Kerentanan Versus Daya Tahan
WTO optimistis perdagangan menjadi modal penggerak ekonomi dan menopang fiskal negara di tengah pemulihan ekonomi. Kesetaraan akses dan percepatan vaksinasi juga menjadi kunci daya tahan kesehatan dan ekonomi.
Wajah perekonomian dunia di tengah pandemi Covid-19 ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi ada kerentanan. Di sisi lain ada daya tahan. Keduanya berjalan beriringan di tengah upaya pemulihan meski beban setiap negara bakal semakin berat.
Dalam laporan bertajuk ”World Trade Report 2021: Economic Resilience and Trade” yang dirilis pada 16 November 2021, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperkirakan, ekonomi global pada tahun ini tumbuh 5,3 persen. Volume perdagangan barang juga diperkirakan tumbuh 10,8 persen.
WTO juga menyebutkan, beban dan tantangan utama dunia adalah memutus rantai pandemi Covid-19 dan membangun akses kesetaraan vaksin. Tak hanya itu, masih ada dua pekerjaan rumah yang perlu digarap di tengah pandemi, yaitu pengentasan warga dari kemiskinan dalam kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan mengurangi dampak perubahan iklim.
Hingga Juni 2021, pandemi Covid-19 telah menyebabkan 3,94 juta orang di dunia meninggal. Jumlah kematian itu jauh mengalahkan jumlah kematian akibat bencana-bencana lain yang terjadi dalam kurun 1980-2020, seperti konflik atau perang (2,69 juta orang), gempa bumi (884.870 orang), kelaparan (610.000), kekeringan (581.693 orang), dan epidemi (247.137 orang).
Hingga Juni 2021, pandemi Covid-19 telah menyebabkan 3,94 juta orang di dunia meninggal. Jumlah kematian itu jauh mengalahkan jumlah kematian akibat bencana-bencana lain yang terjadi dalam kurun 1980-2020.
Pandemi Covid-19 juga mendorong 88 juta orang hingga 115 juta orang di dunia masuk ke dalam kemiskinan ekstrem tahun ini. Pada 2021, jumlahnya diperkirakan meningkat menjadi 150 juta orang.
Tahun depan, pandemi masih menghantui dunia. Berbagai varian virus korona baru merebak pada tahun ini dan dimungkinkan akan terus bermutasi di tahun depan. Vaksinasi dibutuhkan. Produksi vaksin Covid-19 dunia hingga akhir 2021 diperkiran mencapai 12,4 miliar dosis. Pertumbuhan yang sangat dramatis jika dibandingkan dengan rata-rata produksi berbagai jenis vaksin di dunia sebelum pandemi yang sebanyak 5 miliar dosis.
Membangun ketahanan terhadap pandemi Covid-19 pada 2022 tak cukup hanya dengan menyelesaikan vaksinasi dosis pertama dan kedua. Vaksin booster diperlukan di tengah belum meratanya akses kesetaraan vaksin dosis pertama dan kedua. ”Perlombaan” vaksinasi sudah mulai beralih dari tahap vaksin darurat ke vaksin booster (penguat) atau dosis ketiga. ”Perlombaan” ini akan dibarengi dengan persaingan mendapatkan obat Covid-19.
Baca juga : Distribusi Vaksin Global Timpang, IAVG Serukan Keadilan
Belum pulih benar dari pandemi dan imbasnya ke kemiskinan, tuntutan mengatasi dampak perubahan iklim sudah di depan mata pasca-Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim (COP) 26 di Glasgow, Skotlandia. Butuh dana besar untuk membiayai transisi energi, memulihkan alam yang rusak, dan mewujudkan industri hijau. Pundi-pundi ekonomi negara dan perusahaan, serta mata pencarian baru masyarakat pasca-runtuhnya batubara nanti juga perlu dipikirkan sejak sekarang.
WTO optimistis, perdagangan akan menjadi modal kunci penggerak ekonomi dan menopang kemampuan fiskal sebuah negara di tengah pandemi dan pemulihan ekonomi. Dengan bergeraknya rantai perdagangan, industri akan menggeliat. Penghasilan produsen dari hulu hingga hilir akan meningkat. Pendapatan negara juga akan turut tertopang.
Kementerian Keuangan mencatat, realisasi penerimaan dari bea keluar hingga Oktober 2021 melonjak 910,6 persen menjadi Rp 22,56 triliun atau terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari lonjakan harga komoditas global, seperti logam dasar, batubara, nikel, dan tambaga. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga terealisasi 107,6 persen menjadi 320,8 triliun. PNBP migas tumbuh 16,4 persen lantaran kenaikan harga minyak mentah dunia, sedangkan PNBP nomigas tumbuh 78,3 persen ditopang kenaikan harga batubara, emas, perak, tembaga, timah, dan nikel.
WTO optimistis, perdagangan akan menjadi modal kunci penggerak ekonomi dan menopang kemampuan fiskal sebuah negara di tengah pandemi dan pemulihan ekonomi.
Hal itu sejalan dengan kinerja positif perdagangan internasional Indonesia. Pada Januari-Oktober 2021, neraca perdagangan Indonesia surplus sebesar 30,81 miliar dollar AS. Ini merupakan surplus terbesar neraca perdagangan Indonesia sejak 2012 atau sepanjang 10 tahun terakhir.
Pada periode tersebut, beberapa produk ekspor utama yang meningkat antara lain bijih, terak, dan abu logam (136,01 persen); timah dan produk turunannya (104,57 persen); besi dan baja (98,39 persen); bahan bakar mineral (81,55 persen); serta lemak dan minyak hewan/nabati (73,42 persen).
Baca juga : Konsumsi Tertekan, Ekspor Jadi Penolong
Kinerja perdagangan internasional memang menjadi salah satu tiang penopang daya tahan ekonomi Indonesia. Namun, ingat, tidak selamanya harga komoditas itu berada pada siklus super (supercycle). Banyak kalangan yang memperkirakan supercycle komoditas itu akan berakhir pada semester II-2022.
Indonesia masih berpeluang mengoptimalkan berkah itu pada akhir tahun ini dan paruh pertama 2022. Di sisi lain, percepatan vaksinasi, termasuk pengadaan vaksin booster, menjadi kunci meningkatkan daya tahan sektor kesehatan Indonesia yang akan diikuti dengan geliat ekonomi. Namun, jika kekebalan komunitas belum tercapai dan di tengah masih keterbatasan stok vaksin, jangan sampai vaksin dosis pertama dan kedua bocor atau digunakan untuk vaksin booster bagi mereka yang belum ditetapkan pemerintah sebagai penerima.
WTO menyebutkan, kunci dari pergerakan perdagangan itu antara lain mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif ataupun nontarif, digitalisasi, dan masuk dalam rantai pasok nilai regional atau global. Selain itu, akses kesetaraan vaksin dan fasilitas atau obat-obatan pendukungnya juga harus adil. Hal itu akan menjadi bagian perbincangan dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-12 yang akan digelar di Jeneva, Swiss, pada 30 November-3 Desember 2021.
Baca juga : Bisnis Obat dan Vaksin Melejit, TRIPS Waiver ”Terjepit”
Dalam rangkaian pertemuan itu, duel dua proposal yang diajukan India dan Afrika Selatan serta proposal yang diajukan Uni Eropa bisa terjadi. India dan Afrika Selatan bersama 64 negara pendukungnya, termasuk Indonesia, Amerika Serikat, dan China, membawa misi pengabaian hak atas kekayaan intelektual vaksin, obat, dan peralatan yang dibutuhkan dalam penanganan Covid-19 (TRIPS Waiver). Adapun Uni Eropa berkomitmen untuk memeratakan akses vaksin di negara yang masih kekurangan vaksin tanpa perlu mengabaikan hak paten (Global Trade Initiative for Equitable Access to Covid-19 Vaccines and Therapeutics).
Mengantisipasi kerentanan, menjaga daya tahan, bahkan memaksimalkan aneka peluang yang ada menjadi syarat penggerak roda ekonomi. Di tengah upaya membangun citra positif di tingkat internasional, termasuk memperjuangkan TRIPS Waiver, jangan sampai Pemerintah Indonesia membuat kebijakan yang kontroversial di dalam negeri.
Baca juga kolom penulis: