Menjinakkan Politik Identitas
Masyarakat akar rumput cenderung tidak memiliki kapasitas yang sama untuk meredam daya rusak politik identitas. Lalu apa yang perlu dilakukan untuk membangkitkan kesadaran bersama akan bahaya poltik identitas ?
Lebih dari sekadar kosakata peyoratif yang berkonotasi negatif, politik identitas telah menjelma menjadi momok yang menakutkan bagi bangsa ini.
Berbeda dengan kaum elite politik yang memiliki kapasitas resiliensi dan pemulihan (recovery) yang cepat dan mumpuni, masyarakat akar rumput cenderung tidak memiliki kapasitas yang sama untuk meredam daya rusak politik identitas. Politik identitas memiliki daya rusak yang dahsyat sehingga efeknya sulit untuk dipulihkan dalam jangka waktu lama.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu Presiden 2019 telah memberikan pengalaman traumatis betapa merusaknya politik identitas di kalangan masyarakat kita. Masyarakat terbelah menjadi dua kelompok besar yang identitas pembedanya dilekatkan pada afiliasi keagamaan: cebong dan kampret.
Sekalipun di tingkat elite telah terjadi rekonsiliasi politik, tak demikian halnya dengan akar rumput yang terus memelihara dan bernostalgia dengan sentimen politik identitas. Fakta fragmentasi dan disharmoni sosial ini melahirkan gelombang aksi massa yang berjilid-jilid, seperti aksi 212 dan semacamnya.
Baca juga : Menghambat Laju Politik Identitas
Baca juga : Peran Perguruan Tinggi Penting untuk Bendung Politisasi Identitas
Itulah sebabnya, tak kurang Presiden Joko Widodo mengingatkan masyarakat agar tak lagi mengeksploitasi politik identitas pada proses politik elektoral mendatang. Ketua Umum PBNU KH Yahya C Staquf bahkan akan melawan penggunaan politik identitas—terutama identitas keagamaan—di Pemilu 2024.
Memang tidak ada jaminan politik identitas tidak menguat kembali pada Pemilu 2024. Sekalipun dibalut dengan warna dan orientasi ideologis yang berbeda, eksploitasi politik identitas akan berujung pada nestapa yang sama: disharmoni dan fragmentasi sosial.
Ceruk elektoral
Dalam spektrum politik demokrasi di Indonesia, imbauan agar tidak menggunakan politik identitas dalam proses elektoral memang tidak memiliki dampak dan kekuatan legal-formal karena ia hanya bersifat etik-moral. Tidak ada jaminan imbauan semacam ini dapat mengakhiri penggunaan politik identitas dalam proses elektoral berikutnya.
Terlebih di era digital, penggunaan media sosial menjadi pintu masuk bagi kontestan politik untuk melakukan berbagai persuasi dan kampanye politik di ruang publik, termasuk kampanye negatif melalui eksploitasi politik identitas.
Karena itu, perlu ada ikhtiar edukatif untuk membangkitkan kesadaran bersama akan bahaya politik identitas yang dapat menyebabkan terjadinya disharmoni dan fragmentasi sosial.
Sebagaimana pernah saya tulis (Kompas, 23/11/2017), penggunaan politik identitas menjadi pilihan dilematis tetapi realistis-pragmatis dalam rezim demokrasi elektoral. Eksploitasi politik identitas, dalam pandangan Jenny L Davis (2016), merupakan cara paling mudah dan ”murah” untuk menggalang dukungan politik di era digital.
Pemilu AS tahun 2016 yang mengantar Donald Trump sebagai presiden negara adidaya tersebut telah mengafirmasi bekerjanya eksploitasi politik identitas secara efektif melalui kanal digital.
Terlebih lagi, memasuki era digital, jumlah pengguna internet dan pengakses media sosial di negeri ini semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Menurut data yang dirilis Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), pandemi Covid-19 telah mendorong kenaikan angka pengguna layanan internet di negeri ini. Jika sebelum pandemi hanya 175 juta, jumlah itu meningkat menjadi 210 juta pengguna (77 persen) pascapandemi (Januari 2022). Sebanyak 191 juta pengguna (91 persen) dari total jumlah tersebut memiliki akses terhadap platform media sosial.
Eksploitasi politik identitas, dalam pandangan Jenny L Davis (2016), merupakan cara paling mudah dan ”murah” untuk menggalang dukungan politik di era digital.
Jumlah pengguna internet dan media sosial di atas jelas bukanlah jumlah yang sedikit. Dalam rumus politik elektoral, angka itu dapat dikonversikan menjadi ceruk elektoral yang memiliki daya tarik bagi para ”penjaja” politik.
Sayangnya, etika dan cara-cara memersuasi orang melalui politik identitas cenderung kasar, brutal, dan niretika. Akibatnya, dialektika pertukaran informasi dan gagasan pada sejumlah platform media digital tereduksi jadi kampanye negatif yang saling merendahkan dan mendehumanisasi orang lain.
Residu primordialisme
Dalam pandangan kaum esensialis seperti Fukuyama (2018), identitas adalah tentang pengakuan dan determinasi diri, tentang perasaan menjadi (sense of becoming) dan dihargai sebagai kedirian yang partikular, unik, dan distingtif.
