dalam pemberantasan terorisme, salah satunya dengan memperkuat dua area di atas.
Hasibullah SatrawiPeneliti Politik Timur Tengah dan Dunia Islam