Piala Dunia 2022 sebagai Ritual
Piala Dunia 2022 memadukan media elektronik dan olahraga berpenonton dalam kegiatan massa yang diritualkan. Esensi ritual Piala Dunia 2022 adalah jalinan emosional pesertanya: pemain dan penontonnya.
Final Piala Dunia 2022 akan digelar pada 18 Desember. Meminjam perspektif Michael Real (1982), puncak pertandingan ini adalah tontonan ajaib (mythic spectacle). Miliaran orang akan menyaksikannya, mayoritas melalui televisi.
Menurut Real, tontonan olahraga kolosal menumbuhkan identifikasi personal, memproduksi tipe dasar pahlawan, memusatkan perhatian khalayak, dan menandai ruang dan waktu. Seperti Superbowl (puncak pertandingan tahunan liga sepak bola khas Amerika), Piala Dunia 2022 memadukan media elektronik dan olahraga berpenonton dalam kegiatan massa yang diritualkan.
Menurut Michael Novak (1976), olahraga kelas dunia menyerupai upacara agama dengan aturan yang dipandang sakral dan harus diikuti. Ada seperangkat simbol seperti bendera nasional; lagu kebangsaan; kostum pemain, tempat khusus bagi pemain, pelatih, penonton, jurnalis, petinggi negara; dan sebagainya. Seperti ritual agama, Piala Dunia 2022 diperlukan manusia untuk menggenapkan identitas diri sebagai perorangan dan anggota bangsa.
Baca juga : Kekuatan Narasi dan Piala Dunia
Esensi ritual Piala Dunia 2022 adalah jalinan emosional pesertanya: pemain dan penontonnya. Pemain yang melesakkan gol ke gawang lawan melakukan selebrasi, seperti berjoget atau menari. Mereka seperti berada di awang-awang, setengah mabuk, atau bak dalam mimpi.
Pencetak gol Mitchell Duke yang membuat tim ”Secceroos” Australia menang atas ”Elang Kartago” Tunisia berujar, ”[Gol] Kemenangan ini adalah momen spesial. Saya akan terus menyimpannya [dalam kenangan] selama hidup saya.”
Penonton, khususnya di stadion, seolah mengalami ekstase setelah tim kesayangan mereka menjebol gawang lawan. Adrenalin mereka menggelegak. Mereka melonjak girang, berjingkrak, bertepuk tangan, bernyanyi, bersuit, meniup trompet, menabuh tambur, berteriak histeris, dan sebagainya. Namun, jika tim pujaan mereka terjungkal, mereka merasa sedih dan kecewa; jantung mereka seolah copot.
Sikap primordial mencuat ketika penonton mengidentifikasikan diri dengan tim nasional mereka. Boleh jadi karena identifikasi yang kuat, emosi yang dirasakan pendukung lebih bergelora daripada yang dirasakan pemain. Fanatisme ini kadang memicu keonaran massal. Final Piala Eropa antara Liverpool Inggris dan Juventus Italia tahun 1985 membuat pendukung mengamuk, membantai orang lain, hingga 39 orang tewas dan 437 orang cedera.
Sepak bola, Piala Dunia khususnya, memunculkan para idola. Pemain hebat seperti Diego Maradona dan Lionel Messi sering disebut ”Mesias” yang memiliki ”jemaat” atau ”umat” tersendiri. Di Argentina, sejak 1998 terdapat gereja yang mengagungkan Maradona sebagai ”Dewa Sepak Bola.”
Timnas yang menjadi juara disanjung, disambut warga dan pemimpin negara sebagai pahlawan. Mereka diberi hadiah dan penghargaan. Sepanjang jalan protokol mereka dielu-elukan rakyat di negara mereka. Para pesohor (penyanyi, model, bintang film), pengusaha besar, dan bahkan pejabat tinggi pun mengidolakan mereka.
Piala Dunia 2022 sebagai ”perang” yang harus dimenangi diisyaratkan gelar aneh, mentereng, bahkan menakutkan yang dinisbahkan media massa, pengamat, dan khalayak kepada tim dan pemain, misalnya tim ”Panser” untuk tim Jerman, ”Setan Merah” untuk tim Belgia, tim ”Matador” atau ”Si Merah yang Murka” (”La Furia Roja”) untuk tim Spanyol, ”Alap-alap Hijau” untuk tim Arab Saudi, ”Singa Atlas” untuk tim Maroko, dan ”Samurai Biru” untuk tim Jepang. Lionel Messi dijuluki ”Si Kutu” (”La Pulga”) karena begitu kecilnya dan sulit ditangkap, dan Pelatih Tim Brasil Tite (Adenor Leonardo Bacchi) digelari ”Sang Profesor”.
Piala Dunia 2022 sebagai ”perang” yang harus dimenangi diisyaratkan gelar aneh, mentereng, bahkan menakutkan yang dinisbahkan media massa, pengamat, dan khalayak kepada tim dan pemain.
Para pemain di lapangan begitu bernafsu untuk menghabisi lawan, bagai para tentara di medan perang. Media menggunakan diksi tembakan mematikan, gempuran lawan, membantai, baku bunuh, laga hidup mati, dan sebagainya untuk melukiskan keseruan perang tersebut.
Berbagai minidrama terjadi di luar lapangan. Neymar yang bintang Brasil menangis malam-malam seusai laga perdana melawan Serbia karena cedera dan khawatir tak bisa ikut pertandingan selanjutnya. Pablo Aimar, Asisten Pelatih Argentina, tak kuasa menahan air mata saat menyaksikan gol Messi melesat ke gawang Meksiko. Bintang dan kapten tim Korea Selatan, Son Heung-min, menangis terharu seusai menyungkurkan tim Portugal.
