Arus Utama Politik Makna
Pengalaman menunjukkan bahwa semuanya harus mengambil hikmah dari tajamnya polarisasi politik pada pemilu presiden sebelumnya. Dinamika politik kita, bagaimanapun, rentan konflik yang mudah merembet ke konflik sosial.
Tak terelakkan suasana politik Indonesia mendekati Pemilu 2024 semakin menghangat. Perkembangan politik nasional semakin menyita minat perhatian khalayak seiring variasi manuver politik elite partai-partai politik.
Hal tersebut alamiah semata, sebagai situasi prakondisi menuju perhelatan politik 2024. Yang perlu dicegah ialah jangan sampai dinamika politik berikut reaksi masyarakat, khususnya publik digital, mudah terpancing untuk terbelah secara tajam. Segala macam komentar politik jangan sampai memperuncing keadaan. Situasi yang kondusif harus terus dijaga menjelang tahun politik 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Kita berharap elite dan masyarakat sudah semakin arif dalam merespons politik. Pengalaman menunjukkan bahwa semuanya harus mengambil hikmah dari tajamnya polarisasi politik pada pemilu presiden sebelumnya.
Jangan sampai ada lagi penajaman politik (politisasi) identitas, terutama melalui banjir ujaran kebencian di media sosial, atau saling ejek satu sama lain. Dinamika politik kita, bagaimanapun, rentan konflik. Di ranah elite, perpecahan di antara mereka lazim terjadi. Di ranah masyarakat dewasa ini yang telah terdigitalisasi, terkoneksi secara digital, konflik bisa cepat muncul dan bereskalasi secara cepat.
Konflik politik mudah merembet ke konflik sosial yang diantarkan melalui media sosial. Khazanah demokrasi digital karenanya, dalam konteks ini, harus diperdalam.
Baca juga: Politik Identitas dan Keadaban Publik
Literasinya harus terus dikembangkan dengan tujuan hadir suatu kondisi kesadaran kebangsaan yang terbingkai oleh kecerdasan dan kebijakan (wisdom) digital. Cerdas saja dalam bermedia sosial belum cukup, kecuali harus mempertimbangkan segala sesuatunya secara bijak. Hal ini bisa dipahami mengingat setiap informasi dan pesan yang kita sampaikan di media sosial berdampak luas, bahkan kontraproduktif.
Sejak awal perkembangan teknologi digital, hingga dewasa ini, telah banyak kajian tentang betapa konflik politik dan sosial mudah tereskalasi secara luas seiring dominasi penggunaan media sosial di masyarakat.
Fenomena ini telah menjadi perhatian kita semua. Namun, kita juga menyadari, betapa tak mudah mengelola media sosial secara ideal, masih terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Oleh karena itu, literasi digital harus terus digencarkan agar semua cerdas dan bijak dalam bermedia sosial.
Baca juga: Menjinakkan Politik Identitas
Ikhtiar merawat emosi publik digital memang tidak mudah. Apalagi, manakala pihak-pihak yang sengaja memanasi suasana terus eksis secara digital dan rajin memancing emosi publik. Gejala destruktif harus dicegah dalam masyarakat yang majemuk. Para elite dan pemimpin masyarakat harus mampu menjadi teladan, ujung tombak literasi digital yang lazim dan bermartabat.
Politik makna
Dalam artikel yang pernah saya tulis di harian Kompas (24/11/2014) berjudul ”Ke Arah Politik Makna”, diingatkan kembali tentang urgensi politik makna. Istilah tersebut saya ambil dari perbendaharaan istilah Cliford Geerzt, ”the politics of meaning”, sebagai catatan penutup buku Culture and Politics in Indonesia (1972).
Geerzt mengajak kita untuk mampu menangkap makna dari ragam perjalanan politik Indonesia sejak 1945. Para aktor sejarah di fase politik yang menentukan pasca-kemerdekaan dianalisis dalam konteks politik makna, apa makna penting dari berbagai dinamika politik, dan bagaimana memberi makna bagi perkembangan politik ke depan dalam bingkai negara demokrasi bagi kemajuan.
Manakala kita bicara ranah elite politik, dalam konteks kepemimpinan keindonesiaan, yang kita harapkan, mereka ialah pemimpin. Elite belum tentu berkualitas pemimpin atau punya jiwa kepemimpinan.
