Dalam komunikasi, diksi yang keliru atau sengaja dikelirukan bisa menimbulkan efek samping, baik positif maupun negatif. Penguasaan bahasa turut memengaruhi kemampuan seseorang dalam memilih kata.
Oleh
Bambang Sugeng
·2 menit baca
Sewaktu hendak mengganti oli mobil, saya pernah terpaksa menahan kedongkolan. Pasalnya, pemilik bengkel berlagak seperti orang Amerika saja, berbahasa ”tanpa tata krama”. ”Kamu mau merek yang mana, Pak?” tanyanya.
Betul, di sana memang egaliter. Menantu Tuan John, misalnya, sah-sah saja bertanya, ”Kamu mau makan apa, John?” Kalau di sini, jangan coba-coba, bisa-bisa Anda dijewer Pak Jono jika tak cepat-cepat meralatnya menjadi ”Bapak mau makan apa, Pak?”
Begitulah kiranya, salah diksi bisa menimbulkan persepsi ”tak beradab”, terlebih bagi orang Jawa, misalnya, yang punya strata bahasa ”krama-ngoko”. Bahkan, dalam situasi tertentu, sampean saja mungkin tak cukup, mesti panjenengan. Adapun istri saya, meski non-Jawa, tak sudi disapa kamu. Sejak malam pertama, saya diwajibkan menyapanya bunda.
Ketika saya menghadiri acara ”wisuda” beberapa tahun lalu, gadis mungil bertoga lulusan terbaik itu tampil di podium mewakili anak saya dan teman-teman se-SMP-nya. ”Bapak dan Ibu Guru, terima kasih atas budi baik kalian yang telah mendidik dan membimbing kami.”
Agaknya anak-anak itu lupa, di hadapan mereka bukanlah teman-teman sebaya yang biasa mereka sapa dalam acara obrolan remaja, melainkan bapak-bapak dan ibu-ibu terhormat. Guru hendaklah mengajari mereka adab berkomunikasi dalam kegiatan wicara publik.
Keliru memilih kata bisa menyinggung perasaan, tetapi bisa juga menghadirkan kekonyolan.
Keliru memilih kata bisa menyinggung perasaan, tetapi bisa juga menghadirkan kekonyolan. Konon, ketika berkunjung ke Polandia pada 1977, Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter menyewa jasa seorang juru bahasa asal Rusia yang mengerti bahasa Polandia. Dalam pidatonya, Carter berujar, ”Hasrat Saudara akan masa depan”, tetapi juru bahasa mengalihkannya ke dalam bahasa Polandia menjadi ”Syahwat Saudara akan masa depan”.
Hasrat (keinginan; harapan) dan syahwat (hasrat seksual; berahi) memang serupa, sama-sama dorongan perasaan, tetapi implementasinya jelas berbeda. Tentu saja kekeliruan ini sangat menghibur, khususnya bagi awak media kedua negara. Penutur yang kreatif juga biasa memutarbalikkan makna kata untuk mendulang tawa dengan cara serupa.
Pejabat tempo dulu gemar sekali bermain diksi. Bahasa dijadikan alat pencitraan. Kata-kata berkonotasi negatif disaput gincu, dibungkus dengan istilah baru. Korupsi disamarkan menjadi ”kesalahan prosedur”, kelaparan dipoles menjadi ”rawan pangan”, busung lapar dikemas menjadi ”gizi buruk”, harga dinaikkan disamarkan dengan ”harga disesuaikan”, keluarga miskin disebut ”keluarga prasejahtera”, utang disebut ”bantuan”, dan sebagainya.
Dalam komunikasi, diksi yang keliru atau sengaja dikelirukan bisa menimbulkan efek samping, baik positif maupun negatif.
Kini, semuanya serba terbuka. Informasi tak bisa lagi ditutup-tutupi. Warganet kian kritis, layaknya ”polisi moral” yang siap membongkar segala kemunafikan. Meski masih tersisa, eufemisme politis yang menyesatkan itu perlahan-lahan sirna dengan sendirinya.