Menurut Fukuyama, di dalam diri setiap orang terdapat apa yang disebut sebagai thymos, yakni elemen kejiwaan terdalam yang senantiasa ingin dihargai, dihormati, dan diakui oleh orang lain. Jadilah thymos ini sebagai bagian dari konsep harga diri (self-esteem) dan kebanggaan diri (self-pride) dalam setiap individu yang dapat bertransformasi secara kolektif menjadi karakter budaya.
Dalam konstruksi kedirian (the self) seorang individu, manifestasi thymos di ruang privat jadi sesuatu yang lumrah belaka. Kehadiran thymos di ruang privat selalu menjadi proses pemenuhan kebutuhan primordialisme seseorang yang selalu lekat dengan kondisi kejiwaan maupun perilaku yang bersangkutan.
Terjadi ikatan mekanistik yang kuat antara sisi alam bawah sadar seorang individu dengan dimensi primordialisme yang mungkin bersumber dari ajaran agama, budaya, atau tradisi leluhur. Ketika seseorang dicegah untuk melakukan pemenuhan kebutuhan primordialistik tersebut, dia akan merasa terpangkas hak-hak individunya. Sangat boleh jadi dia akan melakukan resistensi terhadap pencegahan itu atas nama HAM.
Persoalan muncul ketika thymos yang mestinya bersifat privat teraktualisasi di ruang publik dan menggerombol serta membentuk konfigurasi identitas kolektif. Ketika thymos telah menjelma menjadi identitas kolektif, bisa dipastikan akan terjadi politisasi atas identitas politik itu melalui narasi-narasi berbasis primordialisme yang saling merendahkan dan mendehumanisasi.
Oleh Simon Bein (2022), perbenturan kepentingan kolektif semacam ini disebut sebagai dysfunctional paradox of democracy atau dalam bahasa Robert Dahl (2000) disebut democratic paradox, yakni munculnya kepentingan kolektif yang berbeda-beda dan tidak dapat dipertemukan atau dikompromikan dalam sebuah bejana sosial yang mampu memayungi semua kepentingan yang ada.
Dalam konteks inilah, para pengkaji politik demokrasi mulai ragu akan ”keampuhan” sistem politik demokrasi sebagai mekanisme pamungkas yang dapat memfungsikan dirinya sebagai sebuah simpul kepentingan kolektif yang dapat memuaskan semua warga.
Meski demikian, membiarkan kapitalisasi identitas politik menjadi politik identitas dalam sebuah perhelatan politik elektoral yang tak bermartabat justru akan membusukkan demokrasi dari dalam.
John Charvet (2019), misalnya, menegaskan, problem otoritas politik di dunia modern, di mana pemegang kadaulatan adalah rakyat, adalah bagaimana mendistribusikan kepentingan semua warga masyarakat dalam sebuah cara yang di sebut sufficiently robust substantivecommon identity. Menurut dia, sistem politik demokrasi hanya akan menahbiskan kepentingan kolektif kelompok mayoritas.
Oleh karena itu, diperlukan kearifan politik demokrasi untuk tetap menjunjung tinggi kesantunan budaya politik yang bermartabat sembari mencegah terjadinya politisasi atau kapitalisasi identitas politik menjadi politik identitas.
Siapa pun warga negara di republik ini punya hak untuk menyalurkan pilihan politiknya berdasarkan argumentasi nonrasional atau primordial sebagai bagian dari hak-hak politik. Meski demikian, membiarkan kapitalisasi identitas politik menjadi politik identitas dalam sebuah perhelatan politik elektoral yang tak bermartabat justru akan membusukkan demokrasi dari dalam.
ilustrasi
”Demokrasi tebal”
Untuk mengantisipasi kembalinya politik identitas di Pemilu 2024, ikhtiar ”mempertebal” narasi demokrasi menjadi pilihan yang niscaya. Hal ini bisa dipahami mengingat politik identitas hanya muncul ketika demokrasi yang kita praktikkan adalah ”demokrasi tipis” (thin democracy), yakni demokrasi yang direduksi menjadi arena pertarungan politik yang hanya berujung pada epos menang-kalah dengan memanfaatkan sisi-sisi primordialisme seseorang.
Demokrasi tipis adalah demokrasi tanpa narasi tebal tentang kesejahteraan, keadilan, kesetaraan, kemanusiaan, dan nilai-nilai keba(j)ikan lainnya.
Selain itu, literasi digital menjadi kebutuhan mendesak bagi bangsa ini dalam rangka memampukan setiap nalar warga untuk mengkritisi, menyaring, dan mengarifi arus informasi yang begitu deras di kanal-kanal media sosial.
Melalui cara seperti ini, seseorang yang melek digital dapat mengenali potensi politisasi isu-isu agama atau politik identitas di ruang publik. Kecerdasan semacam inilah yang oleh John Rawls (1997) disebut rasionalitas publik (public reason) ketika pilihan-pilihan politik warga tak dikerdilkan atau dikerangkeng oleh argumentasi primordialistik seperti identitas keagamaan, kesukuan, kedaerahan, dan semacamnya. Sebaliknya, pilihan dan tindakan politik warga sepenuhnya didasarkan atas argumentasi keba(j)ikan universal (universal virtues).
Masdar Hilmy Guru Besar dan Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya; Dewan Penasihat ISNU Jawa Timur