Paket Geneva dan Kebijakan Industri Berkelanjutan
Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menghasilkan kesepakatan yang dikenal sebagai "Paket Geneva". Apa isi kesepakatan tersebut? Apa maknanya bagi negara sedang berkembang seperti Indonesia ?
Setelah cukup lama tertunda, Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ke-12 pada 12-17 Juni 2022 akhirnya menghasilkan sejumlah kesepakatan dan komunike yang kemudian kita kenal sebagai ”Paket Geneva”.
Konferensi tingkat menteri (KTM) sebagai mekanisme tertinggi dalam pengambilan keputusan di WTO itu mencapai kesepakatan itu dengan cara konsensus.
Paket Geneva meliputi, antara lain, sebuah kesepakatan mengenai subsidi perikanan, komunike tentang penanganan pandemi (termasuk khususnya dalam konteks negosiasi waiver hak atas kekayaan intelektual/ paten untuk vaksin).
Selain itu, komunike untuk penanganan darurat pangan, kesepakatan melanjutkan ”moratorium on e-commerce”, kesepakatan melanjutkan langkah reformasi WTO agar fungsinya lebih efektif untuk menangani persoalan-persoalan terkini dalam sistem perdagangan dunia, dan sejumlah komunike menyangkut SPS (sanitary phytosanitary), ”small economies”.
Di luar itu, juga aspek-aspek dalam pengaduan pelanggaran hak atas kekayaan intelektual dalam situasi tertentu (moratorium on TRIPS non-violation and situation complaints).
Baca juga : Kerentanan Versus Daya Tahan
Makna Paket Geneva
Apa makna Paket Geneva bagi negara sedang berkembang seperti Indonesia? Dalam konteks penguatan daya saing industri yang menjadi kunci untuk memperoleh ”nilai tambah” dalam perdagangan internasional, apa yang perlu dilakukan untuk mengemas ulang kebijakan industri di Indonesia?
Kesepakatan dan komunike yang dituangkan dalam Paket Geneva itu dilatari apriori dan kekecewaan yang cukup mendalam atas berlarut-larut serta terkatung-katungnya Agenda Pembangunan Doha atau yang kita kenal sebagai Putaran Doha (Doha Round) sejak ia dideklarasikan pada KTM WTO ke-4 di Doha tahun 2001.
Inilah yang kemudian kita kenali sebagai ”WTO Impasse” (Khor 2006), yakni proses perundingan yang kaku dan lambat di antara negara anggota WTO terhadap isu-isu kunci dalam Putaran Doha, seperti pertanian, akses pasar, dan jasa. Sebuah proses yang kemudian mengarah pada kebuntuan atau kemandekan perundingan.
Fenomena ”WTO Impasse” ini mencapai situasi antiklimaks ketika Paket Bali—yang dirancang sebagai deliverables pada KTM WTO ke-9 di Bali tahun 2013—menghasilkan satu kesepakatan di bidang fasilitasi perdagangan (yang kemudian dikenal sebagai Trade Facilitation Agreement/TFA).
TFA yang berlaku efektif per 2015 inilah yang dianggap hanya memenuhi kepentingan kelompok negara maju. Sementara itu, kesepakatan penuh tidak tercapai untuk dua deliverables lain dari Paket Bali yang mewakili kelompok negara sedang berkembang (khususnya G33) dan negara kurang berkembang (least-developed countries/LDCs).
Inisiatif program public stock-holding untuk keamanan pangan (di bawah putaran perundingan perjanjian pertanian) yang digagas oleh G33 pada akhirnya dijalankan dengan mekanisme ”peace clause” sebagai kompromi. Secara implisit, kompromi ini memungkinkan negara anggota WTO tidak menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa (dispute settlement mechanism) yang secara formal bisa digunakan apabila ada pelanggaran dalam pelaksanaan program tersebut.
Untuk kalangan LDCs yang menginginkan perlakuan khusus (Special and Differential/ S&D Treatment) atas akses pasar mereka untuk komoditas kapas, sektor jasa dan bebas bea masuk dan kuota (duty-free, quota-free/DFQF), Paket Bali hanya mencakup kesepakatan untuk memperbarui komitmen mekanisme pengawasan multilateral terhadap pelaksanaan ketentuan S&D untuk LDCs.
Pergeseran lanskap semacam itu tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan yang memasukkan norma-norma ”baru” dalam skema perundingan perdagangan multilateral.
Pergeseran fundamental
Jika mengacu pada cakupan Paket Bali yang terbatas tadi, apa yang disepakati dalam Paket Geneva tampak lebih mencerminkan pergeseran fundamental di kalangan anggota WTO dalam memandang lanskap dan memaknai norma dasar perundingan multilateral di bidang perdagangan.
Di antara yang paling menonjol adalah pergeseran lanskap perundingan yang lebih menekankan pada prinsip- prinsip inklusivitas untuk menemukan common grounds pada isu-isu perundingan yang sensitif.
Semula, khususnya dalam Putaran Doha, lanskap perundingannya terfokus pada anggapan bahwa WTO adalah arena pertarungan liberalisasi untuk akses pasar versus proteksionisme untuk melindungi kepentingan-kepentingan domestik. Pergeseran lanskap semacam itu tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan yang memasukkan norma-norma ”baru” dalam skema perundingan perdagangan multilateral.
Kebijakan industri yang berkelanjutan
Di antara yang paling mengemuka adalah norma pembangunan berkelanjutan. Tak hanya mencakup isu-isu lingkungan, aspek-aspek kesehatan dan keselamatan serta keamanan manusia, norma pembangunan berkelanjutan juga merambah isu kebijakan industri (industrial policy) yang merupakan ranah non-konvensional dalam perdagangan internasional.
Norma ini menggeser perdebatan pada isu-isu yang lebih substantif. Alih-alih mempersoalkan kebijakan industri sebagai tindakan yang umumnya dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip kerja WTO, Paket Geneva justru menekankan pentingnya dan membuka peluang keterlibatan industri (khususnya di negara sedang berkembang dan LDCs), misalnya dalam rangka mengatasi ketimpangan capaian vaksinasi Covid-19 pada tingkat global.
Pada titik inilah keperluan untuk mengemas ulang model dan praktik kebijakan industri di negara sedang berkembang, seperti Indonesia, mendesak dilakukan. Tujuannya, menyelaraskan dengan agenda penguatan daya saing industri dalam konteks lebih kontemporer.
Secara konseptual, kebijakan industri kekinian perlu mempertimbangkan strategi peningkatan nilai tambah yang sejalan dengan posisi spesifik para pelaku kuncinya dalam peta atau mata rantai nilai global atau regional. Secara praktikal, strategi itu perlu memadukan kapasitas manufaktur para pelaku kuncinya yang ditopang oleh kapasitas riset dan kolaborasi di antara para pelaku industri dan pemangku kepentingan lainnya.
Penguatan kapasitas manufaktur yang menjadi kunci dalam midstream level upgrading perlu dirancang sebagai bagian dari adaptasi nilai-nilai normatif dalam proses industrialisasi yang berkelanjutan.
Yang mesti diperhatikan tak melulu soal akumulasi pengetahuan dan keterampilan teknikal untuk mendorong alih teknologi dan ditemukannya cara-cara baru dalam mengolah bahan mentah menjadi barang jadi (manufacturing inventions), tetapi juga akumulasi ide dan talent pooling untuk inovasi.
Peta jalan dan strategi transformasi yang disepakati di setiap industri adalah kunci dari efektivitas kerja sama dan sinergi yang akan mereka rancang.
Penguatan kapasitas manufaktur memerlukan terhubungnya para insinyur yang menjadi penggerak kuncinya dengan para analis simbol (meminjam istilah dari Robert Reich, The Work of Nations, 1992).
Kiprah para analis simbol tak hanya pada kegiatan upstream level upgrading, seperti research, design & development (RDresearch, design & development (RD&D), tetapi juga pada kegiatan downstream level upgrading yang kolaboratif-inovatif untuk pemasaran produk, branding, dan penciptaan ceruk pasar baru.
Pada akhirnya, proses kemas ulang kebijakan industri kita mensyaratkan diterapkannya model kolaborasi ”n-helix” yang mengindikasikan ”tak terbatasnya” jumlah ataupun jenis pelaku industri beserta para pemangku kepentingan terkait untuk bekerja sama dan bersinergi untuk penguatan daya saing industri secara kolektif.
Untuk sektor-sektor industri dengan eksternalitas lingkungan dan kesehatan yang mendominasi struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang (tak terkecuali Indonesia), model ini dapat mendorong peningkatan nilai tambah secara inter-sektoral yang memungkinkan proses hilirisasi mencapai tahap komersialisasi sepenuhnya.
Proses hilirisasi pada sektor- sektor yang sensitif pada isu-isu lingkungan dan kesehatan akan bermakna secara komersial ketika terhubung dengan sektor- sektor hilir yang menjanjikan keuntungan ekonomi, tetapi pada saat yang sama menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan.
Secara inter-sektoral, para pelaku dan pemangku kepentingan industri pertambangan, perkebunan, dan beragam industri ekstraktif lainnya memerlukan kolaborasi yang efektif dengan kolega mereka di industri manufaktur dan hilirnya. Peta jalan dan strategi transformasi yang disepakati di setiap industri adalah kunci dari efektivitas kerja sama dan sinergi yang akan mereka rancang.
Dukungan pemerintah diperlukan pada tahap ini dan perlu dirancang sebagai bagian dari penguatan kapasitas manufaktur dalam proses hilirisasi. Dukungan insentif pajak/ cukai, ekosistem industri, dan beragam dukungan teknis lainnya perlu dirancang secara inklusif dalam skema kolaborasi ”n-helix” tadi, yaitu tanpa membedakan ragam komoditas, sektor, dan industrinya.
Dalam konteks Indonesia, industri dengan fitur eksternalitas yang kompleks umumnya adalah komoditas-komoditas andalan ekspor yang menyumbang devisa dan menopang kapasitas fiskal kita. Ini mencakup, khususnya sawit dan tembakau (pada industri agro), serta komoditas batubara dan nikel (pada sektor energi, sumber daya mineral/pertambangan).
Pada mata rantai nilai regional dan global, proses hilirisasi inklusif pada industri dan sektor ini sejatinya secara signifikan akan memberi nilai tambah bagi industri domestik pada saat ia menjadi industrial hub untuk industri yang berorientasi ekspor. Ia adalah industrial landmarks yang penting untuk mengadopsi strategi transformasi industri yang inklusif dan berkelanjutan.
Dukungan pemerintah diperlukan pada tahap ini dan perlu dirancang sebagai bagian dari penguatan kapasitas manufaktur dalam proses hilirisasi.
Fasilitasi dialog inter-sektoral
Kesepakatan dan komunike bersama dalam Paket Geneva mengindikasikan perlunya pemerintah negara-negara anggota WTO menggunakan otoritas yang dimilikinya untuk memfasilitasi dialog inter-sektoral untuk penguatan kapasitas manufaktur dalam rangka pemulihan ekonomi global pasca- pandemi.
Sebagai pihak yang mewakili kepentingan publik, khususnya dalam konteks negara-negara sedang berkembang dan LDCs, pemerintah ditempatkan sebagai pemangku kepentingan utama yang berwenang menggeser paradigma kebijakan industri (khususnya yang sensitif pada isu-isu lingkungan dan kesehatan) ke arah yang lebih berkelanjutan.
Riza Noer Arfani Direktur dan Chair-holder Program WTO Chairs, Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) Universitas Gadjah Mada