Masa Depan Kebijakan Tenaga Kerja Agribisnis di Negara Berkembang
Kemampuan adaptif tenaga kerja terhadap tuntutan keahlian praktikal, manajerial, dan kepemimpinan harus jadi fokus perubahan struktural ketenagakerjaan. Termasuk dalam transformasi ketenagakerjaan di sektor agribisnis.
Bagaimana memaknai perubahan-perubahan di sektor agribisnis ketika Revolusi Hijau berbasis supermodernisasi memunculkan pola produksi dan kerja non-konvensional? Bagaimana pemerintah mengantisipasi dampak sosialnya terhadap tenaga kerja sejalan dengan tuntutan-tuntutan produktivitas yang makin rigid? Tulisan ini mendiskusikan pertanyaan tersebut dalam konteks negara-negara berkembang merespons intensifikasi teknologi terdepan di sektor agribisnis dan adopsinya dalam struktur dan kultur ketenagakerjaan.
”New Green Revolution”
Sejak tahun 1950-an, dunia mengalami apa yang disebut Revolusi Hijau. Pada awalnya, revolusi ini menekankan peran sains dan teknologi dalam merespons pertumbuhan populasi dan mengatasi kelangkaan pangan global. Dalam perkembangannya, ada beragam aspek sosial politik dalam produksi pengetahuan yang direstrukturisasi.
Di sektor agribisnis, negara-negara berkembang berlomba meningkatkan kapasitas sains, penelitian dan pengembangan komoditas pasar internasional. Peran badan-badan internasional, terutama Food and Agricultural Organisation (FAO), lembaga permodalan internasional, lembaga penelitian, dan aktor-aktor rantai pasok sangat sentral dalam mengonsolidasikan praktik internasional dan membangun cetak biru transformasi industri untuk diimplementasikan pemerintah.
Baca Juga: Memuliakan Petani dan Pertanian
Pergerakan Revolusi Hijau saat ini mengalami radikalisasi dalam istilah New Green Revolution. Intervensi sains dan kebijakan semakin mendalam. Praktik teknologi terapan tingkat tinggi juga mengubah sifat kerja, penguasaan pengetahuan, dan komunikasi secara luas. Kecerdasan artifisial, digitalisasi, otomatisasi, robotic, dan machine learning menciptakan perubahan struktural pada sifat tenaga kerja penopang agribisnis.
Perubahan-perubahan tersebut berlangsung dalam kerangka agenda pertumbuhan ekonomi global yang progresif. New Green Revolution mencatat sejumlah keberhasilan negara berkembang dalam memenuhi kebutuhan pangan, meningkatkan produktivitas, dan ekspansi industri, infrastruktur, mesin, dan teknologi terapan tingkat tinggi.
Di Indonesia, supermodernisasi di sektor pertanian menempatkan pemerintah sebagai regulator dalam mengalokasikan peran aktor-aktor bisnis dalam rantai pasok komoditas. Pemerintah sedang terus menyiapkan kerangka regulasi dan memfasilitasi industri untuk berinovasi dan memitigasi eksternalitas pasar. Produksi komoditas agribisnis diharapkan bukan hanya fungsional memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi juga merespon berkembangnya standar normatif terkait dampak sosial, kesehatan dan lingkungan.
Kebijakan pemerintah negara berkembang muncul setidaknya dalam empat bentuk. Pertama, penguatan badan usaha milik negara untuk memperkuat otoritas pemerintah meregulasi infrastruktur dan akses pasar bagi komoditas strategis. Kedua, mobilisasi sains dan teknologi melalui injeksi kapital di sektor penelitian dan pengembangan di perguruan tinggi dan laboratorium-laboratorium swasta.
Ketiga, fleksibilisasi tenaga kerja untuk merespons tuntutan akan produktivitas output, menarik investasi asing ke ranah domestik, dan mendorong ekspor. Keempat, penyusunan cetak biru kebijakan untuk mendorong ekspor komoditas-komoditas strategis nasional.
Di empat lini tersebut, sumber daya pembangunan internasional memfasilitasi sirkulasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang diadopsi dalam kultur dan budaya masyarakat agribisnis negara berkembang.
Supermodernisasi kerja dan tantangannya
Akses masyarakat agribisnis ke pengetahuan, teknologi, dan keahlian berbasis digital semakin menjadi fondasi penting revolusi baru ini. Hal ini terutama dalam konteks disrupsi rantai pasok tradisional.
Laporan OECD (2021) terkait adaptasi kebutuhan akan keahlian di kawasan Asia Tenggara menekankan bagaimana pekerja berkeahlian minim dan berpendapatan rendah termasuk dalam kelompok berisiko terdampak negatif oleh transformasi kerja yang baru. Ini karena ketika terjadi kegagalan dalam mekanisme pasar, stagnasi dalam transfer keahlian dapat menciptakan bentuk-bentuk baru kemiskinan. Hal ini tentu akan sangat kontradiktif dengan semangat mendorong kesejahteraan dan kemakmuran yang berkelanjutan.
Baca Juga: Pekerja Rentan Tanggung Jawab Siapa
Ada dua tantangan bagi negara-negara berkembang dalam konteks ini. Pertama, bagaimana meningkatkan produktivitas ekonomi dari struktur tenaga kerja yang sudah ada. Petani dan pekerja, serta pengusaha-pengusaha agribisnis di skala kecil, menengah, dan besar dituntut dapat memenuhi berbagai kriteria profesionalisme melalui beragam bentuk sertifikasi kompetensi keahlian untuk memengakses pasar tenaga kerja.
Kedua, bagaimana memfasilitasi mobilitas tenaga kerja dari sektor agribisnis konvensional ke sektor manufaktur dan jasa terkait. Hal ini terutama dalam konteks penguatan rantai pasok di kalangan perusahaan-perusahaan agribisnis yang kompetitif di pasar internasional. Dokumen Indonesia’s Occupational Employment Outlook (2020) yang ditulis oleh Bappenas mencatat perlunya membangun platform informasi yang memetakan kebutuhan dan potensi sirkulasi keahlian terkini di berbagai sektor pembangunan secara akurat.
Arah kebijakan ketenagakerjaan
Untuk membangun kebijakan ketenagakerjaan di negara-negara berkembang yang responsif terhadap tantangan supermodernisasi, prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan, serta kapasitas tata kelola pemerintah perlu diarahkan saling memperkuat satu sama lain. Tata nilai terkait produktivitas tenaga kerja, kelola sumber daya pengetahuan di sektor pendidikan, regulasi permodalan, serta kebijakan redistributif merupakan beberapa pilar kebjakan yang penting dalam merespon dampak kompetisi internasional dalam pasar ketenagakerjaan.
Perkembangan dinamis agribisnis di negara-negara berkembang diwarnai oleh inovasi produk-produk agribisnis non-konvensional di sektor pangan dan non-pangan, masifikasi industri mikro, kecil dan menengah, dan kebangkitan perusahaan-perusahaan skala besar produk dari integrasi vertikal rantai pasok. Semua inisiatif ini berkembang secara sporadis alih-alih terintegrasi dengan ekosistem ketenagakerjaan yang berdaya saing dalam kerangka regulasi strategis oleh pemerintah.
Tinjauan kebijakan penguatan industri dasar di sektor agribisnis diperlukan untuk merevitalisasi pengembangan ilmu pengetahuan dan transfer keahlian.
Tinjauan kebijakan penguatan industri dasar di sektor agribisnis diperlukan untuk merevitalisasi pengembangan ilmu pengetahuan dan transfer keahlian. Lembaga-lembaga penelitian yang berbasis di universitas, lembaga wadah pemikir, dan laboratorium-laboratorium yang dikelola perusahaan-perusahaan agribisnis baik yang berskala nasional maupun internasional ke depan perlu membuka diri terhadap proses leapfrogging yang berdimensi inklusi sosial. Hal ini tidak lepas dari fungsi dan peran regulatif pemerintah dalam mendorong penelitian dan pengembangan sains seluas-luasnya.
Ketimpangan akses finansial terhadap keahlian memerlukan intervensi sistemik untuk memastikan bahwa penguatan kebijakan penelitian dan pengembangan dapat menjangkau tenaga kerja potensial. Perlu maksimalisasi manfaat penghimpunan dana perkebunan, misalnya di subsektor kelapa sawit melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dan subsektor tembakau melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), agar dapat berkontribusi secara berkelanjutan kepada pelatihan, upskilling dan reskilling tenaga kerja dari hulu ke hilir. Hilirisasi industri ke depan merupakan bentuk konkret dalam membangun kemanfaatan New Green Revolution.
Ke depan, Indonesia dengan potensi tenaga kerjanya yang besar memiliki peran potensial sebagai hub bagi penguatan rantai pasok komoditas agribisnis global dengan nilai tambah tinggi bagi pendapatan negara. Perlu sebuah rancang desain kebijakan yang secara eksplisit menghubungkan lembaga-lembaga penelitian publik dan swasta dengan tenaga kerja potensial dan pemangku kepentingan bisnis sebagai bagian integral transformasi industri.
Baca Juga: Transformasi Agrobisnis Indonesia dalam Agenda Presidensi G20
Kebijakan inovasi perlu dibangun dengan pendekatan non-diskriminatif terhadap beragam pelaku industri agribisnis nasional strategis. Penting menjamin inklusivitas dan akses peluang transformasi rantai pasok di level nasional dan internasional.
Kemampuan adaptif tenaga kerja terhadap tuntutan-tuntutan keahlian praktikal, manajerial, dan kepemimpinan harus menjadi fokus perubahan struktural ketenagakerjaan. Selain itu, rekonsolidasi pengembangan penelitian dan inovasi melalui peta jalan kebijakan pemerintah yang menghubungkan masyarakat agribisnis dengan peluang-peluang dari implementasi teknologi tinggi menjadi kunci dari transformasi ketenagakerjaan di sektor agribisnis.
Maharani Hapsari, Sekretaris Eksekutif Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) Universitas Gadjah Mada; Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fisipol UGM