Elite dalam politik sering kali sekadar petinggi entitas politik tertentu, orang yang memandang politik sebagai karier atau pekerjaan, bukan panggilan dan perjuangan mewujudkan kondisi yang lebih baik dan adil.
Para elite dan pemimpin masyarakat harus mampu menjadi teladan, ujung tombak literasi digital yang lazim dan bermartabat.
Sering kali mereka hanya sekadar, merujuk konsep Jeffrey Winters (2011), oligark, sekadar bertumpu pada capaian materi dan pertahanannya (wealth defense). Pemimpin lebih dari sekadar elite dalam politik.
Manakala dikaitkan dengan politik makna, pemimpin politik paham jati diri bangsanya. Mereka mampu mereguk hikmah sejarah, memahami torehan warisan kepemimpinan yang baik dan bermanfaat para pendahulu. Mereka mampu mengambil sari pati kepemimpinan bangsa dan memperkuat visinya selaras konstitusi, menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan secara proporsional, etis, komunikatif, dan realistis.
Dalam konteks pemilu nasional, khususnya pilpres di Indonesia, mestinya yang berkembang ialah kontestasi gagasan, sehingga yang menyembul ke ranah publik ialah makna-makna kebangsaan.
Bukan drama atau peristiwa-peristiwa yang dipolitisasi, melainkan lebih ke esensi pemikiran para kontestan. Karena itu, mereka yang berlaga memerlukan mentalitas akademis.
Seberapa jauh mereka memahami persoalan, mengembangkan wacana, serta memberikan gambaran bekal kebijakan yang hendak diambil pada masalah-masalah yang spesifik. Para pemimpin beradu karisma masing-masing, tetapi bukan dalam konteks pencitraan fisik, melainkan substansi gagasan.
Politik makna lebih identik dengan politik gagasan. Kontestasi politik makna ialah kontestasi gagasan kebangsaan, ketika sentimen sosiologis, yakni pertimbangan agama, ras, adat, suku, tidak dieksploitasi secara eksesif untuk meraih kemenangan. Kecuali isu-isu pembangunan dan gambaran masa depan yang lebih baik, dalam bingkai persatuan bangsa yang erat dan kompak.
Pemilu dan persatuan bangsa harus diletakkan sebagai dua sisi dari satu mata uang yang sama. Jangan sampai dinamika pemilu mengoyak persatuan nasional. Praktiknya memang tidak mudah dan memerlukan ikhtiar ekstra, baik di ranah elite maupun masyarakat. Ideal demokrasi memerlukan kualitas partisipasi yang baik semua elemen.
Kontestasi politik makna ialah kontestasi gagasan kebangsaan, ketika sentimen sosiologis, yakni pertimbangan agama, ras, adat, suku, tidak dieksploitasi secara eksesif untuk meraih kemenangan.
Persuasi konstruktif
Komunikasi yang elegan dan konstruktif menjadi penting dalam praktik politik makna. Para elite politik harus mampu menunjukkan kelasnya sebagai pemimpin yang fungsional. Fungsi pendidikan politik harus dinomorsatukan, kualitas berdemokrasi ialah ikhtiar utama.
Menang atau kalah kontestasi harus dianggap konsekuensi logis semata. Hal-hal semacam ini tentu harus dibarengi dengan praktik penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil. Penyelenggara pemilu harus profesional. Entitas-entitas yang harus netral dalam pemilu sebagaimana diatur undang-undang, seperti aparatur sipil negara, TNI dan Polri, harus diawasi betul agar tak masuk ranah politik kontestatif.
Politik uang harus dikikis. Penggunaan teknologi digital pun harus efektif mengantisipasi berbagai kemungkinan kecurangan pemilu. Berbagai ulasan dalam media sosial hendaknya logis, faktual, argumentatif, dan elegan.
Semua pihak harus mencegah perdebatan yang tidak bermutu dan bernuansa destruktif sehingga, dengan demikian, aura politik makna merebak di mana-mana, justru di era digital yang canggih dewasa ini.
Di era kita, belajar dari pengalaman masa lalu, politik makna bisa tegak menjadi arus utama manakala substansi pesan politik yang maknawi tersalurkan melalui media yang sehat dan fungsional. Selain, tentu, mentalitas demokratis para aktor yang terlibat di ranah elite dan masyarakat.
M Alfan Alfian, Dosen Magister Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta