Peran Perguruan Tinggi Penting untuk Bendung Politisasi Identitas
Perguruan tinggi memiliki peran penting dalam upaya membendung politisasi identitas. Mereka menjadi wadah agar anak-anak muda tidak cepat tersulut dengan isu-isu identitas yang dipolitisasi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Politisasi identitas berpotensi akan kembali muncul pada Pemilu 2024 dan bisa menjadi ancaman serius bagi negara. Perguruan tinggi memiliki peran penting dalam upaya membendung politisasi identitas karena tingginya jumlah pemilih muda pada Pemilu 2024
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita mengatakan, ada potensi politisasi identitas kembali muncul pada Pemilu 2024. Hal tersebut terlihat dari beberapa partai politik yang mulai memberikan informasi calon presidennya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Masih ada residu di dalamnya. Pada 2017, Pilkada DKI yang muncul (politisasi identitas) dan ini menjadi salah satu kekhawatiran menjadi tidak produktif,” kata Nurlia saat membuka webinar bertajuk ”Peran Perguruan Tinggi dalam Menyikapi Potensi Politik Identitas pada Pemilu 2024” yang diselenggarakan oleh JPPR, Kamis (27/10/2022).
Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta Ma’mun Mu’rod Al-Barbasy; pemerhati pemilu, Masykurudin Hafidz; Koordinator JPPR Jawa Timur Amiq Fikriyati; dan Kepala Bagian Umum Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III DKI Jakarta Noviyanto.
Nurlia mengingatkan, Presiden Joko Widodo telah meminta masyarakat untuk mencegah politik identitas. Sebab, hal itu menjadi salah satu ancaman serius bagi negara.
Ia mengungkapkan, Indonesia adalah negara kesatuan yang dibangun atas identitas seperti suku bangsa, agama, dan ras. Namun, justru faktor-faktor tersebut menjadi hal yang menimbulkan sentimen negatif yang sangat berpotensi merugikan masyarakat pemilih. Seharusnya proses pemilu dilakukan secara damai, salah satunya dengan cara visi dan misi kandidat tidak dipenuhi oleh identitas yang dipolitisasi.
Menurut Nurlia, dibutuhkan formulasi yang dilakukan oleh instansi, terutama akademisi di lingkungan perguruan tinggi dalam upaya membendung politisasi politik identitas. Sebab, pemilih muda pada Pemilu 2024 sangat tinggi. Jika mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), demografi pemilih muda, terutama usia 17-39 tahun, proporsinya cukup besar di Pemilu 2024, yakni lebih kurang 60 persen.
”Maka dari itu dimulai dari perguruan tinggi. Saya kira menjadi salah satu wadah penting untuk kemudian bagaimana pemuda-pemudi kita anak-anak muda itu tidak cepat tersulut dengan isu-isu identitas yang dipolitisasi, tetapi bagaimana kemudian itu menjadi salah satu proses yang menenangkan, yang mendamaikan, yang kemudian menyatukan kita,” kata Nurlia.
Ia mengatakan, proses yang paling berat dari demokrasi adalah konsolidasi. Proses konsolidasi dibangun atas multikepentingan, etnis, dan latar belakang. Hal tersebut harus disatukan. Nurlia berharap, ke depan ada kelompok kerja sebagai wahana sosialisasi pencegahan terjadinya politisasi identitas.
Namun, menurut Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta Ma’mun Mu’rod Al-Barbasy, Indonesia bisa merdeka karena adanya politik identitas. Politik identitas menjadi masalah ketika dipolitisasi, salah satunya agama.
”Untuk menilai apakah identitas itu dipolitisasi atau tidak, itu sederhana. Ketika politik identitas itu dilakukan, lawan-lawan politik yang biasanya sangat gerah,” tutur Ma’mun.
Menurut Ma’mun, politisasi identitas menjadi persoalan sejak tujuh tahun terakhir. Sebelumnya, Orde Baru menyikapi politik identitas jauh lebih santai dibanding sekarang. Hal tersebut terlihat dari adanya partai politik yang menggunakan identitas keagamaan pada logonya.
Ia mengatakan, perbedaan di masyarakat adalah hal yang biasa. Sayangnya, perbedaan tersebut dimanfaatkan untuk memecah belah negara.
Noviyanto mengatakan, Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III DKI Jakarta aktif berkoordinasi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam menyikapi dampak negatif politik identitas di lingkungan perguruan tinggi. Persoalan ini menjadi bagian dari pemantauan aspek kampus yang aman dan nyaman.
Mereka akan menyosialisasikan bahwa fasilitas pendidikan dilarang digunakan untuk kegiatan kampanye. ”Menegaskan kepada pimpinan perguruan tinggi bahwa semua hal yang terkait dengan kegiatan pemilu harus dilakukan dalam koridor konstitusi dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan lainnya,” kata Noviyanto.
Ia menambahkan, pihaknya akan merespons berbagai laporan pemangku kepentingan pendidikan tinggi apabila ada pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan terkait kegiatan pemilu di lingkungan kampus.