Simbolik dan mistis
Kemenangan pada Piala Dunia 2022 bersifat simbolik dan mistis yang bertentangan dengan kaidah ilmiah, melebihi kemenangan perang fisik atau kemenangan diplomasi tingkat tertinggi berimplikasi kemajuan ekonomi. Clifford Geertz (1973) menyebutnya ”permainan mendalam” (deep play), istilah yang dipinjam dari Jeremy Bentham karena menyangkut pertaruhan harga diri, kehormatan, prestise, status, dan mengandung muatan emosi dan irasionalitas yang tinggi.
Harus diakui, kemenangan tim pada Piala Dunia bersifat politis. Nama Kroasia serta-merta meroket di dunia internasional karena menjadi semifinalis (dikalahkan Perancis dalam babak semifinal, tetapi menjadi pemenang ketiga) pada Piala Dunia 1998 di Perancis. Sebagai semifinalis Piala Dunia 2002, nama Korea Selatan pun semakin harum di kancah dunia.
Seusai perempat final Korsel versus Spanyol, Presiden Korsel Kim Dae-jung pun berujar, ”Kemenangan Korsel atas Spanyol menjadi hari paling membahagiakan bagi bangsa kita dalam 5.000 tahun terakhir setelah dangung, yaitu saat negara Korea didirikan 5.000 tahun lalu. Kini jalan baru menuju kebanggaan nasional terbuka.”
Baca juga : Piala Dunia yang Menyatukan
Mungkin ada benarnya ucapan mantan Manajer Liverpool FC Inggris William Shankly (1913-1981) meski mengandung candaan, ”Sepak bola bukan soal hidup dan mati, tetapi lebih serius dari itu.”
Menurut Real, ciri lain tontonan sepak bola adalah memusatkan perhatian. Hanya karena tidak ingin ketinggalan satu pertandingan pada Piala Dunia 2022, dengan menontonnya di rumah atau di pub, dan demi memberi dukungan kepada tim nasionalnya, seorang warga Inggris bernama Casey Bishop nekat berhenti bekerja.
Jika sejumlah raja, emir, putra mahkota, presiden, wakil presiden, dan perdana menteri di sejumlah negara di wilayah Timur Tengah hadir pada pembukaan Piala Dunia 2022, apalagi pada babak final dan penutupan acaranya nanti, dunia seakan berhenti berputar, waktu seakan membeku. Kesadaran hanya tertuju pada sepak bola. Di negeri kita, pengantin pria yang masih perjaka ting ting pun mungkin akan menunda malam pertamanya demi menonton acara ini.
Sebagai gambaran, Nick Hornby (seorang pendukung fanatik liga sepak bola Arsenal di Inggris) akhirnya merasakan ”surga dunia”-nya setelah Arsenal mengalahkan Liverpool pada 1989 dalam suatu kejuaraan yang ia sebut sebagai ”momen terbesar” dalam hidupnya. Nick berkomentar, ”Meski tak diragukan bahwa seks adalah aktivitas lebih menyenangkan daripada menonton sepak bola (tak ada seri nol-nol, tak ada jebakan offside, dan Anda lebih hangat), dalam keadaan normal perasaan yang ditimbulkannya tidak sehebat perasaan yang ditimbulkan kemenangan kejuaraan yang mungkin sekali dalam seumur hidup. Maka, pahamilah mereka yang melukiskan momen olahraga sebagai momen terbaik mereka. Kami tidak kekurangan imajinasi, juga tidak berarti hidup kami menyedihkan dan kering. Hanya saja, kehidupan nyata lebih pucat, lebih membosankan dan kekurangan potensi untuk memberikan kejutan” (Real, 1996). Pendukung tim yang menjuarai final Piala Dunia 2022 tentu akan merasakan kenikmatan paripurna, lebih dahsyat daripada yang pernah dirasakan Nick.
Berbeda dengan drama biasa dalam film atau di panggung fiktif dengan klimaks yang dapat diduga, setidaknya oleh para aktornya, Piala Dunia 2022 adalah drama sungguhan yang klimaksnya sulit diramalkan oleh pemain, ofisial tim, dan penonton. Di babak gugur, Maroko menundukkan Spanyol, padahal penguasaan bola Spanyol 76 persen dan juara Piala Dunia 2010.
Baca juga : Singkirkan Portugal, Tonggak Bersejarah Maroko bak Dongeng di Piala Dunia Qatar
Pada Piala Dunia 2002, pemain sepak bola legendaris sekaliber Pele yang meramalkan Argentina atau Inggris menjadi juara ternyata kecele karena kedua tim itu justru terdepak pada babak awal. Jeffery Low, jurnalis Singapura yang saat itu telah meliput Piala Dunia tujuh kali, mengatakan, ”Menanti siapa yang akan memenangi setiap pertandingan bagaikan memasuki kencan gelap (blind date) yang membuat setiap orang berharap-harap cemas.” Ketegangan menonton Piala Dunia 2022, semifinal dan finalnya nanti, melampaui ketegangan menonton film-film yang disutradarai Alfred Hitchcock atau Steven Spielberg atau yang berlandaskan novel-novel Agatha Christie.
Piala Dunia 2022 adalah budaya massa, peristiwa komunal, yang membangkitkan kegelisahan, kekhawatiran, dan harapan penontonnya. Kemenangan dalam babak finalnya dimaknai sebagai kebanggaan tertinggi bangsa bersangkutan, seolah menentukan nasib dan masa depan mereka, yang menguburkan krisis politik dan ekonomi yang mungkin mereka alami, setidaknya untuk sementara waktu.
Deddy Mulyana, Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran