Pergeseran makna bisa terjadi karena bahasa digunakan setiap hari oleh penuturnya. Namun, ihwal itu tak jarang menyebabkan keambiguan karena penutur tak tahu makna kata-kata yang digunakannya. Ini bisa jadi salah kaprah.
Oleh
Antonius Galih Rudanto
·2 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Sejumlah motor listrik diparkir di tempat penampungan bus bertenaga listrik di terminal Pelabuhan Benoa, Denpasar, Bali, Rabu (9/11/2022). Penggunaan kata motor kini tak hanya merujuk pada sesuatu yang berputar. Pemaknaannya kini juga ditujukan untuk alat transportasi atau kendaraan roda dua atau disebut juga sepeda motor.
Ada beberapa kata atau frasa yang penggunaannya bertentangan dalam hal makna. Pergeseran makna memang mungkin terjadi karena bahasa dan lema atau kosakata digunakan setiap saat oleh ribuan, bahkan jutaan, warga dengan segala persepsi masing-masing. Pergeseran makna tersebut, antara lain, berupa peluasan, penyempitan, dan bahkan perubahan makna.
Kata motor, misalnya, artinya meluas, tidak hanya pada sesuatu yang berputar, tetapi telah jamak diartikan sebagai ’alat transportasi/kendaraan roda dua, sepeda motor’.
Ada pula sembako yang merupakan akronim dari sembilan bahan pokok. Adanya perubahan komponen dalam sembilan bahan pokok adalah hal yang wajar. Juga ketika sembako ini tidak persis terdiri atas sembilan bahan pokok dan lazim bermakna ’bahan pokok’.
Banyak yang memersepsikan pengojek sama dengan tukang ojek. Padahal, pengojek adalah warga yang memesan tukang ojek, baik daring maupun konvensional.
Dari dua contoh di atas, pergeseran makna yang berterima tidak menyebabkan kesalahkaprahan ataupun kebingungan antara penyampai pesan dan penerima pesan. Lalu, bagaimana jika ada pergeseran makna yang menyebabkan kesalahkaprahan yang kemudian jamak dipakai penyampai pesan dan penerima pesan?
Frasa mengharu biru, misalnya, sering digunakan dengan makna, antara lain, sebagai ’hasil perbuatan yang berakhir berbinar-binar, sukses, dan bahagia’. Hal itu, misalnya, terlihat pada judul berita ”Pelepasan Kloter II Mengharu Biru”.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Warga menggendong anaknya yang ingin menyapa keluarganya di bus saat acara pelepasan calon jemaah haji di Markas Korem 063/Sunan Gunung Jati, Kota Cirebon, Jawa Barat, Selasa (28/6/2022),
Dalam badan berita tersebut tertulis, ”Jemaah kloter II diberangkatkan dari BIM menuju Jeddah (10/9) dengan penuh rasa haru dan bahagia dari pihak keluarga yang mengiringinya…”. Padahal, frasa haru biru bermakna ’kerusuhan, keributan, kekacauan, dan huru-hara’.
Pun ada kata buncah, dengan kata turunan membuncah, yang sering dipahami sebagai ’menggelora ataupun bersemangat’. Padahal, lema itu sebenarnya, berdasarkan KBBI, berarti ’keruh, gelisah, dan kacau’.
Dapat membingungkan
Hal yang mungkin paling ”menyebalkan” adalah perubahan atau pergeseran makna karena penghilangan kata inti dalam sebuah frasa sehingga yang tertulis hanya kata penjelasnya. Jalur pedestrian, misalnya.
IVAN DWI KURNIA PUTRA
Karyawan melintasi jalur pedestrian saat istirahat jam makan siang di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan, Rabu (2/11/2022).
Jelas, kata inti dalam jalur pedestrian adalah jalur, sedangkan pedestrian adalah kata penjelas. Karena penyingkatan atau penghapusan kata inti, muncullah cuma pedestrian (pejalan kaki) dengan maksud ’jalur pejalan kaki’.
Ada pula kata pengojek yang dianggap sama dengan tukang ojek. Ambigu, membingungkan, kata mana yang tepat, pengojek atau tukang ojek? Banyak yang memersepsikan pengojek sama dengan tukang ojek. Padahal, pengojek adalah warga yang memesan tukang ojek, baik daring maupun konvensional.
Oleh karena itu, semangat untuk menghindari pergeseran makna karena ketidaktahuan dan berakibat timbulnya ambiguitas diusahakan dengan kembali ke arti yang sebenarnya dan menggunakan frasa yang lengkap tanpa penghilangan kata inti. Jangan sampai terjadi pergeseran makna hanya karena persepsi semata dan ketidaktahuan kebermaknaan kata.